Kamis, 28 Januari 2016

#15 Izinkanlah aku merasakan serangan kejang epilepsi untuk terakhir kalinya #BerdoaDalamHati

Pada tanggal 9 Maret 2007, aku pergi ke Semarang untuk menjalani proses operasi. Tidak ada rasa takut karena aku harus berangkat menuju tempat operasi. Ada rasa haru, karena sebelum berangkat aku bertemu beberapa orang yang mendukungku untuk menjalani operasi itu. Bagiku itu adalah hal yang penting. Aku berangkat dari Yogyakarta sekitar pukul 8 pagi. Perjalanan menuju Semarang lancar dan aku sampai di Rumah Sakit  dr. Kariadi, sekitar pukul 12 siang.

Setelah selesai shalat Jumat, papa mulai melakukan pendaftaran administrasi dan aku menjalani berbagai macam tes. Tes-tes yang aku jalani antara lain tes melalui pengambilan darah, tes jantung, dan tekanan darah. Setelah itu kami diberi kamar nomor 302. Setelah itu papaku langsung pergi karena ada pertemuan urusan pekerjaan sampai malam. Di dalam kamar aku dan mama cuma bengong tidak ada kerjaan, karena pada hari ini yang perlu dilakukan cuma tes dan pendaftaran administrasi.

***

Hari Sabtu tanggal 10 Maret 2007, rencananya adikku Minda akan datang setelah pulang sekolah. Di hari itu pun, mama belanja bermacam-macam kebutuhan dan pertama kali kami bertemu dengan dr. Zainal Muttaqin sebelum operasi. Beliau cuma berpesan agar aku mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun mental untuk menjalani operasi besok. Beliau juga berpesan bahwa aku tidak perlu takut menjalani operasi, santai saja. 

"Operasi bedah otak ini termasuk kategori operasi ringan, sedang, atau berat dok?", tanya mama kepada dr Zainal

"Analoginya operasi kecelakaan biasanya berlangsung selama dua jam, operasi tumor otak yang parah bisa mencapai dua belas jam, sedangkan operasiku ini akan berlangsung selama lima sampai enam jam", jawab dr Zainal

Beliau juga menambahkan bahwa di hari sabtu ini aku tak perlu khawatir tentang proses operasi, karena acara hari ini hanyalah tes psikologi dan tes EEG ulang.

Di hari itu, beberapa rekan kerja papa datang untuk menjengukku. Di saat kami sedang ngobrol, tiba-tiba seseorang psikolog yang akan memberiku tes psikologi masuk ke dalam kamarku. Aku harus menjalani tes psikologi sebelum operasi. Psikolog yang juga menjadi tester, sempat menjelaskan tentang instruksi dan cara mengerjakan tes. Dan aku cukup terkejut, ternyata aku sudah pernah mempelajari tes itu, bahkan dulu waktu kuliah aku menjalani praktikum dengan tes itu. Si tester memberi dua macam tes, yaitu tes intelegensi dan tes kepribadian. Semua tes itu pernah aku kerjakan dalam praktikum saat kuliah. Hanya saja dulu aku menjadi tester, dan kini aku menjadi testee. Tapi bagaimana pun juga, aku sudah tahu segala macam aturannya, dan akhirnya tester merasa tidak perlu memberi penjelasan karena aku bisa menjalani tes sendiri. Dari hasil obrolan dengan tester, aku tahu bahwa ia adalah seniorku yang sama-sama belajar di Fakultas Psikologi UGM.

Setelah menjalani tes psikologi, kegiatan yang harus aku jalani berikutnya adalah menjalani tes EEG ulang dengan syarat, serangan kejang epilepsi harus datang dan menyerangku di saat aku sedang menjalani tes. Tes EEG dijalani di sebuah laboraturium yang sama dengan minggu lalu. Saat itu aku dijemput oleh seorang perawat di kamar, kemudian pergi menuju lab dengan menggunakan kursi roda. Saat itu papaku ikut pergi menemaniku ke lab. Setibanya di lab, aku segera dipersiapkan untuk menjalani tes EEG. Dr Aris sudah menunggu di lab. 

"Kamu harus kena serangan kejang epilepsi ya saat alat tes sudah dipasang di kepalamu", pesan dr Aris.

"Iya, semoga serangan benar-benar muncul. Aku sudah melakukan beberapa hal sesuai instruksi dr Aris minggu lalu untuk meningkatkan probabilitas terjadinya serangan kejang", jawabku

"Apa saja yang sudah kamu lakukan?"

"Aku sudah mengurangi jam tidur. Beraktivitas sampai dini hari agar aku kelelahan hari ini. Aku sudah berhenti minum obat dalam 3 hari terakhir. Aku mengurangi belum makan siang supaya kelaparan. Aku sudah melakukan itu semua. Tapi kalau aku harus membuat pikiranku stress, sepertinya itu sulit. Aku terlanjur bahagia dengan adanya kemungkinan untuk sembuh ini"

"Ya sudah, kita lihat nanti bagaimana jadinya ya. Semoga kamu benar-benar kena serangan kejang dalam beberapa menit ke depan"

Kepalaku pun mulai ditempeli berbagai macam kabel oleh dr Aris. EEG ini berfokus pada 32 titik di kepala. 

Setelah semua kabel terpasang dalam kepalaku, aku pun mulai diminta untuk tidur sambil 'memanggil' serangan kejang. 20 menit pertama, serangan kejang tidak terjadi. Bahkan aura rasa takut pun tidak muncul. Aku terus berusaha

"Ayo dong takut", perintahku kepada diriku sendiri

"Takut terhadap apa? Dari tadi emosimu bahagia terus", bagian tubuhku yang lain seakan menjawab perintahku

Kemudian aku menambah konsentrasi dalam diriku agar serangan kejang epilepsiku bisa kambuh dan muncul. Sampai tiba-tiba terbesit ide dalam pikiranku untuk mencoba cara sebaliknya dalam memanggil serangan.

Aku sudah terlanjur bahagia. Jadi aku mencoba bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan yang dia berikan untuk sembuh, dan aku mengucapkan satu permintaan kepada-Nya dalam hati: 

“Ya Allah, aku sudah menjalani hidup bersama epilesi selama hampir 10 tahun. Dalam beberapa bulan belakangan ini, Engkau sudah membantuku untuk membuka mata, hati, dan pikiranku, sehingga aku bisa menangkap hikmah dibaliknya. Aku pun bisa bersahabat dengan epilepsi. Kalau memang ini adalah saatnya aku lulus dari ujian hidup dalam bentuk epilepsi ini, maka izinkan lah aku untuk merasakan serangan kejang untuk terakhir kalinya”

Setelah aku ucapkan itu, aku menyadari bahwa ada satu pemilik kekuatan besar di alam semesta ini yang mengatur segala hal dalam kehidupan manusia. Kesadaran ini membuatku merasa kecil dan takut. 

Beberapa saat kemudian, detak jantungku mulai meningkat, diiringi nafas yang sengaja aku atur agar tidak teratur. Dan aura rasa takut itu pun tiba-tiba muncul. Kekuatan aura itu masih kecil, dan aku terus ‘memanggil’ nya. Jika biasanya aku menolak aura itu, maka kali ini aku menyambut kedatangan aura itu. Detak jantung meningkat, rasa takut muncul semakin besar, dan tiba-tiba aku hilang kesadaran.

Saat aku tidak sadar, aku mengalami serangan kejang grand mal. Yaitu tipe kejang parah yang membuat bisa tubuhku akan terguling dari tempat tidur. Jika biasanya bentuk kejangku ringan, yaitu hanya kejang di tangan kanan saja, maka kali ini aku kejang di seluruh bagian tubuh. Para perawat bersama dr Aris pun lantas berusaha menahan tubuhku agar aku tidak terjatuh.

Ilustrasi serangan kejang yang terjadi saat tes EEG

Dokter pun berhasil merekam video gejala seranganku, dan juga amplitude gelombang otak di saat terjadi serangan melalui tes EEG. Bagian tubuhku yang pertama kali kejang adalah sisi kanan, baru kemudian diikuti oleh kejang di seluruh tubuh. Bukti ini terlihat dari rekaman video dan tes EEG. Dengan demikian dokterpun yakin 100% bahwa sumber kejangku ada di hippocampus otak kiri. Selaras dengan hasil tes MRI sebelumnya. 


Ini adalah serangan kejang yang hebat. Jauh lebih hebat dari serangan kejang ringan yang rutin aku alami. Aku membutuhkan waktu yang lama untuk kembali sadar. 

Ketika aku membuka mata, aku sudah kembali ke dalam kamar dalam kondisi pusing. Sangat pusing. Aku tidak mampu duduk, apalagi berdiri. Aku hanya bisa tidur menghadap ke atas. Kalau menghadap ke samping kiri atau kanan, maka kepalaku akan terasa pusing sekali.

"Tadi kamu kena serangan yang hebat. Biasanya kamu kena serangan tipe ini cuma 1-2 kali setahun. Sisanya serangan ringan dalam frekuensi yang sering", Papa membuka pembicaraan

"Iya pah, aku berhasil memanggil serangan kan?", ucapku sambil tersenyum

"Tapi masih pusing nih, jadi mau tidur aja dulu", aku menambahkan

"Ya udah tidur aja, ini udah maghrib. Kamu tidur aja sampai besok pagi. Besok harus bangun pagi untuk segala persiapan sebelum operasi", kata papa

Pengalaman ini mengingatkanku bahwa jika Tuhan sudah mengizinkan, maka segala hal pun dapat terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar