Suatu hari di tahun 2004. Saat itu aku
sedang berkumpul bersama keluarga besar untuk menikmati hidangan makan malam di
sebuah rumah makan di Yogyakarta. Saat itu aku duduk bersebelahan dengan
Didied, sahabatku. Setelah semua makanan tersedia di meja makan, kami pun
memulai acara makan malam dengan santai dan penuh canda tawa.
Tiba-tiba, sekitar 20 menit kemudian,
perasaan itu tiba-tiba muncul dari dalam diriku. Tanpa ada pertanda apapun,
tiba tiba aku merasa takut. Rasa takut ini diikuti dengan detak jantung yang
tiba-tiba meningkat, rasa dingin mulai menusuk dari ujung jari kaki dan tangan,
serta nafasku mulai tidak teratur. Semakin aku berusaha mencari tahu hal apa
yang membuatku takut, semakin besar rasa cemas dan gelisah yang aku rasakan.
Aku pun hilang kesadaran seketika. Saat itu tiba-tiba
seluruh bagian tubuhku bergerak tanpa perintah dari otakku. Aku mengamuk dan
menghancurkan barang-barang yang ada disekitarku. Hampir semua piring dan gelas
yang tersedia di meja makan berjatuhan dan pecah seketika karena pergerakan
tanganku. Air liur pun menetes dari mulutku mengiringi pergerakan ini.
Akibatnya saat itu suasana acara makan malam bersama
berudah menjadi suasana kepanikan. Didied, bersama Papa dan beberapa
saudara sepupuku berusaha memegang tangan dan menahan pergerakanku. Aku pun
terus melawan mereka, sampai akhirnya 5 menit kemudian pergerakan tanganku
mulai berkurang. Aku pun kembali ke dalam posisi duduk, dan mataku tertutup.
Beberapa saat kemudian
mata ku terbuka, dan mereka mencoba berkomunikasi denganku
"Aska....kamu tidak apa-apa?", tanya mereka
"Tidak, tidak
apa-apa kok, emang kenapa?", tanyaku
Mereka hanya terdiam.
Tetapi setelah aku melihat kondisi meja makan yang berantakan, beserta pecahan
piring dan gelas di sekitarnya, aku pun tahu apa yang terjadi. Nampaknya aku
kembali kejang setelah tadi aku sempat merasakan rasa takut.
"Kamu tadi kena serangan. Tetapi kali ini serangan
kejangnya tidak seperti biasa. Biasanya kamu hanya terdiam duduk dengan tangan
kanan kejang, serta air liur menetes selama beberapa detik. Kali ini serangan
kejangnya agak lama, dan kedua tanganmu bergerak ke segala arah, seperti orang
yang sedang mengamuk. Akibatnya piring da gelas kita terjauh ke lantai",
kata Didied memecah kesunyian.
"Masa sih?", tanya ku
"Iya. Keluargamu berusaha melindungimu dan menutupimu
selama kamu kejang, agar tidak menimbulkan kepanikan di rumah makan ini. Tetapi
dengan amukan dan suaramu yang keras, semua orang tetap saja tahu dan takut
melihat hal ini", jawab Didied
Dia pun menambahkan, "Aku juga tidak sengaja mendengar
percakapan mereka. Seperti biasa, ada yang menganggap kamu sedang kesurupan.
Tapi yang kasihan adalah para pelayan rumah makan. Mereka menilai kamu sedang
marah besar karena makanan yang disajikan kurang enak atau pelayanan mereka
kurang baik"
"............................"
"Udah gak usah khawatir, piring & gelas sih bisa
dibayar. Yang penting sekarang kamu sudah pulih", dia mencoba menghibur
Sambil setengah bercanda dia berkata, "Ini masih lebih
mending daripada dulu kamu serangan saat kita berdua sedang berada di dalam
mobil. Ingat tidak?"
"Iya, itu kejadian yang tak terlupakan", jawabku
Sejak tahun 1998 aku sering mengalami serangan kejang
epilepsi. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku mengalami serangan kejang.
Rata-rata dalam 1 minggu aku bisa kejang sebanyak 3-5 kali, dan itu terus
berlangsung selama hampir 10 tahun. Kejang dapat muncul di
mana pun. Di rumah, di sekolah, di jalan, di mall, di mobil, di pesawat, dll.
Berbagai terapi
pengobatan telah aku tempuh. Tetapi hasilnya
nihil, sampai akhirnya aku mendapatkan harapan untuk sembuh. 11 Maret 2007. Tidak seperti biasanya,
hari itu, aku terbangun dari tidur dengan perasaan hampa, mungkin lebih
tepatnya bingung. Entahlah, apakah aku harus takut menjalani hari ini? Apakah
aku harus senang? Atau khawatir?
Seakan ada yang berbisik, “Hari ini kepalamu akan
dibongkar. Kamu tahu? Tengkorakmu akan dibuka, dan ada bagian otakmu yang akan
diangkat! Dan kamu tahu juga kalau syaraf dikepala itu ada banyak sekali
jumlahnya, tidak sengaja ada syaraf terpotong saat operasi bagaimana?”
Kututup mataku untuk menenangkan diri. Ketika kubuka
mata dan kutatap kembali keadaan di sekitarku, kuingat kembali lamanya proses
dan perjalananku menuju saat ini. Menuju sebuah keadaan yang memberiku
kesempatan untuk sembuh. Hampir 10 tahun lamanya aku hidup dengan
epilepsi.
“Aska!, kamu udah ada di sini. Inilah saatnya!,
ini kan tujuanmu selama ini? Jangan mundur! 2 jam lagi operasi akan
dilaksanakan”, ujarku menyemangati diri.
Ya, pagi itu aku terbagun di atas kasur di kamar
rumah sakit RS dr Kariadi Semarang. Jam 8 pagi nanti, operasi akan
dilaksanakan. Para perawat datang dan memintaku untuk bersiap. Keluargaku mulai
berdatangan. Aku harus berganti pakaian dan dipasang infus. Jam setengah 8, aku
yang berada di atas tempat tidur, mulai digiring keluar kamar menuju ruang
operasi.
Dalam perjalanan ke ruang operasi, keluargaku
mendampingi di sampingku. Ada yang tersenyum, ada yang cemas, dan ada pula yang
mengingatkanku sekali lagi untuk berdoa sebelum dibius.
Aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum kepada
mereka ketika memasuki ruang operasi. Mereka harus menungguku di luar. Ketika
bius mulai disuntikkan, mulut dan hidungku ditutup dengan alat bantu
pernafasan, aku berdoa dan menyakini diri bahwa inilah saat yang tepat untuk
mengatasi masalah epilepsi di otakku.
Dan seketika, aku pun hilang kesadaran......
Bismillahirrahmanirrahim...SEMOGAKU BISA SEPERTIMU KAK...Aamiin ya Rabbbal aalamiin🙏
BalasHapus