Masa kecilku layaknya seperti anak-anak kecil lainnya. Aku dikenal
sebagai anak yang bandel. Sepulang dari Perancis, aku tinggal bersama kakek dan
nenek, di rumah mereka di kawasan perumahan warga perkeretaapian, di daerah
bernama Pengok, Yogyakarta. Menurut
cerita yang aku dengar, hal pertama yang aku lakukan ketika sampai di Indonesia
adalah makan batu. Benar-benar aneh! Entahlah, mungkin waktu itu aku belum
pernah melihat batu seperti itu di Perancis sebelumnya.
Aku sempat ditinggal papa sebentar ke US untuk studi post-doctoral. Setelah
papa kembali, giliran mama meninggalkanku karena harus melanjutkan studi di Inggris
selama 2-3 tahun. Sebenarnya ada beberapa kejadian yang hampir bikin mamaku membatalkan
studinya di Inggris. Suatu hari mamaku pernah bercerita,
“Dulu, waktu kamu berumur 3 tahun, mama harus
meninggalkanmu untuk melanjutkan studi di Inggris. Masih segar dalam ingatan,
waktu akan berangkat untuk predeparture
training (pelatihan sebelum berangkat ke Inggris) di Jakarta, kamu
tiba-tiba beberapa kali kejang dan suhu badanmu naik seketika. Waktu itu papa
waktu itu masih studi di US”
Aku hanya mendengarkan cerita mama, karena tidak
banyak tahu soal masa kecilku.
“Hampir saja mama memutuskan mundur mengingat
kondisimu, akhirnya mama baru berangkat ke Jakarta setelah dokter bilang kamu
boleh ikut”, lanjut mama.
”Pelatihan itu dilaksanakan selama 3 bulan, di
Jakarta pun kamu tetap kejang-kejang meskipun frekuensinya rendah. Sampai
akhirnya mama berangkat studi untuk 2 tahun. Selama 2 tahun itu mama sempat
pulang beberapa kali termasuk pada waktu kakek meninggal dunia”
Ternyata waktu aku berusia 3 tahun, aku sudah
mulai kejang-kejang. Tapi pada usia ini, kejang-kejang belum mempengaruhiku.
Mempengaruhi perilaku-ku khususnya. Aku masih seperti anak-anak kecil yang bandel dan ceria seperti pada
umumnya.
”Mama sempat bingung juga, waktu itu kamu dekat sekali
dengan eyang kakung, sebetulnya ada pembantu tetapi jelas tidak sama
kualitasnya. Eyang kakung meninggal sementara eyang putri masih sibuk-sibuknya
bekerja sebagai pramuwisata”
”Iya, aku dulu sangat dekat dengan eyang kakung
selama mama pergi”, aku bergumam
”Eyang kakung meninggal, sedangkan mama harus kembali
ke Inggris, tinggal papa yang akhirnya menjadi single parent yang sesungguhnya,
karena tidak ada lagi yang membantu dan bisa terus menerus menemanimu seperti
almarhum eyang kakung, sementara kejang-kejang masih sering muncul dan
kenakalanmu semakin bertambah”, mama terus bercerita.
Ketika mama pergi, aku memang merasa agak
kesepian. Untungnya ada kakekku. Aku biasa memanggilnya dengan nama panggilan :
Yangkung, berarti eyang kakung. Selama mama tidak ada, aku sering bermain
bersama Yangkung. Setiap pagi kami bersepeda bersama. Jika hendak tidur siang,
aku selalu memegang kupingnya biar bisa tidur. Tanpa peduli Yangkung ada tamu,
aku langsung memanggilnya untuk menemaniku tidur siang.
Jika papa dinas ke luar kota, maka Yangkung lah
yang menemaniku tidur. Saat aku berulang tahun, mama selalu mengirimkan hadiah
untukku beserta sebuah kaset yang berisi suara mama, dan kalau aku baru kangen
sama mama, aku akan selalu minta untuk tidur bersama pakaiannya.
Kini setiap kali aku berkumpul dengan keluarga
besarku ataupun bertemu dengan tetangga Yangkung, banyak sekali
kenangan-kenanganku yang sering mereka tanyakan, seperti
“Kamu ingat tidak dulu, Yangkung sering mboncengin
kamu naik sepeda pagi-pagi, terus waktu perjalanan pulang ke rumah, Yangkung
rela menuntun sepeda soalnya kamu sedang tidur di boncengan sepeda?”
Aku sama sekali tidak ingat itu, ada juga komentar
lain
“Kamu tahu tidak, pakde dulu dikasih oleh-oleh
sama papamu, parfum dari Amerika. Jaman dulu, parfum itu udah eksklusif
rasanya. Seneng dong dikasih oleh-oleh sama papamu. Tapi gara-gara waktu pakde
tunjukin ke kamu, kamu pegang parfum itu, dan langsung membantingnya seketika”
Terlebih yang ini, aku juga tidak ingat sama
sekali. Cuma ada dua kenakalanku yang aku inget. Pertama, aku dengan sengaja
memecahkan seluruh telur di kulkas rumah Yangkung, dan yang kedua, ketika aku
marah dengan pembantuku, aku cuma mengurung diri ke kamar, setelah itu aku
langsung pergi ke dapur menemuinya yang sedang mendengarkan siaran radio. Radio
itu aku ambil seketika, dan kulempar ke dalam bak mandi. Sampai radio itu tak
mampu bersuara lagi.
Saat aku beranjak usia 4 tahun, Yangkung meninggal
karena memiliki penyakit jantung. Saat itu aku tidak ngerti apa-apa tentang apa
sebenarnya meninggal itu. Sebelumnya
yang aku tahu hanyalah Yangkung berada di rumah sakit, dan jika aku
menjenguknya aku tidak boleh ikut masuk ke dalam kamar Yangkung. Aku hanya bisa
melihatnya dari balik kaca, di luar ruangan bersama pembantuku. Suatu hari,
ketika aku bangun tidur, aku melihat Yangkung sudah kembali ke rumah dan ia
sedang ‘tidur’ di ruang keluarga. Dan ternyata, saat itulah beliau sudah
meninggal.

Bersama teman-teman SD di masa kecil
Satu hal lagi, Sebenarnya sejak kecil aku sudah
mulai merasakan adanya keanehan dalam diriku. Beberapa kali dengan tiba-tiba
aku merasa takut, cemas, dan gelisah, tanpa sebab yang jelas. Tapi kemudian,
perasan-perasaan itu akan hilang dalam seketika. Karena perasaan-perasaan itu
tidak aku anggap sebagai sebuah masalah yang berarti, aku mendiamkannya saja.
Toh, nantinya perasaan-perasaan itu juga akan hilang dengan sendirinya. Ketika
SD aku sempat step, tapi itu berlangsung satu kali dalam waktu sekian tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar