Minggu, 24 Januari 2016

#5 'Deja vu' : Pertanda Munculnya Serangan Kejang Epilepsi

Ternyata peristiwa kejang di pelajaran bahasa jawa itu bukanlah peristiwa yang terakhir, itu hanyalah sebuah awal kemunculan serangan epi yang akan terus mewarnai hidupku. Di tahun yang sama, aku mengalami serangan lagi di sekolah.

Mama bercerita, “Tiba-tiba mama ditelepon sekolah kalau kamu kejang lagi. Mama segera datang, pada saat itu papa sedang tugas ke Jakarta”

“Iya mah, aku ingat itu, terus apa yang terjadi padaku saat itu?”

“Kamu mau mama bawa ke RS Panti Rapih lagi. Waktu mama tuntun menuju mobil, tiba-tiba kamu meronta-ronta dan teriak-teriak kesakitan sambil memegang kepalamu. Jadinya susah sekali memaksamu masuk mobil meskipun akhirnya berhasil”

Aku membayangkan apa yang terjadi saat itu, dan yang ada aku terus bertanya, kenapa aku bisa seperti itu? Aku tidak pernah merasakan sakit kepala sebelum terkena serangan epi.

“Di depan ruang Gawat Darurat Panti Rapih, kamu masih teriak-teriak sehingga semua orang memandang heran. Secara fisik kamu tidak kelihatan sakit tapi kenapa teriak-teriak kesakitan. Kamu baru diam setelah disuntik  penenang kemudian disarankan lagi untuk rawat inap. Dengan halus mama tolak, kamu mau mama ajak ke Jakarta karena pada waktu itu sedang dalam perawatan oleh dokter ahli syaraf (Alm dr. Hukom) ”

Oh iya, aku ingat dengan beliau. Beliau pernah mengajarkanku untuk relaksasi dan menanamkan sugesti dalam diri. Dan relaksasi ini kadang berguna untuk mengatasi rasa cemas & takut itu, yang akhirnya menjadi semacam pertanda munculnya serangan kejang epilepsi.

Sebelum serangan epilepsi, aku selalu merasakan sebuah perasaan cemas dan takut, atau bisa disebut semacam aura negatif, yang akhirnya menjadi semacam pertanda sebelum kejang epilepsi menyerangku. Entah di mana, kapan, dan bagaimana, perasaan itu selalu datang tiba-tiba.
Perasaan itu selalu datang tiba-tiba tanpa pertanda apa pun. Saat itu pula detak jantung seketika meningkat, rasa dingin mulai menusuk, dan nafas mulai tidak teratur. Segala kesenangan dan kebahagiaan berubah menjadi rasa takut, cemas, dan gelisah. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Semakin aku berusaha mencari tahu dari mana asalnya perasaan itu, semakin besar perasaan takut, cemas, dan gelisah yang kurasakan.

Ketika berada di tengah kehangatan dan keramaian, tiba-tiba rasa sepi dan kesendirian menyerang. Perasaan itu muncul bersama  perasaan déjà vu. Jika perasaan itu datang saat aku sedang menonton acara TV atau mendengarkan musik, aku akan merasa, pernah menonton dan mendengarkan musik itu sebelumnya. Atau jika perasaan itu datang saat aku sedang berbincang dengan orang lain, aku juga akan merasa sudah pernah berbincang dengan orang itu sebelumnya. Intinya, jika perasaan itu muncul saat aku sedang melakukan suatu hal, aku pasti akan merasa sudah pernah melakukannya. Semua itu benar-benar aneh bagiku.

Saat itu pula, tiba-tiba aku kehilangan kontrol atas seluruh tubuhku, walau aku memang masih bisa melihat dan mendengar kondisi di sekitarku. Ketika aku ingin berbicara atau sekedar memberi sinyal kepada orang-orang di sekitarku, aku sudah tidak sanggup. Ingin minta tolong, tapi tidak bisa. Aku benar-benar merasa sendiri di tengah keramaian. Secara perlahan namun pasti, pandanganku mulai kabur dan tiba-tiba saja aku hilang. Aku memberi istilah hilang, karena aku benar-benar tak tahu di mana diriku atau lebih tepatnya kesadaranku berada saat itu.

Ketika aku hilang, aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Tubuhku bergerak seenaknya, bahkan kadang, sampai menghancurkan barang. Pernah ketika aku sedang berada di dalam mobil, tiba-tiba aku menyerobot setir dari supir, atau berusaha ingin keluar dari dalam  mobil, walaupun sedang berada di tengah jalan. Ketika ada orang lain yang ingin menolongku, aku justru menyerangnya.

Sewaktu sadar rasanya seperti habis bangun tidur. Tapi bedanya, pakaianku akan basah, penuh dengan air liur. Kata orang-orang yang melihatku, sebelumnya aku kejang-kejang lalu mengeluarkan air liur. Padahal aku sama sekali tidak merasa melakukan hal itu. Pernah juga, kondisi di sekitarku tiba-tiba jadi berantakan. Mungkin sewaktu hilang, aku melakukan hal-hal yang merusak.

Kata orang-orang, bila aku sedang hilang, aku biasanya menolak untuk ditolong, merusak sesuatu, dan berteriak-teriak kencang. Apa benar aku melakukan hal itu? Karena aku sendiri, merasa tidak melakukannya.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Kadang rasa takut dan cemas itu bisa hilang seketika. Namun, jika perasaan takut dan cemas itu tidak hilang, muncul gejala kejang-kejang tersebut. Sebenarnya aku tidak hilang kesadaran  dalam waktu yang lama, cuma dalam hitungan detik. Kemudian akan kudapati pakaianku yang basah dengan air liur dan tisu-tisu berserakan di sekitarku. Benar-benar aneh, aku ingin sekali tahu apa yang sebenarnya terjadi.

***

Munculnya epilepsi pada diriku, kurasakan memiliki pengaruh yang kuat pada keseharianku. Ketika aku masih studi kelas 3 SMP, pengaruh yang kurasakan paling besar adalah ketinggalan pelajaran. Hampir setiap akhir pekan aku ke Jakarta untuk menjalani terapi bersama dokter di Jakarta.

Selain obat, aku juga sempat diajari relaksasi sekaligus menanamkan sugesti oleh seorang psikiater di Jakarta, dr. Hukom (alm), pada tahun 1998. Berangkatlah kami ke Jakarta untuk menemui dokter tersebut. Sama seperti hasil diagnosis terdahulu, beliau juga tidak menemukan masalah di tubuhku. Hanya saja, kadang ada sedikit gangguan pikiran dan perasaan yang dapat berpengaruh pada munculnya serangan epilepsi. Dokter ini lebih menitikberatkan pada faktor psikis. Kemudian dokter itu mengajariku melakukan relaksasi. Dalam relaksasi tersebut ia menghipnotisku, membiarkanku masuk ke dalam alam bawah sadarku, lantas menanamkan sugesti-sugesti dalam diriku. Sugesti tersebut berisi keyakinan untuk sembuh. Kurang lebih kata-kata sugestinya seperti ini:

Aku Aska, adalah orang yang diberi kelebihan khusus oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mulai sekarang untuk selamanya aku diberi kelebihan, khususnya dalam bidang relaksasi agar aku makin maju, sehat, dan sempurna.

Setelah itu, setiap hari aku diminta melakukan relaksasi, bisa dalam posisi tidur atau duduk, sambil menutup mata, mengatur pernafasan, sekaligus membaca kalimat sugesti itu sebanyak 21 kali.

“Kenapa harus 21 dok? Apa itu angka keberuntungan?”, tanyaku suatu hari.

“Kalau ada orang yang nanya kenapa 21, jawab aja itu angka yang bagus. Karena 3 dikali 7 sama dengan 21”, jawabnya simpel. Aku tidak tahu apa maksud beliau sebenarnya.

Relaksasi dilakukan untuk membentuk gelombang alpha di dalam otak. Denyut jantung dan pernafasan yang teratur akan membawa ketenangan, membuat kinerja organ-organ tubuh menjadi lebih baik, dan gelombang alpha pun akan tercipta. Pada akhirnya, sugesti-sugesti itu menanamkan pada diriku bahwa aku adalah orang yang sehat. Sehingga segala penyebab yang dapat memicu penyakitku muncul, dapat terhindarkan karena ketenangan kutemukan dalam berelaksasi.

“Gelombang aplha?”, tanyaku yang saat itu belum ngerti apa-apa.

“Ya. Gelombang alpha akan terbentuk di otak jika terbentuk keselarasan dan sinergi antara setiap kinerja organ tubuh”

Aku masih belum begitu ngerti, “Kenapa kok bisa terbentuk?”

“Hmm...gini aja”, dr. Hukom memberi penjelasan yang simpel dengan sebuah analogi.
“Kamu tahu jembatan gantung? Yang bisa goyang-goyang ke atas-bawah kalau ada orang yang lewat?”

“Ya tahulah dok”, ujarku

“Nah, sekarang coba bayangkan. Ada banyak orang yang melintasi jembatan itu. Tapi dengan catatan searah. Maksudnya mereka berjalan melintasi jembatan dengan arah yang sama”

Kubayangkan banyak orang melintasi jembatan gantung dari arah kiri ke kanan

“Lalu, apa yang terjadi jika orang-orang itu berlari semua saat melintasi jembatan gantung itu?”

“Ya..jembatannya akan goyang-goyang........mungkin lebih tepatnya bergetar”

“Ya. Itulah maksud saya. Sekarang gimana kalau orang-orang itu melintasi jembatan gantung dengan kekompakan dan keselarasan langkah? Ada yang memberi aba-aba ‘kiri-kanan-kiri-kanan’ untuk melangkah?”

“Kalau gitu...hmmm.....jembatannya akan bergoyang lebih luwes dong dok. Ada saatnya jembatan bergoyang ke bawah saat orang-orang bersamaan melangkah, dan ada saatnya jembatan bergoyang kembali ke atas saat orang-orang bersiap untuk melangkah dengan kaki satunya”

“Good. Jadi apa bedanya kasus pertama dengan kasus kedua?”

“Yang pertama, jembatannya hanya bergetar dan yang kedua, jembatannya bisa bergoyang selaras”

“Bagus. Nah itu dia yang saya maksud. Gerakan jembatan pada kasus pertama itu akan berbentuk seperti gelombang beta atau delta. Dan gerakan jembatan pada kasus kedua itu akan seperti gelombang alpha atau theta”, kata beliau sambil menunjukkan gambar gelombang otak.

“Ok. Aku ngerti dok”.

“Nah, itulah yang terjadi dalam tubuhmu. Orang-orang yang melintasi jembatan tadi adalah organ-organ tubuhmu. Paru-parumu, jantungmu, dan yang lain”, tambah beliau

“Apa yang kamu rasakan kalau habis berlari?”, beliau bertanya

“Nafas ngos-ngosan dok, terus detak jantung juga kenceng”

“Kalau cemas, takut, khawatir?”

“Hampir sama dok”

“Kalau kamu capek, baik fisik ataupun psikis. Itu berarti orang-orang itu tidak bisa melalui jembatan gantung dengan keselarasan dan keharmonisan. Mereka berlari saling mendahului satu sama lain”

Akhirnya aku bisa memahami tentang perlunya relaksasi. Cemas, takut, khawatir. Bukankah itu adalah perasaan yang muncul saat mau kena serangan? Detak jantung kencang seketika dan nafas yang kencang.....bukankah itu juga satu gejala yang aku alami sebelum kena serangan? Berarti aku harus bisa fokus, relax, dan mencapai ketenangan saat pertanda serangan muncul.

“Oh iya, satu lagi Aska”, beliau menambahkan

“Kamu nanti bisa pakai teknik ini untuk tujuan lain. Untuk belajar misalnya. Kamu tinggal ganti kata-kata sugestinya”

Aku Aska, adalah orang yang diberi kelebihan khusus oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mulai sekarang untuk selamanya aku diberi kelebihan, khususnya dalam bidang.............agar.............

Kurang lebih itulah maksud beliau. Aku hanya tinggal mengisi titik-titik di atas, dan menanamkan pada diriku. Suatu hari dr. Hukom (alm) pernah menantangku.

“Kalau kamu yakin, ketika akan menghadapi soal ujian pilihan ganda, kamu tidak perlu belajar. Kamu tanamkan sugesti aja bahwa jawaban yang kamu pilih adalah benar. Maka nilaimu akan bagus”

“Kalau kamu mau bukti, dulu waktu ujian di kuliah S3 saya pernah melakukannya”, tambah beliau.

Aku terima tantangannya dan kucoba

Saat kucoba pertama kali, ternyata ini berhasil membantuku mengerjakan ujian sekaligus dapat nilai bagus, dan tertinggi di kelas 3 SMP.

Aku biasa menggunakannya setelah belajar. Biasanya habis belajar, aku relaksasi sambil menanamkan sugesti-sugesti itu, dan setelah selesai membaca sebanyak 21 kali. Saat itu otakku yang tadinya rasanya panas dan seperti benang ruwet, seketika otakku jadi adem dan nyaman. Saat itu pula aku lupa akan segala hal yang aku pelajari sebelumnya. Tapi tidak perlu khawatir, setelah itu aku bisa bermain-main bebas. Yang penting relax.

“Akan lebih bagus kalau setelah itu kamu tidur, atau perlu sekalian tidur”, tambah beliau.

Dan di saat aku bangun tidur, tiba-tiba ingatan pelajaran itu muncul seketika dan bisa membantuku saat ujian. Bila dilatih terus akan masuk ke dalam long-term memory, tidak hanya working memory. Masalah memori adalah salah satu hal yang menggangguku ODE.

Karena terapi itu, aku harus ke Jakarta setiap akhir pekan. Akhirnya aku harus sering membolos lagi. Padahal saat itu aku sudah duduk di kelas tiga dan harus mempersiapkan diri untuk ujian akhir. Karena sering bolos, aku jadi jarang belajar. Akibatnya, aku menyalahgunakan teknik sugesti yang diajarkan dokter tersebut.

Aku merasa tidak perlu belajar, cukup dengan relaksasi, dan semuanya akan beres. Dalam relaksasi pun aku juga kurang menanamkan kalimat-kalimat sugesti itu ke dalam diriku. Aku merasa hanya perlu baca kalimat-kalimat sugesti itu sebanyak 21 kali. Setelah membaca 21 kali, maka aku siap untuk ujian. Inilah kesalahanku yang akhirnya membuat nilaiku menurun. Hasil ujian akhirku tidak begitu bagus, sehingga aku tidak bisa ikut teman-teman melanjutkan studi di SMA negeri.

Mungkin nilai bagus yang kudapat dengan berelaksasi dulu hanya sebuah cara Tuhan untuk menguji keseriusanku. Dari situ aku mengambil hikmah, jika akan ujian aku harus tetap belajar. Relaksasi adalah salah satu cara untuk membantu kinerja otak kita lebih efektif saat belajar. Relaksasi bukanlah cara untuk meramal jawaban .

Pada akhirnya beliau menilai sudah cukup terapinya. Beliau mengatakan bahwa aku tidak perlu terlalu sering ke tempat praktek beliau di Jakarta. Pada beberapa bulan pertama, terapi ini sangat membantuku, frekuensi serangan dapat berkurang. Tapi setelah itu frekuensi serangan kembali naik seperti sebelumnya. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi berkunjung ke tempat prakteknya di Pasar Minggu Jakarta. Beberapa tahun kemudian, aku mendengar kabar bahwa ia meninggal saat menolong orang. Seorang perempuan terjebak dalam perlintasan kereta di depan kliniknya di pasar minggu. Ia pun berinisiatif menolongnya. Perempuan tersebut selamat, tetapi ia tidak karena tidak sempat menghindar dari communter line yang melintas.

Secara keseluruhan, terapi meditasi relaksasi ini memang sangat bermanfaat bagiku. Segala bentuk rasa takut dan ketegangan yang biasa memicu serangan epi, dapat kuatasi sejak dini. Hanya saja, kadang aku sudah diserang rasa takut dan cemas terlebih dahulu sebelum sempat melakukan relaksasi. Fokus pada rasa takut ini, membuatku lupa melakukan relaksasi.


5 komentar:

  1. Terimakasih untuk sharingnya. Sangat membantu saya untuk memahami kondisi yg saya alami, karena apa yg dialami Mas Aska sama seperti yg saya alami. Saya penyandang epilepsi yg menurut hasil MRI ditemukan sclerosis hippocampus (hippocampus sebelah kanan lebih kecil dibandingkan sebelah kiri). Pernah ditawarkan untuk dioperasi oleh Dr. Zakiyah syeban SpS, tapi pada waktu itu saya belum mempunyai keberanian, karena informasi bedah epilepsi masih sangat minim (bahkan saya belum pernah mendengarnya).Jenis epilepsi saya merupakan perkembangan dari petit mal ke grand mal, sekarang saya baru tahu kalau sebenarnya saya sudah menyandang epilepsi sejak usia 10 tahun, namun baru diketahui di usia 13 tahun, karena pada usia 10-13 tahun saya sering merasakan kalau saya ini sedang berada ditempat kampung halaman yg dulu (sebelum pindah ke jakarta), mungkin ini yg namanya deja vu. Pada saat itu tidak ada yg mengetahui hal tersebut dan saya pun tidak pernah menceritakan deja vu yg saya alami kepada siapapun termasuk kepada keluarga. Baru pada usia 13 tahun keluarga baru menyadari ada yg janggal dengan diri saya, pada waktu itu de javu (yg kemudian saya ketahui sekarang sebagai aura) muncul dan saya mencoba meyakinkan diri saya kalau saya sedang berada di jakarta dan bukan di kampung halaman dulu, tanpa saya sadari saya menepuk-nepuk tangan dan mengecap-ngecap, ditambah saya suka pingasan di sekolah. Akhirnya orang tua saya mengajak untuk memeriksakan diri ke rumah sakit, pada waktu itu saya sangat senang untuk berobat ke dokter,karena menurut saya, saya berobat ke dokter, diberi obat, setelah 4 hari - 1 minggu penyakit saya akan sembuh (seperti berobat sakit flu). Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, saya divonis menderita epilepsi dan harus menjalani pengobatan jangka panjang minimal 2 tahun. Saya merasa shok dengan vonis tersebut, tapi bukan shok karena penyakitnya (karena epilepsi masih awam bagi saya) tapi saya shok dengan lamanya masa pengobatan yg harus saya jalani, tapi ternyata bukan hanya 2 tahun saya harus berobat, sekarang sudah hampir 30 tahun saya berobat dan saya jalani dengan ikhlas. Semoga imformasi tentang epilepsi lebih meluas lagi, agar dapat ditanggulangi sejak dini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, nampaknya kita memiliki gejala deja vu maupun gejala serangan kejang yang sama. Yang penting jaga kondisi fisik dan psikis kita untuk mengurangi frekuensi munculnya serangan kejanng

      Hapus
  2. Assalamu'alaikum Mas Aska. Ada yg mau saya tanyakan, kalau muncul aura, apa yg bisa dilakuan (selain meditasi), agar aura itu bisa hilang dan tidak berlanjut menjadi kejang, karena kalau meditasi saya belum terlatih untuk melakukannya. Selama ini saya merasa kesulitan kalau ditanya oleh dokter untuk menjelaskan aura yg saya rasakan saat ini, karena aura yg saya rasakan sekarang berbeda dengan yg saya rasakan ketika epilepsi saya masih petit mal, waktu itu yg saya rasakan seperti berada di tempat lain yg tempat itu pernah saya kenal. Tapi perasaan aura sekarang berbeda, perasaan itu muncul secara tiba-tiba dan berlangsung sangat cepat kemudian hilang kesadaran. Setelah membaca tulisan di atas, saya seperti mendapatkan cermin karena banyak persamaan dengan aura yg saya rasakan selama ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya pernah berdiskusi dengan dokter bahwa pada dasarnya aura itu sendiri sudah merupakan bentuk kejang yang paling ringan, baru kemudian menjadi kejang yang lebih berat dan hilang kesadaran. Hal yang bisa dilakukan adalah mencoba untuk atur pernafasan, coba fokus ke stau hal (bukan fokus pada rasa takut tersebut), dan bisa juga dengan menekan ibu jari (ini sudah dibuktikan dengan riset ilmiah seorang dokter, untuk lebih detailnya bisa googling)

      Hapus
  3. Terimaksih untuk infonya, saya akan coba tipsnya. Mudah-mudahan berhasil dan kita semua diberikan kesehatan. Amin...

    BalasHapus