Pada tahun 1996-1999 aku duduk di SMP Negeri 1
Yogyakarta. Aku memilih bersekolah di sana karena aku suka dengan
lingkungannya. Aku biasa berangkat ke sekolah dengan sepeda, karena dengan
bersepeda aku dapat berangkat pulang-pergi sesukaku. Aku tidak perlu tergantung
pada orang lain. Tapi kadang, terus bersepeda juga membuatku lelah, apalagi
ketika cuaca sedang panas-panasnya.
Masa SMP aku isi dengan banyak kegiatan.
Kebanyakan berkaitan dengan pramuka. Sekolahku dikenal dengan tradisi pramuka yang baik. Pada tahun ’90-an, dua regu pramuka dari sekolah kami; regu
Garuda dan regu Beringin, pernah menjadi wakil Indonesia dalam jambore
internasional di Belanda. Aku merasa senang, ketika terpilih masuk ke dalam
regu Garuda. Dengan reguku itu, aku bisa mengikuti lomba pramuka sampai tingkat
nasional.
Saat itu aku bersama regu Garuda sedang menjalani
lomba tingkat nasional di Cibubur pada tahun 1998. Pada hari perlombaan, regu
Garuda harus dibagi menjadi 4 sub-regu, karena ada 3 lomba yang digelar
bersamaan pada lokasi yang berbeda, dan 1 sub-regu yang terdiri dari 2 orang
bertugas menjaga tenda. Saat itu aku kebagian tugas menjaga tenda bersama
temanku yang bernama Marseto. Di sore hari, kami berdua pergi ke masjid untuk
mengikuti sholat maghrib berjamaah. Setelah sholat ada acara ceramah rutin. Aku
mendengarkan ceramah itu, sambil sedikit ngantuk, sampai tertidur. Beberapa
menitu kemudian aku terbangun, dan entah kenapa tiba-tiba semua orang dalam
masjid menatapku. Ada yang menatap bingung, ada yang heran, ada juga yang
bingung seolah-olah mau berekspresi seperti apa. Selesai dari masjid tiba-tiba
Marseto mendekatiku dan bertanya,
“ Aska, ngapain sih tadi lu teriak-teriak di Masjid?”, tanya Marseto
“Hah, siapa yang teriak-teriak? Aku? Aku tadi tidak
ngapa-ngapain kok, orang aku dengerin ceramah. Sempat ketiduran juga sih”
“Iya, kamu tadi teriak-teriak, orang-orang di
Masjid terus pada ngelihatin kamu. Kamu lihat sendiri kan mereka?”
“Hmm....iya sih”, betul juga, tapi apa iya aku
teriak-teriak?
Kejadian itu akhirnya aku sadari sebagai
‘pertanda’ akan kemunculan serangan kejang epilepsi dalam tubuhku. Pada saatnya
nanti, aku akan sering mengalami hal-hal seperti itu, kehilangan kesadaran,
berteriak-teriak seperti orang kesakitan, kejang-kejang, sampai melukai orang
lain.
Pengalamanku ikut bergabung dalam regu garuda
mengajarkanku untuk lebih mandiri, bisa bekerja sama, dan lebih percaya diri
dalam berteman. Pada awal aku masuk regu garuda, aku dikenal sebagai anak yang
pendiam dan pemalu. Hanya bisa diam dan mengerjakan tugas. Tapi makin lama aku
makin bisa mencairkan suasana yang dingin dan aku bisa bergaul lebih dekat
dengan teman-temanku satu regu. Aku bisa nyambung dalam setiap pembicaraan, tidak
seperti dulu, yang hanya bicara seperlunya saja. Kami bisa tertawa bersama,
berjuang bersama, menikmati kemenangan bersama, dan menerima kekalahan bersama.
Waktu pun terus berlalu hingga akhirnya aku duduk
di kelas tiga.
***
Ada hari yang tidak akan pernah aku lupakan ketika
aku ada di kelas tiga. Hari itu adalah hari Jumat. Selesai jam istirahat, aku
segera kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran berikutnya yaitu Bahasa
Jawa. Sang guru pun tiba di kelas dan mengabsen kami satu persatu. Nomor
absenku adalah 23, jadi namaku masih agak lama akan dipanggil.
Mendekati panggilan nomor 23, tiba-tiba aku merasa
aneh. Mungkin itu kata yang tepat, karena bukan hal yang mudah untuk
mendeskripsikan perasaan itu. Tiba-tiba saja perasaan takut, cemas, dan gelisah
itu muncul seketika. Aku merasakan ada seseorang dibelakangku. Akhirnya aku pun
terbuai dengan perasaan ini. Aku
sibuk mencari tahu tentang apa sebenarnya perasaan ini. Ketika namaku dipanggil, tiba-tiba aku tidak
bisa mengangkat tanganku, bahkan bergerak pun aku tidak bisa. Aku kehilangan
hak paling asasi di dunia ini, yaitu menggerakkan organ-organ tubuh. Aku memang
masih bisa melihat, tapi otakku serasa kosong, dan aku merasa tidak punya
kendali atas tubuhku.
“Aska Primardi”, panggilan pertama dari guruku
Aku tahu, aku harus mengangkat tangan dan
mengacungkan jari, tapi aku tidak bisa.
“Aska Primardi”, panggilan kedua
“Aska, namamu dipanggil tuh”, ujur si Lukman,
teman sebangku, dengan santai.
“Aska Primardi”, panggilan ketiga
“Aska!!, acungkan jarimu, Aska !!, Aska!!”, si
Lukman sedikit berteriak, seolah ingin menyadarkanku dari lamunan
“Aska Primardi”, panggilan keempat. “Yang mana sih
orangnya?”, tanya guruku pada temanku yang duduk di bangku paling depan. Dan
temanku pun menunjuk diriku yang ada di bangku tengah, tidak terlalu depan,
tapi juga tidak terlalu belakang.
Si Lukman pun lantas, memegang tanganku dan
menariknya agar aku bisa mengacungkan jari
“Aska”, panggilan kelima.
Si Lukman makin keras menarik tanganku. Tapi
percuma, aku saja tidak bisa menggerakkan tubuhku, dan aku pun panik. Tidak
bisa berpikir, dan hanya bisa melihat ke depan.
“Aska! Maju ke depan sini, berdiri di samping
papan tulis!” kali ini guruku agak keras memanggilku.
“Aduh...kamu tuh gimana sih As? Apa susahnya mengacungkan jari?” si Lukman
bingung.
Setelah itu, anehnya, entah kenapa, tubuhku
bergerak dengan sendirinya, kemudian aku berjalan ke depan, dan berdiri di depan
papan tulis. Padahal aku benar-benar tidak memerintahkan tubuhku untuk
melakukan itu. Ketika berdiri di depan, aku masih bisa melihat ke arah
teman-temanku ketika guruku melanjutkan memanggil temanku satu persatu. Dan
tiba-tiba aku hilang
kesadaran dan segalanya berubah
menjadi gelap seketika…
Dalam kegelapan aku sempat melihat sekilas.
Beberapa orang memegangi tubuhku yang sedang berontak dan berusaha melawan. Suara-suara
yang sepintas aku dengar adalah “Pegang tangannya” , “Awas kakinya” , “Kamu
pegang sebelah situ” , “Ayo kita sama-sama tahan gerakannya” , “Dokter!! Obat
penenangnya sepertinya perlu ditambah”
Setelah itu aku pun hilang kembali. Ketika membuka mata, aku sudah berada di
dalam kamar rumah sakit Panti Rapih yang terletak di seberang sekolahku. Aku
melihat mama sudah ada di sampingku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi pada diriku. Kepalaku terasa sangat pusing. Bahkan jika aku
ingin duduk atau mengangkat kepala sedikit saja aku akan langsung muntah-muntah
karena kepalaku bukan main pusingnya.
Ketika kondisiku sudah lebih baik dan rasa sakit
di kepala mulai berkurang, aku pun mulai bisa berpikir. Aku tanya pada mama,
apa yang sebenarnya terjadi. Mama bercerita bahwa tiba-tiba saja aku mengalami
kejang-kejang, berteriak-teriak, dan hilang kesadaran di dalam kelas. Awalnya
aku sempat dibawa ke ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Karena aku masih tetap
saja kejang-kejang, pihak sekolah memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, dan
membawaku ke rumah sakit terdekat. Ketika di rumah sakit aku masih tetap saja
kejang-kejang dan melawan ketika hendak diberi perawatan. Sampai aku disuntik
obat penenang dan akhirnya sadar.
Aku sendiri tidak banyak tahu akan kejadian pada
diriku. Yang aku tahu hanyalah tiba-tiba aku udah ada di dalam kamar rumah
sakit.
Pihak dokter memutuskan bahwa aku harus tinggal di
rumah sakit selama satu minggu untuk kemudian dirawat dan didiagnosis. Aku
harus menjalani berbagai macam tes, termasuk tes EEG (Electroencephalography)
. Seminggu berlalu, ternyata hasil yang didapat
dari berbagai macam tes yang aku lalui adalah NIHIL.
Dokter menyimpulkan bahwa penyakit yang menyerangku
ini memiliki gejala kejang seperti serangan penyakit epilepsi. Walaupun setelah
didiagnosis tidak ditemukan masalah dalam diriku. Akhirnya dokter memberiku
obat penyakit epi yang terus aku konsumsi sampai sekarang. Selain itu, dokter
memberi saran untuk beristirahat cukup, mengkonsumsi makanan yang bergizi
seimbang, meminum obat sesuai dosis dan tepat waktu serta menghindari faktor-faktor
pemicu kejang, seperti lampu kilat, pernafasan yang cepat, suara ribut dan video games.
Meskipun hasil diagnosa menunjukkan aku baik-baik
saja, dokter tetap saja memberi saran untuk istrirahat selama dua minggu di
rumah. Sejak keluar dari rumah sakit itu, aku jadi sering kejang-kejang dan
hilang kesadaran. Tetapi durasi kejangnya tidak selama waktu kejang-kejang
sebelum masuk rumah sakit. Hanya beberapa detik saja. Dalam sehari bisa lebih
dari tiga atau empat kali kejang-kejang. Ini berlangsung secara terus menerus.
Gejala inilah yang akhirnya mulai mengganggu aktivitasku, gejala yang
benar-benar mirip dan bisa disebut gejala serangan epilepsi.
Setelah beristirahat selama dua minggu di rumah,
aku pun akhirnya mulai masuk sekolah kembali di kelas 3 SMP. Hal yang paling
aku takutkan di saat aku masuk sekolah kembali adalah adanya perubahan situasi
antara aku dan temen-temen. Aku menilai bahwa teman-teman akan menjauhiku
karena serangan kejang-kejang yang terjadi di sekolah waktu itu. Aku takut mereka
merasa malu untuk dekat dengan orang
yang memiliki epilepsi atau takut tertular.
Entah dari mana pikiran itu muncul. Keluargaku pun
sebenarnya tidak pernah menyebut kata eplepsi
di hadapanku. Tapi mengetahui gejala-gejala serangannya aku pun lantas mencap
jelek pada diriku. Terlebih lagi mendengar kata epilepsi, apalagi ayan.
Itu adalah sesuatu yang memalukan. Apalagi waktu SD dulu aku sempat lihat iklan
di TV yang mengajak kita untuk tidak mengucilkan seseorang dengan epilepsi.
Sebuah iklan masyarakat yang mudah diingat dengan kata-katanya “ayo di, kita
main bola lagi”.
Ketakutan dan kecemasanku itu ternyata tidak
sepenuhnya benar. Teman-teman mau
menyambutku dengan tangan terbuka. Di hari pertama masuk sekolah, aku bertemu ketua
kelasku, si Furry, di lapangan setelah masuk gerbang sekolah.
“Hai Aska, udah baikan ya? gimana kondisimu?”,
tanya dia
“Udah kok, baik-baik aja....”, jawabku sedikit
ragu
Bersama teman-teman masa SMP saat acara reuni tahun 2011
Seandainya saat itu aku berani bertanya, maka aku
akan bertanya “bagaimana reaksi teman-teman melihatku kejang-kejang?” , “apa
kalian masih mau berteman denganku?” , “apa kalian malu memiliki teman yang
notabene adalah Orang Dengan Epilepsi (ODE)?”
Itu adalah sebuah pertanyaan yang kini aku sadari
sebagai pertanyaan yang egois, karena sebelum aku bertanya, aku sudah terlanjur
memberi cap negatif bahwa teman-teman akan merubah sikapnya kepadaku. Dan aku
sama sekali tidak kepikiran bahwa tindakan teman-teman sebelumnya yang
menolongku adalah sebuah bukti kuat yang bisa menghapus kecurigaanku.
Aku lantas masuk kelas, bertemu teman-teman lain,
dan berusaha menyingkirkan pikiran negatifku yang mengatakan bahwa teman-teman
itu sebenarnya takut dan malu bergaul denganku. Mungkin ada beberapa temanku
yang lantas merasa malu untuk bergaul denganku atau merasa takut tertular
penyakit yang sebenarnya tidak menular ini. Tapi aku tidak mau pusing memikirkan
hal itu, yang aku lihat adalah teman-temanku yang mau bergaul denganku. Aku
memang tidak bisa melihat reaksi mereka di saat aku kehilangan kesadaran saat
mengalami serangan kejang, tapi aku percaya bahwa sebagian besar temanku mau
menolongku. Buktinya adalah banyaknya tisu dari teman-teman yang membersihkan
tubuhku dari air liurku yang keluar saat serangan. Terlebih lagi, aku sudah
mengenal mereka sejak aku masih belum terserang epi. Sehingga menciptakan
kondisi yang hangat di antara kami bukanlah hal yang sulit.
Dua minggu tidak masuk sekolah membuatku
tertinggal banyak pelajaran. Apalagi saat itu aku udah ada di kelas 3 SMP, di
mana sebentar lagi akan menempuh ujian akhir.
Aku berusaha mengejar ketertinggalan pelajaran dengan bantuan
teman-teman. Mereka mau mengajariku, membimbingku, dan meminjamkan catatan
padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar