Selepas lulus SMA, aku fokus mempersiapkan diri
untuk menjalani ujian masuk perguruan tinggi se Indonesia. Aku berminat
untuk melanjutkan studi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Walaupun
kedua orang tua ku berprofesi sebagai dosen UGM, namun hal ini bukanlah jaminan
bahwa aku bisa lolos dengan mudah untuk diterima sebagai mahasiswa UGM.
Aku banyak
menghabiskan waktu untuk belajar, mengikuti les privat, dan juga mengikuti les
di lembaga bimbingan belajar. Sebelum menjalani ujian masuk UGM, aku juga
sempat menjalani ujian masuk di 2 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Yogyakarta.
Hasil ujian menunjukkan bahwa aku lolos diterima sebagai mahasiswa di 2 PTS
ini. Namun hal ini tidak membuatku merasa puas, karena aku tetap ingin kuliah
di UGM.
Dalam sesi
pendaftaran calon mahasiswa, aku memilih Psikologi sebagai jurusan yang aku
pilih. Alasan terkuatku memilih jurusan ini adalah ingin mencari tahu lebih
dalam tentang apa yang terjadi pada diriku. Terutama pada rasa takut yang
selalu menghantuiku saat sebelum muculnya serangan kejang. Semoga dengan menjalani kuliah ini, aku bisa
mendapat penjelasan tentang rasa takut ini beserta solusinya. Seperti yang
dikatakan oleh banyak orang dengan nada setengah bercanda : “Biasanya mahasiswa psikologi itu kuliah sambil menjalani rawat jalan.
Jika dia sudah bisa menyembuhkan diri sendiri, maka dia juga akan bisa
menyembuhkan orang lain“.
1 bulan setelah aku mengikuti ujian
masuk, aku mendapatkan kabar baik bahwa aku diterima sebagai mahasiswa
psikologi UGM. Segera setelah pengumuman di media cetak ini, aku harus
melakukan pendaftaran ulang di kampus. Aku pun segera menyiapkan segala dokumen
yang diperlukan, dan pergi ke kampus pada hari yang telah ditentukan.
Di pagi itu, aku sudah berkumpul
bersama para mahasiswa baru lainnya untuk melakukan pendaftaran ulang. Aku
sudah siap sejak pukul 8 pagi, walaupun loket pendaftaran baru dibuka sekitar
pukul 9. Aku amati wajah-wajah mahasiswa baru itu, hanya sedikit yang aku
kenal. Kebanyakan adalah mahasiswa baru dari luar kota Yogyakarta, ataupun
mahasiswa Yogyakarta tetapi belum pernah belajar bersamaku dalam 1 sekolah.
Kekhawatiran di awal masa-masa SMA
terulang. Aku khawatir bahwa mereka belum mengenalku sebagai ODE. Kalau suatu
saat aku terkena serangan di hadapan mereka, bagaimana reaksi mereka ?
Akan kan mereka lantas menjauh ? Tidak perlu menunggu lama, aura rasa
takut pun datang, dan aku langsung terkena serangan dalam antrian.
Setelah aku sadar, beberapa
mahasiswa baru nampak bertanya kepadaku tentang kondisiku. Aku pun menjawab
baik-baik saja. Menurut cerita mereka tiba-tiba aku kejang dalam kondisi
berdiri dan air liur keluar dari mulutku. Otomatis para mahasiswa yang ada
didekatku langsung melompat menghindariku.
Sikapku yang acuh terhadap
kondisiku, dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, membuat mereka
sungkan untuk bertanya padaku. Padahal jika saat itu aku berani bercerita, maka
di masa depan mereka akan tahu cara pertolongan pertama padaku saat aku terkena
serangan di hadapan mereka.
***
September 2002,
aku mulai menjalani kuliah. Dalam masa-masa kuliah, aku sering mendapatkan
serangan saat kuliah ataupun saat ujian semester. Pada masa ini aku cenderung
tertutup karena adanya rasa malu sebagai ODE. Sama seperti masa SMA, aku tidak
pernah bercerita kepada teman-teman tentang kondisiku. Namun setelah sering
melihatku terkena serangan, mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk
membantuku. Setiap saat aku bertemu mereka karena kami belajar di kelas yang
sama sepanjang hari, sehingga semakin lama mereka familiar dengan kondisiku.
Lain halnya
dengan situasi kuliah. Setiap mahasiswa bisa memiliki jadwal kuliah yang
berbeda tergantung mata kuliah dan kelas yang ditempuh. Kemudian kita tidak
selalu bersama teman yang sama saat menjalani kuliah, karena teman sekelas bisa
berasal dari teman-teman berbeda angkatan, sehingga tidak semua teman kuliah familiar
dengan kondisiku.
Selain itu aku
pun hanya datang ke kampus untuk mengikuti kelas. Saat tidak ada kelas aku
lebih memilih pulang. Pilihanku untuk menutup diri ini semakin menciptakan
batas antara aku dan teman-teman kuliah. Padahal sebenarnya jika aku aktif
menjalani kegiatan kemahasiswaan di luar kuliah, aku tetap bisa menjalin
keakraban dengan mereka. Semua ini membutuhkan kepercayaan diri dari dalam diri
sendiri. Sesuatu yang tidak aku miliki saat itu.
Suatu hari aku pernah merasakan aura
takut saat dosen sedang mengajar. Aku tidak ingin terjadi serangan karena hal
ini hanya akan membuatku merasa malu. Semakin aku menolak, semakin besar rasa
takut itu yang diikuti naiknya detak jantung. Aku pun terkena serangan.
Aku tidak tahu apa yang terjadi saat serangan, tetapi yang jelas, saat aku
tersadar, aku sedang berjalan keluar dari kelas. Saat itu kekhawatiran muncul
dalam pikiranku, apa yang terjadi
barusan? Apakah aku berjalan keluar sendiri dari kelas? Apakah tadi dosen
menegurku? Apakah dosen dan teman-teman akan menilai bahwa aku tidak berminat
mengikuti kelas itu? Pikiran-pikiran tersebut menghantuiku dan aku
membutuhkan kepercayaan diri yang sangat besar untuk berani menjalani kuliah
tersebut di pertemuan berikutnya.
Perilaku takut,
cemas, tidak nyaman ini nampaknya dipahami dengan baik oleh para dosen
psikologi, mengingat hal ini memang sesuai dengan bidang pekerjaan mereka.
Suatu hari aku mengalami serangan saat sedang duduk di dalam kelas.
Kemudian ada
seorang teman yang berkata, “Ih, kasihan Aska, kejang terus menerus”.
Sesaat kemudian
dosenku langsung memberi peringatan kepada temanku tersebut, “Jangan
sekali-sekali berkata ‘kasihan’ kepada Aska, terlebih lagi saat Aska sedang
sadar. Karena ‘kasihan’ itu adalah sebuah judgement.
Yang dibutuhkan oleh Aska saat ini adalah suasana nyaman. Kalau tidak tidak
bisa menolong dia saat serangan, kita bisa menolong dia dengan menciptakan
suasana nyaman bagi dia setelah dia terkena serangan”
Sebagai psikolog
mereka memahami bahwa jika ingin menyelesaikan masalah dari sesorang client,
maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah menciptakan rasa aman dan nyaman
bagi client. Kita harus bisa
menghapus rasa takut dan khwatir
dalam diri client. Dengan begitu
otomatis client akan dengan mudah mengeluarkan segala isi hati dan pikirannya.
Terkadang bahkan kita tidak perlu terlalu pusing memikirkan solusi untuk
masalah client, karena sebenarnya client sudah tahu solusinya. Kita hanya cukup
berperan sebagai ‘cermin’ yang memantulkan balik setiap pertanyaan client.
Ketika kita tanya balik, biasanya client tanpa sadar bisa memberikan
jawabannya. Tugas kita lah membuat client sadar dengan jawaban dari dalam
dirinya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar