Minggu, 24 Januari 2016

#7 Epilepsi: Gangguan Makhluk Halus?

Aku pun naik ke kelas dua dan masih satu kelas dengan teman-teman lama, di 2G. Di kelas dua, hubunganku dengan teman-teman semakin erat. Kami mulai sering melakukan kegiatan bareng, seperti  main PS—playstation, pergi ke suatu tempat, mengadakan acara semacam pesta dan lainnya. Pokoknya semuanya bener-bener menyenangkan dan aku tidak khawatir lagi dengan epi-ku ini. Saat epilepsi menyerangku di kelas, teman-temanku makin sigap menolongku. Mereka menenangkanku, memberi tisu untuk membersihkan air liur, bahkan mereka sampai berani memarahiku. Mereka tahu serangan epi-ku dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kelelahan. Mereka sering menasehatiku bila aku begadang menonton bola hingga dini hari. Aku benar-benar senang punya teman dan sahabat yang perhatian seperti mereka. Kadang aku jadi malu sendiri, mereka saja perhatian dengan kondisiku, masa aku sendiri tidak.

Di masa-masa ini aku mulai menjalani berbagai terapi pengobatan epilepsi, baik medis maupun non-medis. Untuk terapi medis, sejak epilepsi muncul pertama kali di tahun 1998, aku sudah mengkonsumsi beraneka ragam obat anti epilepsi. Namun, frekuensi serangan tidak berkurang. Dokter lantas menambah dosis obat itu. Jika masih tidak efektif, aku diminta tetap mengkonsumsi obat sebelumnya ditambah kombinasi obat lain. Begitu seterusnya, gonta-ganti obat, turun naik dosis, kombinansi aneka jenis obat, sampai suatu hari aku harus mengkonsumsi 3 jenis obat perhari dengan jumlah dosis 9 butir! Minum obat harus teratur jamnya setiap hari, jangan sampai lupa.

Selain itu, dokter juga beberapa kali memintaku tes EEG, CT SAN, dan MRI. Entahlah sudah berapa kali aku melakukannya. Setiap dokter yang kutunjukkan hasil tesku mengatakan bahwa tidak ada masalah pada otakku, karena semua tes kesehatan menunjukkan hal normal. Aku pun belum mendapatkan penjelasan medis tentang rasa takut, cemas, rasa seolah-olah ada sesosok hantu di belakangku, yang muncul sebagai pertanda awal serangan epi. Lantas apa yang bikin aku kena serangan terus? Perasaan apa ini? Aku terus bertanya, bertanya, dan bertanya seperti biasa.

Karena tidak mendapatkan jawaban dari sisi medis, aku pun mencoba mencari jawaban dari sisi non-medis. Dimulai waktu aku kelas 2 SMA. Saat itu tiba-tiba aku diajak mama-papa untuk bertemu seseorang yang merupakan kenalan temannya mama. Terapis itu pengikut aliran kejawen (jawa kuno). Di sore hari menjelang maghrib, aku tiba di sebuah makam di daerah Kulon Progo, DIY. Kami masuk ke dalam makam, lalu melihat sebuah bangunan kecil, kuno, hanya memiliki satu pintu dan beratap. Dilihat dari bagunannya, sudah jelas bahwa bangunan itu usianya jauh lebih tua daripada aku.

Di dalam bangunan sempit itu, kami bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi terapis pertamaku. Ia bercerita bahwa ia sedang bermeditasi mencari wangsit (petunjuk) dan tinggal beberapa hari di dalam bangunan sempit yang berisi 1 makam seorang tokoh jawa kuno.

Ketika kami ceritakan tentang penyakit kejang-kejang, ia lantas meminta sejumlah uang untuk membeli makanan dan kembang (yang biasa dipakai saat kita berziarah). Makanan-makanan serta kembang itu nantinya akan dipakai dalam terapi.

Setelah itu kami pamit padanya. Beberapa minggu kemudian aku datang ke rumahnya di daerah kota gede, Yogyakarta. Aku diminta untuk mandi dengan disiram air yang telah diberi kembang dan doa di belakang rumahnya. Kuikuti semua perintahnya, dan aku juga diminta makan makanan yang telah didoakan.

Sampai beberapa bulan berikutnya, aku selalu kerumahnya seminggu sekali.

“Penyakitmu bersumber dari masalah di kepala”, katanya suatu hari.
“Jadi kepalamu harus di terapi, dan ini bisa terapi jarak jauh. Gimana?” ia menawarkan bantuannya

“Ok. Saya bisa”

“Kalau gitu, besok saya minta kamu siap jam 10 malam. Kamu cukup berdiri aja di ruang keluarga, atau ruang lain, yang jelas ruang itu luas, jadi kamu tidak akan menyenggol barang-barang.Tapi saya minta harus ada satu orang yang mengawasimu. Saya minta kamu berdiri, tutup mata, relax, dan lemaskan seluruh tubuh. Nanti seluruh tubuhmu akan bergerak membersihkan dirimu dari penyakitmu”

“Ok”, jawabku sambil bertanya-tanya apa yang akan terjadi padaku besok malam.

Keesokan malamnya. Aku berdiri di ruang keluarga. Aku udah minta ke papa untuk menjagaku. Pukul 10 tepat, aku menutup mata dan melemaskan tubuhku. Dan yang terjadi adalah.........tiba-tiba tangan dan kakiku bergerak-gerak dengan sendirinya. Aku tidak memberikan perintah kepada mereka sama sekali.

Kakiku bergerak-gerak, sehingga mau tidak mau tubuhku ikut berjalan kesana kemari. Mirip jurus dewa mabuk. Tanganku bergerak-gerak ke sana kemari. Kuikuti saja, dan perlahan namun pasti, gerakan tanganku mengarah ke atas kepalaku. Dan mengusap-ngusap kepalaku dan rambutku. Ada saatnya tanganku bergerak kencang mengusap kepala, ada saatnya lambat. Mirip iklan shampo, hanya saja usapannya cepat dan frekuensinya banyak. Mungkin inilah yang dimaksud si terapis dengan membersihkan diri dari masalah penyakit di kepala.

“Gimana rasanya”, tanya si terapis di minggu depannya

“Aneh, tapi asyik juga”, jawabku

Setelah itu hampir setiap hari aku melakukannya. Tapi aku lantas minta jamnya diubah, karena jam 10 itu terlalu malam, dan akhirnya kami sepakat jam 8 untuk melakukan terapi jarak jauh. Benarkah ini terapi jarak jauh? Aku tidak tahu, yang jelas pernah suatu hari tubuhku tidak mau bergerak saat jam terapi. Setelah kukonformasi keesokan harinya di rumahnya, si terapis berkata, “Oh ya, maaf semalam saya lupa tidak menterapimu dari sini”

Terapi ini pada awalnya memang bisa mengurangi jumlah frekuensi serangan. Tapi semakin lama, frekuensi serangan kembali seperti sebelumnya. Aku sudah hampir putus asa, tapi lantas aku ingat masih ada satu hal yang belum kuceritakan pada si terapis. Semoga respon yang dia berikan lain dengan respon dokter yang pernah kuceritakan.

Suatu hari, aku selesai terapi dan sudah keluar dari rumah si terapis. Saat itu aku naik motor sendiri, dan keluargaku sudah pulang mendahuluiku. Ketika aku berjalan menuju motorku tiba-tiba terlintas pikiran, “hmm...mungkin ini saatnya aku ceritakan tentang apa yang kurasakan setiap menjelang serangan”.

Aku pun kembali ke rumah terapis, dan menemuinya kembali di ruang tamunya.

“Maaf pak, saya balik lagi, sebenarnya ada satu hal yang belum saya ceritakan”

“Oh ya, tidak papa, ayo duduk, ceritakanlah pada saya”, ia menyambut hangat.

“Gini pak, sebenarnya setiap sebelum serangan tuh, saya tiba-tiba merasa takut, cemas. Entahlah apa yang saya takutkan. Serasa ada sosok seseorang di belakang punggung saya. Semakin saya fokus untuk mencari tahu apa sebenarnya penyebab rasa takut itu, semakin besar dan dekat rasanya sosok di belakang saya itu. Dan saya pun kena serangan kejang-kejang. Apa ya itu sebenarnya pak? Mungkin bapak bisa bantu”

“Ada sosok seseorang?”

“Iya”

“Oke. Kamu duduk di kursi itu. Tenang dan nafas teratur. Saya akan coba melihatnya. Apa sebenarnya sosok yang kamu maksud itu”.

Kulihat terapis itu seketika menutup mata dan mulutnya bergerak seperti mengucapkan doa. Aku hanya duduk tenang di depannya. Ada meja yang memisahkan kursi kami berdua yang saling berhadapan. Seketika matanya terbuka dan nampak melotot. Pandangannya mengarah ke atasku. Dan ia nampak sedang berbicara dengan sesuatu. Saat itu pula aku bertanya dalam hati, “Benarkah ada makhluk halus yang menggangguku?”

Saat terapis itu selesai melakukan pembicaraan, wajahnya terlihat kembali tenang dan ia mengatakan sesuatu.

“Ya Aska. Kamu benar. Ada sesosok makhluk yang selalu mengikutimu. Saya baru mengetahui sebatas itu. Tentang gimana caranya agar makhluk itu mau menjauhimu, atau apa yang sebenarnya makhluk itu mau, saya belum tahu”

Jantungku berdebar seketika saat aku mendengarnya. Tapi ada kelegaan di sisi lain karena akhirnya ada satu orang yang percaya padaku tentang pertanda akan munculnya serangan kejang itu.

“Apa yang kukatakan, yang kulakukan saat aku kejang-kejang dan hilang kesadaran itu adalah wujud perilaku si dia yang mungkin ingin menyampaikan suatu pesan?”, tanyaku spontan

“Bisa jadi. Tapi untuk itu saya perlu berkomunikasi dengannya lebih lanjut. Begini saja, kamu saya kasih sesuatu”

Ia lantas berdiri, masuk ke dalam kamarnya. Ia keluar dan memberiku sebuah kemenyan.

“Nanti malam kamu bakar kemenyan ini sekitar jam 8 di kamarmu. Supaya makhluk itu tidak bisa mendekatimu sementara ini, dan saya akan memanggilnya untuk berbicara dengannya”, perintah si terapis.

Aku langsung pulang. Dan malamnya aku menjalankan perintahnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, sampai minggu depannya aku bertemu dengan si terapis itu kembali.

Beberapa pertemuan berikutnya aku mulai diberi doa-doa yang harus aku ucapkan setiap malam. Doa yang berawalan bacaan basmalah dan diikuti kata-kata bahasa jawa kuno. Aku sama sekali tidak ngerti arti doa itu. Walaupun sejak kecil aku udah terbiasa berbahasa jawa, tapi untuk bahasa jawa yang satu ini aku tidak ngerti artinya. Terapis hanya mengatakan tentang manfaat doa itu. Aku ikuti semua perintah terapis, sampai suatu hari ia berkata,

“Saya sudah bernegosiasi dengan dia. Dia bersedia meninggalkanmu, dengan syarat kita harus mengadakan suatu upacara labuhan di pantai selatan”

“Kita harus mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam upacara itu. Mulai dari makanan persembahan, kembang, sampai ayam jantan hidup jenis cemani. Semua bisa dipersiapkan dengan cepat, hanya saja ayam cemani inilah yang sulit untuk ditemukan, karena termasuk jenis yang langka”

“Lalu kita harus menyembelihnya?”, tanyaku sedikit takut

“Tidak. Kita tidak perlu menyembelihnya. Ayam itu nantinya akan kita lepas ke laut sebagai simbol si dia lepas dari tubuhmu”

 Kami pun mempersiapkan segala hal yang diperlukan. Kami mencari ayam itu ke pasar-pasar di jogja, tapi tidak ditemukan. Akhirnya menjelang hari H pelaksanaan upacara, kami bisa menemukan ayam itu di daerah mendekati magelang (jawa tengah). Upacara itu hanya bisa diadakan sebulan sekali, karena harus sesuai dengan hari kelahiranku di penanggalan jawa. Aku lahir di hari selasa pon. Awalnya sempat terjadi kebingungan antara kami karena aku lahir di Perancis, dan jelas aja di Perancis tidak ada penanggalan jawa. Tapi akhirnya dapat dicapai kesepakatan bahwa kelahiranku adalah hari selasa pon. Aku lahir di Perancis hari senin menjelang tengah malam (dari nama belakangku sudah bisa diketahui), itu berarti Yogyakarta sudah berada di hari selasa dini hari.

Di hari H, kami melakukan upacara di Pantai Pandan Simo, di kawasan selatan DIY. Terapisku nampak serius dalam upacara ini. Ia mengenakan pakaian tradisional jawa dengan rapi. Setibanya di pantai, kami tidak bisa mengadakan upacara begitu saja. Kami harus meminta izin kepada juru kunci pantai selaku tuan rumah.

Upacara berlangsung dalam waktu yang tidak lama. Setelah membaca doa, kami melepaskan makanan dan menebar kembang ke laut sebagai persembahan. Ayam cemani pun dilepas dengan cara dilempar ke laut sebagai simbol makhluk itu lepas dari tubuhku. Tidak masalah, jika ayam lantas berlari kembali ke darat.

Setelah upacara itu si terapis memandikanku di sungai dekat pantai yang bermuara ke laut. Si terapis nampak serius membaca doa dalam bahasa jawa, dan ia mengguyurku beberapa kali, seperti layaknya masyarakat jawa yang melakukan upacara pembersihan diri pada malam tahun baru jawa (tahun baru Islam). 

“Sudah selesai upacaranya. Ganti pakaianmu, tinggalkan pakaianmu, biarkan pakaianmu mengikuti aliran air menuju laut”, perintahnya.

“Karena pakaian itu berisi segala macam kotoran yang ada di dalam dirimu. Dan dirimu sekarang sudah bersih”, jawabnya ketika kutanya kenapa.

Setelah upacara itu. Si terapis minta agar aku tidak perlu lagi sering mendatanginya. Karena menurutnya masalahku sudah selesai.

Dan seperti biasa, frekuensi munculnya serangan epi berkurang, dan beberapa minggu kemudian muncul lagi. “Apakah upacara itu gagal?”, tanyaku dalam hati.

Mulai saat itu sampai 10 tahun berikutnya aku sering mencoba pengobatan alternatif yang lain. Saat pertama mencoba, pengobatan nampak manjur, tapi setelah itu kembali seperti biasa, epi menyerang lagi. Pada pengobatan-pengobatan berikutnya, aku sengaja tidak menceritakan tantang pendapat adanya makhluk halus yang menggangguku. Aku hanya menceritakan tentang apa yang kurasa menjelang serangan epilepsi. Dan ternyata memang ada beberapa terapis lain yang mengatakan hal yang sama. Bahwa memang ada makhluk halus yang menggangguku. Aku tidak tahu ini benar atau tidak. Ada terapis yang mengajak kami sekeluarga sholat berjamaah di rumah pada tengah malam, dan ia juga akan membersihkan rumah kami dari hawa jahat. Tapi sama juga seperti sebelumnya, kami harus mempersiapkan persembahan makanan dan juga kembang.

Beberapa hal lain yang dikatakan oleh terapis-terapis lain adalah aku sebagai wujud reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya. Aku adalah seekor rusa yang mengalami luka parah di lutut. Ada yang menyuruhku untuk tidak mengkonsumsi daging dari binatang berkaki empat. Sambil bercanda, saudara sepupuku terus bertanya, “Kalau kamu makan daging sapi, dan sapinya itu cacat, cuma berkaki tiga berarti gak papa dong?”

Ada juga terapi di lereng gunung merapi. Aku tidak perlu ketemu langsung dengannya, karena katanya bisa melalui terapi jarak jauh. Terapis lantas mengatakan bahwa ia telah mengambil pedang yang tersimpan dalam diriku, dan aku bisa mengambilnya di lereng gunung merapi. Setelah semua proses selesai dilakukan, aku dinyatakan sudah sembuh, dan sekarang yang perlu dilakukan adalah menciptakan suasana rumah dan keluarga yang harmonis dan menyenangkan bagiku.

Aahh apalagi ini? Semakin lama aku jadi semakin ragu, rasaya tidak ada yang pasti untuk kesembuhanku. Nyatanya masih aja kena serangan.

***

Aku pun naik ke kelas tiga. Di sini, aku benar-benar harus menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan baru. Aku masuk di kelas 3 IPA 2. Di kelas ini hanya ada satu anak yang berasal dari kelas yang sama denganku, namanya Tina.  Hari pertama masuk kelas, Tina mengajakku untuk duduk satu bangku dengannya. Padahal ketika kelas satu dan dua dulu, bisa dihitung berapa kali kami mengobrol. Lagi-lagi serangan epilepsi muncul di hari pertama, di lingkungan baru yang belum mengenalku sebagai ODE.

Bersama teman-teman 3IPA2 tahun 2002

“Aska.....aku dulu kaget, pertama kali kita duduk sebangku di kelas 3, kamu tiba-tiba kejang dan terus mau mencekik teman yang duduk di depan bangku kita”, seru Tina suatu hari

“Hah? Mencekik?”, tanyaku setengah tidak percaya.

“Iya, Suer! Untungnya aku terus pegangin tanganmu, terus aku bantu kamu buat duduk”

“Habis itu kamu sering kena serangan epi di kelas. Reaksi teman-teman ya sama kayak reaksiku dulu waktu lihat kamu kena serangan di kelas 1. Bingung, ragu, malah ada yang bilang menular”

“Tahu tidak, ada yang minta aku jauh dari kamu soalnya mereka takut aku ketularan. Gak tau tuh mereka.....biar aja, mungkin mereka belum tahu tentang riwayat epilepsimu”


Aku, sekali lagi, hanya bisa berterima kasih kepada Tina yang udah membelaku. Akhirnya Tina juga lah yang selalu menolongku saat serangan epilepsi muncul, karena ia sudah terbiasa melihat dan tidak takut lagi dengan kondisiku. Setahun berlalu cepat, dan kami pun lulus dari SMA BOSA.

Pertemuanku dengan Tina di Singapore pada tahun 2015

1 komentar: