Aku pun naik ke kelas dua dan masih satu kelas
dengan teman-teman lama, di 2G. Di kelas dua, hubunganku dengan teman-teman
semakin erat. Kami mulai sering melakukan kegiatan bareng, seperti main PS—playstation, pergi ke suatu tempat,
mengadakan acara semacam pesta dan lainnya. Pokoknya semuanya bener-bener
menyenangkan dan aku tidak khawatir lagi dengan epi-ku ini. Saat epilepsi menyerangku di kelas, teman-temanku makin
sigap menolongku. Mereka menenangkanku, memberi tisu untuk membersihkan air
liur, bahkan mereka sampai berani memarahiku. Mereka tahu serangan epi-ku
dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kelelahan. Mereka sering
menasehatiku bila aku begadang menonton bola hingga dini hari. Aku benar-benar
senang punya teman dan sahabat yang perhatian seperti mereka. Kadang aku jadi
malu sendiri, mereka saja perhatian dengan kondisiku, masa aku sendiri tidak.
Di masa-masa ini aku mulai menjalani
berbagai terapi pengobatan epilepsi, baik medis maupun non-medis. Untuk terapi medis, sejak epilepsi muncul
pertama kali di tahun 1998, aku sudah mengkonsumsi beraneka ragam obat anti
epilepsi. Namun, frekuensi serangan tidak berkurang. Dokter lantas menambah dosis obat itu. Jika masih
tidak efektif, aku diminta tetap mengkonsumsi obat sebelumnya ditambah
kombinasi obat lain. Begitu seterusnya, gonta-ganti obat, turun naik dosis,
kombinansi aneka jenis obat, sampai suatu hari aku harus mengkonsumsi 3 jenis
obat perhari dengan jumlah dosis 9 butir! Minum obat harus teratur jamnya
setiap hari, jangan sampai lupa.
Selain itu, dokter juga beberapa kali memintaku
tes EEG, CT SAN, dan MRI. Entahlah sudah berapa kali aku melakukannya. Setiap
dokter yang kutunjukkan hasil tesku mengatakan bahwa tidak ada masalah pada
otakku, karena semua tes kesehatan menunjukkan hal normal. Aku pun belum
mendapatkan penjelasan medis tentang rasa takut, cemas, rasa seolah-olah ada
sesosok hantu di belakangku, yang muncul sebagai pertanda awal serangan epi.
Lantas apa yang bikin aku kena serangan terus? Perasaan apa ini? Aku terus
bertanya, bertanya, dan bertanya seperti biasa.
Karena tidak mendapatkan jawaban dari sisi medis,
aku pun mencoba mencari jawaban dari sisi non-medis. Dimulai waktu aku kelas 2 SMA. Saat itu tiba-tiba
aku diajak mama-papa untuk bertemu seseorang yang merupakan kenalan temannya
mama. Terapis itu pengikut aliran kejawen
(jawa kuno). Di sore hari menjelang maghrib, aku tiba di sebuah makam di daerah
Kulon Progo, DIY. Kami masuk ke dalam makam, lalu melihat sebuah bangunan
kecil, kuno, hanya memiliki satu pintu dan beratap. Dilihat dari bagunannya,
sudah jelas bahwa bangunan itu usianya jauh lebih tua daripada aku.
Di dalam bangunan sempit itu, kami bertemu dengan
seseorang yang kemudian menjadi terapis pertamaku. Ia bercerita bahwa ia sedang
bermeditasi mencari wangsit
(petunjuk) dan tinggal beberapa hari di dalam bangunan sempit yang berisi 1
makam seorang tokoh jawa kuno.
Ketika kami ceritakan tentang penyakit
kejang-kejang, ia lantas meminta sejumlah uang untuk membeli makanan dan
kembang (yang biasa dipakai saat kita berziarah). Makanan-makanan serta kembang
itu nantinya akan dipakai dalam terapi.
Setelah itu kami pamit padanya. Beberapa minggu
kemudian aku datang ke rumahnya di daerah kota gede, Yogyakarta. Aku diminta
untuk mandi dengan disiram air yang telah diberi kembang dan doa di belakang
rumahnya. Kuikuti semua perintahnya, dan aku juga diminta makan makanan yang
telah didoakan.
Sampai beberapa bulan berikutnya, aku selalu
kerumahnya seminggu sekali.
“Penyakitmu bersumber dari masalah di kepala”,
katanya suatu hari.
“Jadi kepalamu harus di terapi, dan ini bisa
terapi jarak jauh. Gimana?” ia menawarkan bantuannya
“Ok. Saya bisa”
“Kalau gitu, besok saya minta kamu siap jam 10
malam. Kamu cukup berdiri aja di ruang keluarga, atau ruang lain, yang jelas
ruang itu luas, jadi kamu tidak akan menyenggol barang-barang.Tapi saya minta
harus ada satu orang yang mengawasimu. Saya minta kamu berdiri, tutup mata,
relax, dan lemaskan seluruh tubuh. Nanti seluruh tubuhmu akan bergerak
membersihkan dirimu dari penyakitmu”
“Ok”, jawabku sambil bertanya-tanya apa yang akan
terjadi padaku besok malam.
Keesokan malamnya. Aku berdiri di ruang keluarga.
Aku udah minta ke papa untuk menjagaku. Pukul 10 tepat, aku menutup mata dan
melemaskan tubuhku. Dan yang terjadi adalah.........tiba-tiba tangan dan kakiku
bergerak-gerak dengan sendirinya. Aku tidak memberikan perintah kepada mereka sama sekali.
Kakiku bergerak-gerak, sehingga mau tidak mau
tubuhku ikut berjalan kesana kemari. Mirip jurus dewa mabuk. Tanganku bergerak-gerak
ke sana kemari. Kuikuti saja, dan perlahan namun pasti, gerakan tanganku
mengarah ke atas kepalaku. Dan mengusap-ngusap kepalaku dan rambutku. Ada
saatnya tanganku bergerak kencang mengusap kepala, ada saatnya lambat. Mirip
iklan shampo, hanya saja usapannya cepat dan frekuensinya banyak. Mungkin
inilah yang dimaksud si terapis dengan membersihkan diri dari masalah penyakit
di kepala.
“Gimana rasanya”, tanya si terapis di minggu
depannya
“Aneh, tapi asyik juga”, jawabku
Setelah itu hampir setiap hari aku melakukannya.
Tapi aku lantas minta jamnya diubah, karena jam 10 itu terlalu malam, dan
akhirnya kami sepakat jam 8 untuk melakukan terapi jarak jauh. Benarkah ini
terapi jarak jauh? Aku tidak tahu, yang jelas pernah suatu hari tubuhku tidak
mau bergerak saat jam terapi. Setelah kukonformasi keesokan harinya di
rumahnya, si terapis berkata, “Oh ya, maaf semalam saya lupa tidak menterapimu
dari sini”
Terapi ini pada awalnya memang bisa mengurangi
jumlah frekuensi serangan. Tapi semakin lama, frekuensi serangan kembali
seperti sebelumnya. Aku sudah hampir putus asa, tapi lantas aku ingat masih ada
satu hal yang belum kuceritakan pada si terapis. Semoga respon yang dia berikan
lain dengan respon dokter yang pernah kuceritakan.
Suatu hari, aku selesai terapi dan sudah keluar
dari rumah si terapis. Saat itu aku naik motor sendiri, dan keluargaku sudah
pulang mendahuluiku. Ketika aku berjalan menuju motorku tiba-tiba terlintas
pikiran, “hmm...mungkin ini saatnya aku ceritakan tentang apa yang kurasakan
setiap menjelang serangan”.
Aku pun kembali ke rumah terapis, dan menemuinya
kembali di ruang tamunya.
“Maaf pak, saya balik lagi, sebenarnya ada satu
hal yang belum saya ceritakan”
“Oh ya, tidak papa, ayo duduk, ceritakanlah pada
saya”, ia menyambut hangat.
“Gini pak, sebenarnya setiap sebelum serangan tuh,
saya tiba-tiba merasa takut, cemas. Entahlah apa yang saya takutkan. Serasa ada
sosok seseorang di belakang punggung saya. Semakin saya fokus untuk mencari
tahu apa sebenarnya penyebab rasa takut itu, semakin besar dan dekat rasanya
sosok di belakang saya itu. Dan saya pun kena serangan kejang-kejang. Apa ya
itu sebenarnya pak? Mungkin bapak bisa bantu”
“Ada sosok seseorang?”
“Iya”
“Oke. Kamu duduk di kursi itu. Tenang dan nafas
teratur. Saya akan coba melihatnya.
Apa sebenarnya sosok yang kamu maksud itu”.
Kulihat terapis itu seketika menutup mata dan
mulutnya bergerak seperti mengucapkan doa. Aku hanya duduk tenang di depannya.
Ada meja yang memisahkan kursi kami berdua yang saling berhadapan. Seketika
matanya terbuka dan nampak melotot. Pandangannya mengarah ke atasku. Dan ia
nampak sedang berbicara dengan sesuatu.
Saat itu pula aku bertanya dalam hati, “Benarkah ada makhluk halus yang
menggangguku?”
Saat terapis itu selesai melakukan pembicaraan, wajahnya terlihat kembali
tenang dan ia mengatakan sesuatu.
“Ya Aska. Kamu benar. Ada sesosok makhluk yang
selalu mengikutimu. Saya baru mengetahui sebatas itu. Tentang gimana caranya
agar makhluk itu mau menjauhimu, atau apa yang sebenarnya makhluk itu mau, saya
belum tahu”
Jantungku berdebar seketika saat aku mendengarnya.
Tapi ada kelegaan di sisi lain karena akhirnya ada satu orang yang percaya
padaku tentang pertanda akan munculnya serangan kejang itu.
“Apa yang kukatakan, yang kulakukan saat aku
kejang-kejang dan hilang kesadaran itu adalah wujud perilaku si dia yang mungkin ingin menyampaikan
suatu pesan?”, tanyaku spontan
“Bisa jadi. Tapi untuk itu saya perlu
berkomunikasi dengannya lebih lanjut. Begini saja, kamu saya kasih sesuatu”
Ia lantas berdiri, masuk ke dalam kamarnya. Ia
keluar dan memberiku sebuah kemenyan.
“Nanti malam kamu bakar kemenyan ini sekitar jam 8 di kamarmu. Supaya makhluk itu tidak
bisa mendekatimu sementara ini, dan saya akan memanggilnya untuk berbicara dengannya”, perintah si terapis.
Aku langsung pulang. Dan malamnya aku menjalankan
perintahnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, sampai minggu depannya
aku bertemu dengan si terapis itu kembali.
Beberapa pertemuan berikutnya aku mulai diberi
doa-doa yang harus aku ucapkan setiap malam. Doa yang berawalan bacaan basmalah
dan diikuti kata-kata bahasa jawa kuno. Aku sama sekali tidak ngerti arti doa
itu. Walaupun sejak kecil aku udah terbiasa berbahasa jawa, tapi untuk bahasa
jawa yang satu ini aku tidak ngerti artinya. Terapis hanya mengatakan tentang
manfaat doa itu. Aku ikuti semua perintah terapis, sampai suatu hari ia
berkata,
“Saya sudah bernegosiasi dengan dia. Dia bersedia meninggalkanmu, dengan
syarat kita harus mengadakan suatu upacara labuhan di pantai selatan”
“Kita harus mempersiapkan segala hal yang
diperlukan dalam upacara itu. Mulai dari makanan persembahan, kembang, sampai
ayam jantan hidup jenis cemani. Semua bisa dipersiapkan dengan cepat, hanya
saja ayam cemani inilah yang sulit untuk ditemukan, karena termasuk jenis yang
langka”
“Lalu kita harus menyembelihnya?”, tanyaku sedikit
takut
“Tidak. Kita tidak perlu menyembelihnya. Ayam itu
nantinya akan kita lepas ke laut sebagai simbol si dia lepas dari tubuhmu”
Kami pun
mempersiapkan segala hal yang diperlukan. Kami mencari ayam itu ke pasar-pasar
di jogja, tapi tidak ditemukan. Akhirnya menjelang hari H pelaksanaan upacara,
kami bisa menemukan ayam itu di daerah mendekati magelang (jawa tengah).
Upacara itu hanya bisa diadakan sebulan sekali, karena harus sesuai dengan hari
kelahiranku di penanggalan jawa. Aku lahir di hari selasa pon. Awalnya sempat
terjadi kebingungan antara kami karena aku lahir di Perancis, dan jelas aja di
Perancis tidak ada penanggalan jawa. Tapi akhirnya dapat dicapai kesepakatan
bahwa kelahiranku adalah hari selasa pon. Aku lahir di Perancis hari senin
menjelang tengah malam (dari nama belakangku sudah bisa diketahui), itu berarti
Yogyakarta sudah berada di hari selasa dini hari.
Di hari H, kami melakukan upacara di Pantai Pandan
Simo, di kawasan selatan DIY. Terapisku nampak serius dalam upacara ini. Ia
mengenakan pakaian tradisional jawa dengan rapi. Setibanya di pantai, kami
tidak bisa mengadakan upacara begitu saja. Kami harus meminta izin kepada juru
kunci pantai selaku tuan rumah.
Upacara berlangsung dalam waktu yang tidak lama.
Setelah membaca doa, kami melepaskan makanan dan menebar kembang ke laut
sebagai persembahan. Ayam cemani pun dilepas dengan cara dilempar ke laut
sebagai simbol makhluk itu lepas dari tubuhku. Tidak masalah, jika ayam lantas
berlari kembali ke darat.
Setelah upacara itu si terapis memandikanku di
sungai dekat pantai yang bermuara ke laut. Si terapis nampak serius membaca doa
dalam bahasa jawa, dan ia mengguyurku beberapa kali, seperti layaknya
masyarakat jawa yang melakukan upacara pembersihan diri pada malam tahun baru
jawa (tahun baru Islam).
“Sudah selesai upacaranya. Ganti pakaianmu,
tinggalkan pakaianmu, biarkan pakaianmu mengikuti aliran air menuju laut”,
perintahnya.
“Karena pakaian itu berisi segala macam kotoran yang ada di dalam dirimu. Dan
dirimu sekarang sudah bersih”,
jawabnya ketika kutanya kenapa.
Setelah upacara itu. Si terapis minta agar aku
tidak perlu lagi sering mendatanginya. Karena menurutnya masalahku sudah
selesai.
Dan seperti biasa, frekuensi munculnya serangan
epi berkurang, dan beberapa minggu kemudian muncul lagi. “Apakah upacara itu
gagal?”, tanyaku dalam hati.
Mulai saat itu sampai 10 tahun berikutnya aku
sering mencoba pengobatan alternatif yang lain. Saat pertama mencoba,
pengobatan nampak manjur, tapi setelah itu kembali seperti biasa, epi menyerang
lagi. Pada pengobatan-pengobatan berikutnya, aku sengaja tidak menceritakan
tantang pendapat adanya makhluk halus yang menggangguku. Aku hanya menceritakan
tentang apa yang kurasa menjelang serangan epilepsi. Dan ternyata memang ada
beberapa terapis lain yang mengatakan hal yang sama. Bahwa memang ada makhluk
halus yang menggangguku. Aku tidak tahu ini benar atau tidak. Ada terapis yang
mengajak kami sekeluarga sholat berjamaah di rumah pada tengah malam, dan ia
juga akan membersihkan rumah kami
dari hawa jahat. Tapi sama juga seperti sebelumnya, kami harus mempersiapkan
persembahan makanan dan juga kembang.
Beberapa hal lain yang dikatakan oleh terapis-terapis
lain adalah aku sebagai wujud reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya. Aku adalah
seekor rusa yang mengalami luka parah di lutut. Ada yang menyuruhku untuk tidak
mengkonsumsi daging dari binatang berkaki empat. Sambil bercanda, saudara sepupuku
terus bertanya, “Kalau kamu makan daging sapi, dan sapinya itu cacat, cuma
berkaki tiga berarti gak papa dong?”
Ada juga terapi di lereng gunung merapi. Aku tidak
perlu ketemu langsung dengannya, karena katanya bisa melalui terapi jarak jauh.
Terapis lantas mengatakan bahwa ia telah mengambil
pedang yang tersimpan dalam diriku, dan aku bisa mengambilnya di lereng
gunung merapi. Setelah semua proses selesai dilakukan, aku dinyatakan sudah
sembuh, dan sekarang yang perlu dilakukan adalah menciptakan suasana rumah dan
keluarga yang harmonis dan menyenangkan bagiku.
Aahh apalagi ini? Semakin lama aku jadi semakin
ragu, rasaya tidak ada yang pasti untuk kesembuhanku. Nyatanya masih aja kena
serangan.
***
Aku pun naik ke kelas tiga. Di sini, aku
benar-benar harus menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan baru. Aku masuk di
kelas 3 IPA 2. Di kelas ini hanya ada satu anak yang berasal dari kelas yang
sama denganku, namanya Tina. Hari
pertama masuk kelas, Tina mengajakku untuk duduk satu bangku dengannya. Padahal
ketika kelas satu dan dua dulu, bisa dihitung berapa kali kami mengobrol.
Lagi-lagi serangan epilepsi muncul di hari pertama, di lingkungan baru yang belum
mengenalku sebagai ODE.
Bersama teman-teman 3IPA2 tahun 2002
“Aska.....aku dulu kaget, pertama kali kita duduk sebangku di kelas 3, kamu tiba-tiba kejang dan terus mau mencekik teman yang duduk di depan bangku kita”, seru Tina suatu hari
“Hah? Mencekik?”, tanyaku setengah tidak percaya.
“Iya, Suer! Untungnya aku terus pegangin tanganmu,
terus aku bantu kamu buat duduk”
“Habis itu kamu sering kena serangan epi di kelas.
Reaksi teman-teman ya sama kayak reaksiku dulu waktu lihat kamu kena serangan
di kelas 1. Bingung, ragu, malah ada yang bilang menular”
“Tahu tidak, ada yang minta aku jauh dari kamu
soalnya mereka takut aku ketularan. Gak tau tuh mereka.....biar aja, mungkin
mereka belum tahu tentang riwayat epilepsimu”
Aku, sekali lagi, hanya bisa berterima kasih
kepada Tina yang udah membelaku. Akhirnya Tina juga lah yang selalu menolongku
saat serangan epilepsi muncul, karena ia sudah terbiasa melihat dan tidak takut
lagi dengan kondisiku. Setahun berlalu cepat, dan kami pun lulus dari SMA BOSA.
Pertemuanku dengan Tina di Singapore pada tahun 2015
Kelanjutan ceritanga mana mbak?
BalasHapus