Minggu, 24 Januari 2016

#4 Pertama Kali Mengalami Serangan Kejang Epilepsi

Pada tahun 1996-1999 aku duduk di SMP Negeri 1 Yogyakarta. Aku memilih bersekolah di sana karena aku suka dengan lingkungannya. Aku biasa berangkat ke sekolah dengan sepeda, karena dengan bersepeda aku dapat berangkat pulang-pergi sesukaku. Aku tidak perlu tergantung pada orang lain. Tapi kadang, terus bersepeda juga membuatku lelah, apalagi ketika cuaca sedang panas-panasnya.

Masa SMP aku isi dengan banyak kegiatan. Kebanyakan berkaitan dengan pramuka. Sekolahku dikenal dengan tradisi pramuka yang baik. Pada tahun ’90-an,  dua regu pramuka dari sekolah kami; regu Garuda dan regu Beringin, pernah menjadi wakil Indonesia dalam jambore internasional di Belanda. Aku merasa senang, ketika terpilih masuk ke dalam regu Garuda. Dengan reguku itu, aku bisa mengikuti lomba pramuka sampai tingkat nasional.

Saat itu aku bersama regu Garuda sedang menjalani lomba tingkat nasional di Cibubur pada tahun 1998. Pada hari perlombaan, regu Garuda harus dibagi menjadi 4 sub-regu, karena ada 3 lomba yang digelar bersamaan pada lokasi yang berbeda, dan 1 sub-regu yang terdiri dari 2 orang bertugas menjaga tenda. Saat itu aku kebagian tugas menjaga tenda bersama temanku yang bernama Marseto. Di sore hari, kami berdua pergi ke masjid untuk mengikuti sholat maghrib berjamaah. Setelah sholat ada acara ceramah rutin. Aku mendengarkan ceramah itu, sambil sedikit ngantuk, sampai tertidur. Beberapa menitu kemudian aku terbangun, dan entah kenapa tiba-tiba semua orang dalam masjid menatapku. Ada yang menatap bingung, ada yang heran, ada juga yang bingung seolah-olah mau berekspresi seperti apa. Selesai dari masjid tiba-tiba Marseto mendekatiku dan bertanya,

“ Aska, ngapain sih tadi lu teriak-teriak di Masjid?”, tanya Marseto

“Hah, siapa yang teriak-teriak? Aku? Aku tadi tidak ngapa-ngapain kok, orang aku dengerin ceramah. Sempat ketiduran juga sih”

“Iya, kamu tadi teriak-teriak, orang-orang di Masjid terus pada ngelihatin kamu. Kamu lihat sendiri kan mereka?”

“Hmm....iya sih”, betul juga, tapi apa iya aku teriak-teriak?

Kejadian itu akhirnya aku sadari sebagai ‘pertanda’ akan kemunculan serangan kejang epilepsi dalam tubuhku. Pada saatnya nanti, aku akan sering mengalami hal-hal seperti itu, kehilangan kesadaran, berteriak-teriak seperti orang kesakitan, kejang-kejang, sampai melukai orang lain.

Pengalamanku ikut bergabung dalam regu garuda mengajarkanku untuk lebih mandiri, bisa bekerja sama, dan lebih percaya diri dalam berteman. Pada awal aku masuk regu garuda, aku dikenal sebagai anak yang pendiam dan pemalu. Hanya bisa diam dan mengerjakan tugas. Tapi makin lama aku makin bisa mencairkan suasana yang dingin dan aku bisa bergaul lebih dekat dengan teman-temanku satu regu. Aku bisa nyambung dalam setiap pembicaraan, tidak seperti dulu, yang hanya bicara seperlunya saja. Kami bisa tertawa bersama, berjuang bersama, menikmati kemenangan bersama, dan menerima kekalahan bersama.

Waktu pun terus berlalu hingga akhirnya aku duduk di kelas tiga.

***

Ada hari yang tidak akan pernah aku lupakan ketika aku ada di kelas tiga. Hari itu adalah hari Jumat. Selesai jam istirahat, aku segera kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran berikutnya yaitu Bahasa Jawa. Sang guru pun tiba di kelas dan mengabsen kami satu persatu. Nomor absenku adalah 23, jadi namaku masih agak lama akan dipanggil.

Mendekati panggilan nomor 23, tiba-tiba aku merasa aneh. Mungkin itu kata yang tepat, karena bukan hal yang mudah untuk mendeskripsikan perasaan itu. Tiba-tiba saja perasaan takut, cemas, dan gelisah itu muncul seketika. Aku merasakan ada seseorang dibelakangku. Akhirnya aku pun terbuai dengan perasaan ini. Aku sibuk mencari tahu tentang apa sebenarnya perasaan ini.  Ketika namaku dipanggil, tiba-tiba aku tidak bisa mengangkat tanganku, bahkan bergerak pun aku tidak bisa. Aku kehilangan hak paling asasi di dunia ini, yaitu menggerakkan organ-organ tubuh. Aku memang masih bisa melihat, tapi otakku serasa kosong, dan aku merasa tidak punya kendali atas tubuhku.

“Aska Primardi”, panggilan pertama dari guruku

Aku tahu, aku harus mengangkat tangan dan mengacungkan jari, tapi aku tidak bisa.

“Aska Primardi”, panggilan kedua

“Aska, namamu dipanggil tuh”, ujur si Lukman, teman sebangku, dengan santai.

“Aska Primardi”, panggilan ketiga

“Aska!!, acungkan jarimu, Aska !!, Aska!!”, si Lukman sedikit berteriak, seolah ingin menyadarkanku dari lamunan

“Aska Primardi”, panggilan keempat. “Yang mana sih orangnya?”, tanya guruku pada temanku yang duduk di bangku paling depan. Dan temanku pun menunjuk diriku yang ada di bangku tengah, tidak terlalu depan, tapi juga tidak terlalu belakang.

Si Lukman pun lantas, memegang tanganku dan menariknya agar aku bisa mengacungkan jari

“Aska”, panggilan kelima.
Si Lukman makin keras menarik tanganku. Tapi percuma, aku saja tidak bisa menggerakkan tubuhku, dan aku pun panik. Tidak bisa berpikir, dan hanya bisa melihat ke depan.

“Aska! Maju ke depan sini, berdiri di samping papan tulis!” kali ini guruku agak keras memanggilku.

“Aduh...kamu tuh gimana sih As? Apa susahnya mengacungkan jari?” si Lukman bingung.

Setelah itu, anehnya, entah kenapa, tubuhku bergerak dengan sendirinya, kemudian aku berjalan ke depan, dan berdiri di depan papan tulis. Padahal aku benar-benar tidak memerintahkan tubuhku untuk melakukan itu. Ketika berdiri di depan, aku masih bisa melihat ke arah teman-temanku ketika guruku melanjutkan memanggil temanku satu persatu. Dan tiba-tiba aku hilang kesadaran dan segalanya berubah menjadi gelap seketika…

Dalam kegelapan aku sempat melihat sekilas. Beberapa orang memegangi tubuhku yang sedang berontak dan berusaha melawan. Suara-suara yang sepintas aku dengar adalah “Pegang tangannya” , “Awas kakinya” , “Kamu pegang sebelah situ” , “Ayo kita sama-sama tahan gerakannya” , “Dokter!! Obat penenangnya sepertinya perlu ditambah”

Setelah itu aku pun hilang kembali. Ketika membuka mata, aku sudah berada di dalam kamar rumah sakit Panti Rapih yang terletak di seberang sekolahku. Aku melihat mama sudah ada di sampingku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Kepalaku terasa sangat pusing. Bahkan jika aku ingin duduk atau mengangkat kepala sedikit saja aku akan langsung muntah-muntah karena kepalaku bukan main pusingnya.

Ketika kondisiku sudah lebih baik dan rasa sakit di kepala mulai berkurang, aku pun mulai bisa berpikir. Aku tanya pada mama, apa yang sebenarnya terjadi. Mama bercerita bahwa tiba-tiba saja aku mengalami kejang-kejang, berteriak-teriak, dan hilang kesadaran di dalam kelas. Awalnya aku sempat dibawa ke ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Karena aku masih tetap saja kejang-kejang, pihak sekolah memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, dan membawaku ke rumah sakit terdekat. Ketika di rumah sakit aku masih tetap saja kejang-kejang dan melawan ketika hendak diberi perawatan. Sampai aku disuntik obat penenang dan akhirnya  sadar.

Aku sendiri tidak banyak tahu akan kejadian pada diriku. Yang aku tahu hanyalah tiba-tiba aku udah ada di dalam kamar rumah sakit.

Pihak dokter memutuskan bahwa aku harus tinggal di rumah sakit selama satu minggu untuk kemudian dirawat dan didiagnosis. Aku harus menjalani berbagai macam tes, termasuk tes EEG (Electroencephalography) .  Seminggu berlalu, ternyata hasil yang didapat dari berbagai macam tes yang aku lalui adalah NIHIL.

Dokter menyimpulkan bahwa penyakit yang menyerangku ini memiliki gejala kejang seperti serangan penyakit epilepsi. Walaupun setelah didiagnosis tidak ditemukan masalah dalam diriku. Akhirnya dokter memberiku obat penyakit epi yang terus aku konsumsi sampai sekarang. Selain itu, dokter memberi saran untuk beristirahat cukup, mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang, meminum obat sesuai dosis dan tepat waktu serta menghindari faktor-faktor pemicu kejang, seperti lampu kilat, pernafasan yang cepat, suara ribut dan video games.

Meskipun hasil diagnosa menunjukkan aku baik-baik saja, dokter tetap saja memberi saran untuk istrirahat selama dua minggu di rumah. Sejak keluar dari rumah sakit itu, aku jadi sering kejang-kejang dan hilang kesadaran. Tetapi durasi kejangnya tidak selama waktu kejang-kejang sebelum masuk rumah sakit. Hanya beberapa detik saja. Dalam sehari bisa lebih dari tiga atau empat kali kejang-kejang. Ini berlangsung secara terus menerus. Gejala inilah yang akhirnya mulai mengganggu aktivitasku, gejala yang benar-benar mirip dan bisa disebut gejala serangan epilepsi.

Setelah beristirahat selama dua minggu di rumah, aku pun akhirnya mulai masuk sekolah kembali di kelas 3 SMP. Hal yang paling aku takutkan di saat aku masuk sekolah kembali adalah adanya perubahan situasi antara aku dan temen-temen. Aku menilai bahwa teman-teman akan menjauhiku karena serangan kejang-kejang yang terjadi di sekolah waktu itu. Aku takut mereka merasa  malu untuk dekat dengan orang yang memiliki epilepsi atau takut tertular.

Entah dari mana pikiran itu muncul. Keluargaku pun sebenarnya tidak pernah menyebut kata eplepsi di hadapanku. Tapi mengetahui gejala-gejala serangannya aku pun lantas mencap jelek pada diriku. Terlebih lagi mendengar kata epilepsi, apalagi ayan. Itu adalah sesuatu yang memalukan. Apalagi waktu SD dulu aku sempat lihat iklan di TV yang mengajak kita untuk tidak mengucilkan seseorang dengan epilepsi. Sebuah iklan masyarakat yang mudah diingat dengan kata-katanya “ayo di, kita main bola lagi”.

Ketakutan dan kecemasanku itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Teman-teman mau menyambutku dengan tangan terbuka. Di hari pertama masuk sekolah, aku bertemu ketua kelasku, si Furry, di lapangan setelah masuk gerbang sekolah.

“Hai Aska, udah baikan ya? gimana kondisimu?”, tanya dia

“Udah kok, baik-baik aja....”, jawabku sedikit ragu

Bersama teman-teman masa SMP saat acara reuni tahun 2011

Seandainya saat itu aku berani bertanya, maka aku akan bertanya “bagaimana reaksi teman-teman melihatku kejang-kejang?” , “apa kalian masih mau berteman denganku?” , “apa kalian malu memiliki teman yang notabene adalah Orang Dengan Epilepsi (ODE)?”

Itu adalah sebuah pertanyaan yang kini aku sadari sebagai pertanyaan yang egois, karena sebelum aku bertanya, aku sudah terlanjur memberi cap negatif bahwa teman-teman akan merubah sikapnya kepadaku. Dan aku sama sekali tidak kepikiran bahwa tindakan teman-teman sebelumnya yang menolongku adalah sebuah bukti kuat yang bisa menghapus kecurigaanku.

Aku lantas masuk kelas, bertemu teman-teman lain, dan berusaha menyingkirkan pikiran negatifku yang mengatakan bahwa teman-teman itu sebenarnya takut dan malu bergaul denganku. Mungkin ada beberapa temanku yang lantas merasa malu untuk bergaul denganku atau merasa takut tertular penyakit yang sebenarnya tidak menular ini. Tapi aku tidak mau pusing memikirkan hal itu, yang aku lihat adalah teman-temanku yang mau bergaul denganku. Aku memang tidak bisa melihat reaksi mereka di saat aku kehilangan kesadaran saat mengalami serangan kejang, tapi aku percaya bahwa sebagian besar temanku mau menolongku. Buktinya adalah banyaknya tisu dari teman-teman yang membersihkan tubuhku dari air liurku yang keluar saat serangan. Terlebih lagi, aku sudah mengenal mereka sejak aku masih belum terserang epi. Sehingga menciptakan kondisi yang hangat di antara kami bukanlah hal yang sulit.


Dua minggu tidak masuk sekolah membuatku tertinggal banyak pelajaran. Apalagi saat itu aku udah ada di kelas 3 SMP, di mana sebentar lagi akan menempuh ujian akhir.  Aku berusaha mengejar ketertinggalan pelajaran dengan bantuan teman-teman. Mereka mau mengajariku, membimbingku, dan meminjamkan catatan padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar