Senin, 25 Januari 2016

#8 Salah satu alasan populer kuliah psikologi: menterapi diri sendiri sambil kuliah

Selepas lulus SMA, aku fokus mempersiapkan diri untuk menjalani ujian masuk perguruan tinggi se Indonesia. Aku berminat untuk melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Walaupun kedua orang tua ku berprofesi sebagai dosen UGM, namun hal ini bukanlah jaminan bahwa aku bisa lolos dengan mudah untuk diterima sebagai mahasiswa UGM.

Aku banyak menghabiskan waktu untuk belajar, mengikuti les privat, dan juga mengikuti les di lembaga bimbingan belajar. Sebelum menjalani ujian masuk UGM, aku juga sempat menjalani ujian masuk di 2 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Yogyakarta. Hasil ujian menunjukkan bahwa aku lolos diterima sebagai mahasiswa di 2 PTS ini. Namun hal ini tidak membuatku merasa puas, karena aku tetap ingin kuliah di UGM.

Dalam sesi pendaftaran calon mahasiswa, aku memilih Psikologi sebagai jurusan yang aku pilih. Alasan terkuatku memilih jurusan ini adalah ingin mencari tahu lebih dalam tentang apa yang terjadi pada diriku. Terutama pada rasa takut yang selalu menghantuiku saat sebelum muculnya serangan kejang. Semoga dengan menjalani kuliah ini, aku bisa mendapat penjelasan tentang rasa takut ini beserta solusinya. Seperti yang dikatakan oleh banyak orang dengan nada setengah bercanda : Biasanya mahasiswa psikologi itu kuliah sambil menjalani rawat jalan. Jika dia sudah bisa menyembuhkan diri sendiri, maka dia juga akan bisa menyembuhkan orang lain.

1 bulan setelah aku mengikuti ujian masuk, aku mendapatkan kabar baik bahwa aku diterima sebagai mahasiswa psikologi UGM. Segera setelah pengumuman di media cetak ini, aku harus melakukan pendaftaran ulang di kampus. Aku pun segera menyiapkan segala dokumen yang diperlukan, dan pergi ke kampus pada hari yang telah ditentukan.

Di pagi itu, aku sudah berkumpul bersama para mahasiswa baru lainnya untuk melakukan pendaftaran ulang. Aku sudah siap sejak pukul 8 pagi, walaupun loket pendaftaran baru dibuka sekitar pukul 9. Aku amati wajah-wajah mahasiswa baru itu, hanya sedikit yang aku kenal. Kebanyakan adalah mahasiswa baru dari luar kota Yogyakarta, ataupun mahasiswa Yogyakarta tetapi belum pernah belajar bersamaku dalam 1 sekolah.

Kekhawatiran di awal masa-masa SMA terulang. Aku khawatir bahwa mereka belum mengenalku sebagai ODE. Kalau suatu saat aku terkena serangan di hadapan mereka, bagaimana reaksi mereka ? Akan kan mereka lantas menjauh ? Tidak perlu menunggu lama, aura rasa takut pun datang, dan aku langsung terkena serangan dalam antrian.

Setelah aku sadar, beberapa mahasiswa baru nampak bertanya kepadaku tentang kondisiku. Aku pun menjawab baik-baik saja. Menurut cerita mereka tiba-tiba aku kejang dalam kondisi berdiri dan air liur keluar dari mulutku. Otomatis para mahasiswa yang ada didekatku langsung melompat menghindariku.

Sikapku yang acuh terhadap kondisiku, dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, membuat mereka sungkan untuk bertanya padaku. Padahal jika saat itu aku berani bercerita, maka di masa depan mereka akan tahu cara pertolongan pertama padaku saat aku terkena serangan di hadapan mereka.

***

September 2002, aku mulai menjalani kuliah. Dalam masa-masa kuliah, aku sering mendapatkan serangan saat kuliah ataupun saat ujian semester. Pada masa ini aku cenderung tertutup karena adanya rasa malu sebagai ODE. Sama seperti masa SMA, aku tidak pernah bercerita kepada teman-teman tentang kondisiku. Namun setelah sering melihatku terkena serangan, mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk membantuku. Setiap saat aku bertemu mereka karena kami belajar di kelas yang sama sepanjang hari, sehingga semakin lama mereka familiar dengan kondisiku.

Lain halnya dengan situasi kuliah. Setiap mahasiswa bisa memiliki jadwal kuliah yang berbeda tergantung mata kuliah dan kelas yang ditempuh. Kemudian kita tidak selalu bersama teman yang sama saat menjalani kuliah, karena teman sekelas bisa berasal dari teman-teman berbeda angkatan, sehingga tidak semua teman kuliah familiar dengan kondisiku.

Selain itu aku pun hanya datang ke kampus untuk mengikuti kelas. Saat tidak ada kelas aku lebih memilih pulang. Pilihanku untuk menutup diri ini semakin menciptakan batas antara aku dan teman-teman kuliah. Padahal sebenarnya jika aku aktif menjalani kegiatan kemahasiswaan di luar kuliah, aku tetap bisa menjalin keakraban dengan mereka. Semua ini membutuhkan kepercayaan diri dari dalam diri sendiri. Sesuatu yang tidak aku miliki saat itu.

Bersama teman-teman kuliah S1 Psikologi dalam acara buka bersama tahun 2010

Suatu hari aku pernah merasakan aura takut saat dosen sedang mengajar. Aku tidak ingin terjadi serangan karena hal ini hanya akan membuatku merasa malu. Semakin aku menolak, semakin besar rasa takut itu yang diikuti naiknya detak jantung. Aku pun terkena serangan. Aku tidak tahu apa yang terjadi saat serangan, tetapi yang jelas, saat aku tersadar, aku sedang berjalan keluar dari kelas. Saat itu kekhawatiran muncul dalam pikiranku, apa yang terjadi barusan? Apakah aku berjalan keluar sendiri dari kelas? Apakah tadi dosen menegurku? Apakah dosen dan teman-teman akan menilai bahwa aku tidak berminat mengikuti kelas itu? Pikiran-pikiran tersebut menghantuiku dan aku membutuhkan kepercayaan diri yang sangat besar untuk berani menjalani kuliah tersebut di pertemuan berikutnya.

Perilaku takut, cemas, tidak nyaman ini nampaknya dipahami dengan baik oleh para dosen psikologi, mengingat hal ini memang sesuai dengan bidang pekerjaan mereka. Suatu hari aku mengalami serangan saat sedang duduk di dalam kelas.

Kemudian ada seorang teman yang berkata, “Ih, kasihan Aska, kejang terus menerus”.

Sesaat kemudian dosenku langsung memberi peringatan kepada temanku tersebut, “Jangan sekali-sekali berkata ‘kasihan’ kepada Aska, terlebih lagi saat Aska sedang sadar. Karena ‘kasihan’ itu adalah sebuah judgement. Yang dibutuhkan oleh Aska saat ini adalah suasana nyaman. Kalau tidak tidak bisa menolong dia saat serangan, kita bisa menolong dia dengan menciptakan suasana nyaman bagi dia setelah dia terkena serangan”


Sebagai psikolog mereka memahami bahwa jika ingin menyelesaikan masalah dari sesorang client, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah menciptakan rasa aman dan nyaman bagi client. Kita harus bisa menghapus rasa takut dan  khwatir dalam  diri client. Dengan begitu otomatis client akan dengan mudah mengeluarkan segala isi hati dan pikirannya. Terkadang bahkan kita tidak perlu terlalu pusing memikirkan solusi untuk masalah client, karena sebenarnya client sudah tahu solusinya. Kita hanya cukup berperan sebagai ‘cermin’ yang memantulkan balik setiap pertanyaan client. Ketika kita tanya balik, biasanya client tanpa sadar bisa memberikan jawabannya. Tugas kita lah membuat client sadar dengan jawaban dari dalam dirinya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar