Jumat Sore. Aroma weekend sudah menyelimutiku.
Sore itu aku bersama istriku sempatkan diri untuk mengunjungi RSU Bunda
Menteng. Aku ada janji dengan dr Irawaty Hawari Sp.S (ketua YEI) yang juga
praktek di rumah sakit itu. Beliau meminta aku dan teman-teman lain yang pernah
menjalani operasi, untuk datang bertemu dengan 3 ODE yang akan dirawat di RSU
Bunda. Teman-teman tersebut rencananya akan dioperasi besok sabtu (2 orang) dan
lusa minggu (1 orang).
Kami diminta untuk memberikan semangat kepada
ketiga ODE tersebut. Kami datangi mereka ke kamar, sambil membawa energi
positif untuk mendatangkan optimisme pada diri mereka bahwa operasi akan
berjalan sukses. Aku jadi ingat, 10 tahun yang lalu aku berada di posisi
mereka.
Aku buka percakapan dengan menceritakan proses
operasi, apa yang aku rasakan, berapa lama proses, kapan aku benar-benar sadar,
sampai akhirnya bagaimana proses mengembalikan kemampuan kognitif dan memori
setelah operasi. Alhamdulillah, mereka tetap bersemangat untuk menjalani
operasi.
Selepas Maghrib, aku lantas berpamitan dengan dr
Ira. Aku tidak sempat bertemu dengan Prof dr Zainal Muttaqin yang akan
mengoperasi ketiga ODE tersebut, karena beliau baru akan sampai Jakarta besok
pagi. Jadi aku titip salam saja untuk beliau. Aku sudah sempat bertemu beliau
bulan lalu ketika konfrensi nasional epilesi.
Aku bersama istri pun melanjutkan untuk dinner berdua,
sebelum kembali ke rumah bertemu Sofia.
“Alhamdulillah ya Mas, mereka berani untuk
menjalani operasi”, Istriku membuka pembicaraan ditengah kemacetan jam pulang
kantor
“Iya, semoga nantinya proses pemulihan mereka
pasca operasi juga berjalan lancar”, jawabku
Tiba-tiba aku terpikir suatu hal, “Kamu lihat gak,
tadi waktu kita tanya-tanya, dia bisa bercerita banyak hal ya, mulai dari
sekolah, pekerjaan, teman, dll”
“Iya, emang kenapa mas?”
“Berarti banyak ya informasi yang bisa kita gali
dari para ODE. Selain itu berkomunikasi juga bisa menjadi terapi bagi mereka
untuk mengekspresikan segala emosi positif dan negatif mereka”
“Iya, so...?”
“Selama ini informasi yang kita dapatkan lewat
kuesioner kualitas hidup rasanya kurang dalam. Bagaimana kalau kita bikin studi
kualitatif yuk? Kita bikin FGD (focus group discussion) untuk mengali informasi
lebih dalam. Tapi di dalamnya nanti aku juga aku tambahkan semacam terapi
psikologis kelompok bagi mereka untuk membantu mereka fokus pada hal-hal baik
dalam menjalani hidup sebagai ODE”
Aku tambah, “Kemarin aku sempat kirim report
aktivitas YEI 2016 kepada IBE (International Bureau of Epilepsy), dan mereka
sangat mengapresiasi kesibukan kita sepanjang 2016. Dengan adanya apresiasi ini,
sepertinya kita harus melakukan hal yang lebih di tahun 2017 ini. Bagaimana
kalau kita bantu ODE untuk mengekspresikan segala emosinya dalam FGD, mungkin
nanti dari sini kita bisa sama-sama mencari solusi untuk masalah yang kita
hadapi”
“Boleh juga mas”
“Bagi ODE sesi FGD ini bisa menjadi semacam terapi
kelompok. Dan bagi kita, manfaatnya bisa mendapatkan data kualitatif yang
banyak dan mendalam, untuk dapat menghasilkan sekian banyak research report dan
jurnal. Jangan lupa, tulisan ilmiah kita nantinya dapat kita turut sertakan
dalam kongres international epilepsi di Barcelona maupun Bali”, ternyata
jawabanku tidak lepas dari bidang pekerjaanku sebagai researcher.
Begitu mendengar kata “Barcelona”, istriku
langsung bersemangat. “Ayukkk...ayukk.....”
***
Minggu pagi, 22 Jan 2017. Saat itu ada pertemuan
rutin rekan-rekan ODE di Bogor. Aku
turut serta dalam acara tersebut, dan sebelumnya sudah meminta izin kepada
rekan-rekan untuk mengisi acara tersebut dengan sesi diskusi dan game. Aku sebut
demikian, supaya rekan-rekan dapat memiliki gambaran yang jelas tentang apa
yang akan dilakukan.
Sesi Focus Group Discussion (FGD) dimulai. Ini
pertama kalinya kami mengadakan sesi FGD. Jika sebelumya acara pertemuan rutin
hanya diisi dengan sesi sharing dan makan siang, kali ini coba aku tambahkan
sesi FGD, dengan tujuan untuk membantu para ODE memahami kondisinya, serta
mencari solusinya. Biasanya, kita sendiri sudah tahu solusi untuk masalah kita,
tetapi karena kita hanya fokus pada keluhan permasalahan, maka kita tidak
menyadari solusinya. Oleh karena itu dalam sesi FGD ini aku hanya berperan sebagai
sebuah cermin bagi teman-teman ODE untuk melempar balik pertanyaan mereka,
sehingga mereka dapat menemukan jawaban atas pertanyaan mereka sendiri.
Aku minta para ODE yang hadir dalam acara tersebut
untuk berkelompok sesuai gender. Jadi aku memiliki kelompok laki-laki dan
perempuan. Setelah itu aku mulai membacakan pertanyaan.
#1 Epilepsi
masih dekat dengan kata “malu, minder, aib, takut”
Pertanyaan pertama, aku minta mereka untuk
menuliskan 1 kata pertama (Top of Mind) yang pertama kali muncul ketika
mendengar kata “epilepsi”. Inilah hasilnya
Hasilnya mirip untuk grup laki-laki maupun
perempuan. Mayoritas masih memberi konotasi negatif pada kesan pertama terhadap
epilepsi. Aku minta semua ODE bercerita
tentang rasa malu dan takut. Ada yang menceritakan tentang respon
negatif dari teman, ataupun rasa takut serangan akan muncul saat sedang
tes/ujian.
“Kalian sadar bahwa kalian memiliki rasa malu dan
takut terhadap epilepsi?”, tanyaku
“Iya”, jawab mereka bergantian
“Apa yang rekan-rekan sudah pernah/ akan lakukan
untuk mengatasi rasa malu dan takut ini?”
“Kami berkumpul dan saling support satu sama lain,
seperti saat ini”
Walaupun mereka masih memiliki rasa malu ketika
berkumpul bersama orang normal, tetapi paling tidak mereka sudah tidak merasa
malu lagi untuk berbagi bersama ODE.
Aku sudah mendapat banyak informasi tentang image “epilepsi”
di mata mereka. Sepertinya lain kali aku perlu mengadakan sesi FGD sendiri
untuk menggali lebih jauh tentang rasa malu dan bagaiman strategi mereka
mengatasi rasa malu di depan masyarakat umum. Aku berniat untuk menggali info
ini di acara FGD berikutnya. Untuk sesi FGD saat ini, masih banyak pertanyaan
lain yang perlu ditanyakan. Dalam sesi FGD pertama ini aku bertujuan untuk
mengenali, memahami, dan menggali apa
saja masalah sosial yang dihadapi ODE. Di FGD berikutnya aku dapat menggali
masalah satu per satu, serta mencari solusinya bersama.
Aku tutup pertanyaan pertama dengan memberi
statement positif tentang epilepsi. Aku tuliskan 1 kata yang menurutku cocok
untuk menggambarkan epilepsi yaitu : “JODOH”. Aku punya 3 alasan:
- Salah satu teori mengatakan penyebabku memiliki epilepsi adalah proses kelahiran, di mana saat itu kepalaku harus dijepit dengan tang, untuk segera menarikku keluar dari rahim ibu. Penjepitan pada kepala bayi yang masih lunak, dapat menyebabkan kejang. Jadi sejak lahir aku sudah berJODOH dengan epilepsi
- Tahun 2009 aku sempat memasuki titik jenuh dengan epilepsi. Saat itu aku sudah operasi dan bebas serangan sejak 2007. Lalu kenapa aku harus membahas epilepsi terus menerus? Aku ingin “keluar” dari epilepsi. Oleh karena itu aku memilih bekerja sendiri di Jakarta (sebelumnya tinggal di Yogyakarta bersama keluarga), fokus pada pekerjaan, karier, dll. Tapi faktanya, setelah pindah ke Jakarta, aku justru bertemu dengan pengurus YEI, dan aktif dalam kegiatan sosialisasi epilepsi sampai saat ini. JODOH tidak dapat ditinggalkan.
- Ketiga, aktif dalam kegiatan epilepsi membuatku bertemu dengan seseorang yang ternyata adalah JODOH ku (dalam arti sebenarnya), yaitu Istriku.
Mendengar alasanku yang terakhir semua ODE tertawa
dan tersenyum. Saatnya aku menanamkan sugesti positif dalam diri mereka.
Aku minta setiap orang untuk menepuk pundak salah
satu rekannya, sambil saling menasehati bahwa “epilepsi adalah jodoh kita, kamu
tidak sendiri, kita semua selalu bersama”
Spontan mereka lantas memberikan tepuk tangan
untuk diri mereka masing-masing.
Aku hanya memberi 1 pertanyaan sederhana, tetapi
pertanyaan ini dapat membantu mereka dan menggugah rasa percaya diri mereka
untuk menerima hidup sebagai ODE.
Satu pertanyaan selesai, kita pun lanjut ke
pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Sepertinya jawaban yang mengejutkan sudah
siap keluar dari mulut mereka....
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar