Ketika aku masih
sibuk melakukan penelitian skripsi, pikiranku tidak bisa lepas dari 2 hal.
Pertama tentang kemungkinanku untuk lulus kuliah, kedua tentang apa yang harus
aku lakukan pasca lulus, karena aku masih memiliki gangguan epilepsi.
Aku tidak tahu
lagi apa yang harus kulakukan. Aku sudah menjalani pengobatan medis dan terapi
alternatif, tetapi tidak ada kemajuan yang berarti. Apakah gejala kejang-kejang
ku ini merupakan manifestasi gangguan syaraf atau ada hubungannya dengan
gangguan makhluk halus? Mengingat aku seperti orang kesurupan ketika kehilangan
kesadaran.
Kecemasan yang
terus bertambah ini, nampaknya ditangkap dengan jelas oleh mama.
“Kamu kok
akhir-akhir ini jarang keluar rumah? Kerjaanmu hanya di dalam kamar saja. Tidak
banyak cerita, dan hanya diam saja”, Tanya mama suatu hari membuka pembicaraan.
“Ah biasa aja
mah, lagi sibuk mikir skripsi saja”
“Kalau bingung tentang skripsi, kan
kita bisa diskusi. Jangan lupa mama juga dosen”, kata mama yang juga dosen fisipol dan komputer di UGM.
”Iya mah, nanti kalau ada pertanyaan
aku tanya ke mama”
”Tapi kalau kamu stres banyak
pikiran, dan sekarang belum nyaman untuk mengeluarkan uneg-unegnya, kamu bisa
mencoba cara lain. Coba kamu tulis semua uneg-unegmu lalu kamu posting di dalam
sebuah blog”, Saat itu mama juga menjelaskan tentang tren blogging yang sedang
booming di tahun 2006.
”gitu ya mah ? ”
”Iya, coba kamu buka website
blogspot ataupun wordpress, kamu bisa bikin tulisan di situ. Siapa tahu nantinya
ada orang yang baca dan bisa membantu memberikan solusi bagi masalahmu. Kamu
juga tidak perlu bertatap langsung dengan orang tersebut. Mungkin hal ini
membuatmu lebih nyaman untuk bercerita”
Aku pun mulai mencoba menulis di
dalam sebuh blog. Isi blog tersebut dengan segala opiniku tentang diriku
dan epilepsi. Bagiku ini membutuhkan sebuah keberanian untuk mengakui dan
bercerita bahwa diriku adalah ODE.
Beberapa hari
setelah tulisan pertamaku diposting, aku mendapatkan komentar berupa dukungan
pada diriku untuk tetap bersemangat menjalani hidup. Komentar ini membuatku
bersemangat untuk kembali mengupload tulisan. Semakin lama tulisanku semakin bertambah, dan
komentar pun muncul dari berbagai kalangan. Beberapa komentar aku perhatikan
muncul dari seseorang tanpa nama. Aku percaya bahwa diantara sekian banyak
komentar tanpa nama itu, terdapat komentar yang berasal dari mama. Inilah cara
mama untuk membuatku nyaman menerima
sebuah nasehat tanpa merasa digurui.
Kebiasaan menulis ini membuatku
menjadi seseorang yang lebih sabar dalam menghadapi masalah. Aku selalu
mendapatkan solusi dari setiap masalah yang aku ceritakan dalam blog. Pikiranku
tidak lagi dipenuhi oleh prasangka negatif tentang aslasan diriku harus menjadi
ODE. Tetapi aku bisa mulai berpikir untuk memulai lagi proses penyembuhan dari
awal. Aku menyadari bahwa langkah pertama yang harus aku lakukan adalah
bersahabat dengan epilepsi ini.
Kalau memang epilepsi ini disebabkan
karena proses kelahiranku, maka itu berarti aku sudah digariskan untuk hidup
sebagai ODE. Ini fakta yang tidak bisa aku tolak. Aku harus ikhlas dengan
kondisi ini. Aku siap untuk hidup selamanya bersama epilepsi.
Aku pun mulai bisa menerima
kehadiran epilepsi. Aku tidak menolak epilepsi, dan aku pun tidak menolak jika
serangan memang harus muncul. Mungkin serangan kejang adalah bentuk self-defense tubuhku untuk mengatasi
permasalahan pada otak. Setelah
itu, setiap kali aura pertanda serangan muncul, aku tidak lagi menolak dan
menahannya. Aku berusaha untuk tetap santai dan relax. Aku coba berkomunikasi
dengan epilepsi. ”Kalau memang serangan harus muncul, munculah, aku sudah siap
dan memposisikan diri dalam posisi aman. Sehingga jika serangan muncul aku
tidak akan terkena benda tajam ataupun hal-hal berbahaya lainnya”. Ajaib. Ternyata kesadaran untuk
membuat tubuh relax dengan pernafasan yang teratur itu membuat aura perlahan
menghilang. Aku tidak jadi kena serangan kejang. Sejak saat itu setiap kali
aura muncul, aku lakukan hal yang sama. Hasilnya frekuensi serangan kejang berkurang
dengan signifikan. Jika sebelumnya aku bisa mengalami 3-4 kali serangan per
minggu, frekuensinya bisa berkurang menjadi dua minggu sekali. Faktor
psikologis memiliki peran yang sangat besar pada frekuensi serangan.
Melihat kemajuan
ini, aku sangat bersyukur. Mungkin hal inilah yang harus aku lakukan sejak
dahulu agar aku bisa lulus dari ujian hidup bernama epilepsi. Aku percaya bahwa
jika kondisiku bisa stabil seperti ini dalam jangka waktu lama, maka aku bisa
bekerja dan beraktivitas seperti orang normal pada umumnya.
Suatu hari aku mendapatkan sebuah
komentar pada tulisan blogku. Nama si pemberi komentar adalah Aditya Subekti.
Ia bercerita bahwa Ia adalah ODE yang saat ini telah menjalani hidup normal
setelah menjalani operasi bedah syaraf otak. Sejak awal Ia menekankan bahwa epilepsi bisa disembuhkan, dia lah contohnya. Dia juga bercerita bahwa dahulu dia sering mengalami serangan, namun pasca operasi dia tidak pernah lagi terkena serangan. Bentuk serangan yang dia alami juga mirip dengan bentuk seranganku. Dia juga merasakan sebuah aura ketika akan terjadi serangan.
FYI, Aditya Subekti mengalami kesulitan dalam hal pendidikan karena riwayat epilepsinya, tetapi itu bukanlah hambatan baginya untuk berprestasi. Saat ini dia sudah menjadi pianis profesional yang menghasilkan berbagai macam karya, salah satunya soundtrack film 9 Summer 10 Autums. Berikut cuplikan video ketika dia memainkan lagu ciptaannya yang menjadi soundtrack film 9 Summer 10 Autums:
Informasi dari Aditya Subekti ini
melahirkan sebuah harapan bagiku untuk sembuh. Inilah pertama kalinya aku
mendapat penjelasan tentang serangan epilepsi. Sebuah penjelasan yang sangat
relevan dengan kondisiku. Jika dia, yang memiliki gejala serangan yang sama
denganku, bisa sembuh dan bebas serangan, berarti aku juga bisa.
Dia pun lantas
memberi referensi nama dokter yang bisa melakukan tindakan operasi bedah syaraf
untuk kasus epilepsi. Nama dokter tersebut adalah Prof. dr. Zainal Muttaqin,
Sp. BS. Beliau adalah dokter spesialis bedah syaraf yang bekerja di rumah sakit
di Semarang. Aku pun mencoba
mencari tahu tentang beliau melalui google. Hasilnya, aku dapatkan informasi
tentang background pendidikan kedokteran beliau dari Jepang, bagaimana beliau
merintis operasi bedah epilepsi di Indonesia, sampai jumlah pasiennya yang
telah dioperasi.
Fakta-fakta yang aku temukan
membuatku merasa bahwa aku harus bertemu beliau. Mungkin beliau adalah
seseorang yang dapat membantuku untuk sembuh. Tanpa pikir panjang aku pun
langsung membagi informasi ini kepada papa-mama. Mereka menyambut dengan baik,
dan bersedia menemaniku bertemu beliau.
Dari informasi yang kuperoleh,
beliau praktek di dua rumah sakit di Semarang, yaitu RS Telogorejo dan RSUP dr
Kariadi. Papa mencoba menghubungi RS Telogorejo dan mendaftarkan aku sebagai
pasien yang akan berkonsultasi pada minggu keempat Januari 2007.
Menjelang keberangkatan ke Semarang,
aku siapkan segala dokumentasi hasil tes yang pernah aku lakukan, meliputi hasil
tes MRI, EEG, dan CT Scan Otak. Hasil-hasil tes ini sebelumnya pernah aku
tunjukkan ke beberapa dokter syaraf, namun menurut mereka hasil tesku ‘bersih’.
Tidak menunjukkan bahwa aku memiliki gejala epilepsi. Ini yang membuatku galau apakah kejang-kejang dan teriakan tanpa sadar yang aku alami ini adalah gejala epilepsi? Atau aku memang ada makhluk halus yang membuatku kesurupan setiap saat?
Aku ingin tahu pendapat beliau. Kalau beliau memberikan kesimpulan yang sama bahwa aku tidak terdiagnosis penyakit tertentu, maka aku sudah tidak tahu lagi harus kemana untuk mendapatkan kejelasan status gangguan/penyakit yang aku alami ini beserta solusinya..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar