Minggu, 24 Januari 2016

#1 Prolog


Suatu hari di tahun 2004. Saat itu aku sedang berkumpul bersama keluarga besar untuk menikmati hidangan makan malam di sebuah rumah makan di Yogyakarta. Saat itu aku duduk bersebelahan dengan Didied, sahabatku. Setelah semua makanan tersedia di meja makan, kami pun memulai acara makan malam dengan santai dan penuh canda tawa.

Tiba-tiba, sekitar 20 menit kemudian, perasaan itu tiba-tiba muncul dari dalam diriku. Tanpa ada pertanda apapun, tiba tiba aku merasa takut. Rasa takut ini diikuti dengan detak jantung yang tiba-tiba meningkat, rasa dingin mulai menusuk dari ujung jari kaki dan tangan, serta nafasku mulai tidak teratur. Semakin aku berusaha mencari tahu hal apa yang membuatku takut, semakin besar rasa cemas dan gelisah yang aku rasakan.

Aku pun hilang kesadaran seketika. Saat itu tiba-tiba seluruh bagian tubuhku bergerak tanpa perintah dari otakku. Aku mengamuk dan menghancurkan barang-barang yang ada disekitarku. Hampir semua piring dan gelas yang tersedia di meja makan berjatuhan dan pecah seketika karena pergerakan tanganku. Air liur pun menetes dari mulutku mengiringi pergerakan ini.

Akibatnya saat itu suasana acara makan malam bersama berudah menjadi suasana kepanikan. Didied, bersama Papa dan beberapa saudara sepupuku berusaha memegang tangan dan menahan pergerakanku. Aku pun terus melawan mereka, sampai akhirnya 5 menit kemudian pergerakan tanganku mulai berkurang. Aku pun kembali ke dalam posisi duduk, dan mataku tertutup.

Beberapa saat kemudian mata ku terbuka, dan mereka mencoba berkomunikasi denganku

"Aska....kamu tidak apa-apa?", tanya mereka

"Tidak, tidak apa-apa kok, emang kenapa?", tanyaku

Mereka hanya terdiam. Tetapi setelah aku melihat kondisi meja makan yang berantakan, beserta pecahan piring dan gelas di sekitarnya, aku pun tahu apa yang terjadi. Nampaknya aku kembali kejang setelah tadi aku sempat merasakan rasa takut.

"Kamu tadi kena serangan. Tetapi kali ini serangan kejangnya tidak seperti biasa. Biasanya kamu hanya terdiam duduk dengan tangan kanan kejang, serta air liur menetes selama beberapa detik. Kali ini serangan kejangnya agak lama, dan kedua tanganmu bergerak ke segala arah, seperti orang yang sedang mengamuk. Akibatnya piring da gelas kita terjauh ke lantai", kata Didied memecah kesunyian.

"Masa sih?", tanya ku

"Iya. Keluargamu berusaha melindungimu dan menutupimu selama kamu kejang, agar tidak menimbulkan kepanikan di rumah makan ini. Tetapi dengan amukan dan suaramu yang keras, semua orang tetap saja tahu dan takut melihat hal ini", jawab Didied

Dia pun menambahkan, "Aku juga tidak sengaja mendengar percakapan mereka. Seperti biasa, ada yang menganggap kamu sedang kesurupan. Tapi yang kasihan adalah para pelayan rumah makan. Mereka menilai kamu sedang marah besar karena makanan yang disajikan kurang enak atau pelayanan mereka kurang baik"

"............................"

"Udah gak usah khawatir, piring & gelas sih bisa dibayar. Yang penting sekarang kamu sudah pulih", dia mencoba menghibur

Sambil setengah bercanda dia berkata, "Ini masih lebih mending daripada dulu kamu serangan saat kita berdua sedang berada di dalam mobil. Ingat tidak?"

"Iya, itu kejadian yang tak terlupakan", jawabku

Dia kembali menceritakan, "Saat itu aku sedang mengendarai mobil, tiba-tiba kamu yang duduk disampingku terkena serangan. Padahal sebelumnya kita masih berbincang dan bercanda. Bentuk serangannya tidak hanya kejang, tetapi kamu tiba-tiba mengamuk dan ingin keluar dari mobil. Untungnya saat itu secara refleks aku menekan tombol central lock, sehingga pintu mobil tidak bisa dibuka. Kalau tidak, kamu sudah jatuh keluar dari mobil saat kecepatan tinggi".

Sejak tahun 1998 aku sering mengalami serangan kejang epilepsi. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku mengalami serangan kejang. Rata-rata dalam 1 minggu aku bisa kejang sebanyak 3-5 kali, dan itu terus berlangsung selama hampir 10 tahun.  Kejang dapat muncul di mana pun. Di rumah, di sekolah, di jalan, di mall, di mobil, di pesawat, dll.

Berbagai terapi pengobatan telah aku tempuh. Tetapi hasilnya nihil, sampai akhirnya aku mendapatkan harapan untuk sembuh. 11 Maret 2007. Tidak seperti biasanya, hari itu, aku terbangun dari tidur dengan perasaan hampa, mungkin lebih tepatnya bingung. Entahlah, apakah aku harus takut menjalani hari ini? Apakah aku harus senang? Atau khawatir?

Seakan ada yang berbisik, “Hari ini kepalamu akan dibongkar. Kamu tahu? Tengkorakmu akan dibuka, dan ada bagian otakmu yang akan diangkat! Dan kamu tahu juga kalau syaraf dikepala itu ada banyak sekali jumlahnya, tidak sengaja ada syaraf terpotong saat operasi bagaimana?”



Kututup mataku untuk menenangkan diri. Ketika kubuka mata dan kutatap kembali keadaan di sekitarku, kuingat kembali lamanya proses dan perjalananku menuju saat ini. Menuju sebuah keadaan yang memberiku kesempatan untuk sembuh. Hampir 10 tahun lamanya aku hidup dengan epilepsi.

“Aska!, kamu udah ada di sini. Inilah saatnya!, ini kan tujuanmu selama ini? Jangan mundur! 2 jam lagi operasi akan dilaksanakan”, ujarku menyemangati diri.

Ya, pagi itu aku terbagun di atas kasur di kamar rumah sakit RS dr Kariadi Semarang. Jam 8 pagi nanti, operasi akan dilaksanakan. Para perawat datang dan memintaku untuk bersiap. Keluargaku mulai berdatangan. Aku harus berganti pakaian dan dipasang infus. Jam setengah 8, aku yang berada di atas tempat tidur, mulai digiring keluar kamar menuju ruang operasi.

Dalam perjalanan ke ruang operasi, keluargaku mendampingi di sampingku. Ada yang tersenyum, ada yang cemas, dan ada pula yang mengingatkanku sekali lagi untuk berdoa sebelum dibius.

Aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum kepada mereka ketika memasuki ruang operasi. Mereka harus menungguku di luar. Ketika bius mulai disuntikkan, mulut dan hidungku ditutup dengan alat bantu pernafasan, aku berdoa dan menyakini diri bahwa inilah saat yang tepat untuk mengatasi masalah epilepsi di otakku.

Dan seketika, aku pun hilang kesadaran......

1 komentar:

  1. Bismillahirrahmanirrahim...SEMOGAKU BISA SEPERTIMU KAK...Aamiin ya Rabbbal aalamiin🙏

    BalasHapus