Minggu, 24 Januari 2016

#3 Perasaan takut itu muncul sejak kecil

Masa kecilku layaknya  seperti anak-anak kecil lainnya. Aku dikenal sebagai anak yang bandel. Sepulang dari Perancis, aku tinggal bersama kakek dan nenek, di rumah mereka di kawasan perumahan warga perkeretaapian, di daerah bernama Pengok, Yogyakarta. Menurut cerita yang aku dengar, hal pertama yang aku lakukan ketika sampai di Indonesia adalah makan batu. Benar-benar aneh! Entahlah, mungkin waktu itu aku belum pernah melihat batu seperti itu di Perancis sebelumnya.

Aku sempat ditinggal papa sebentar  ke US untuk studi post-doctoral. Setelah papa kembali, giliran mama meninggalkanku karena harus melanjutkan studi di Inggris selama 2-3 tahun. Sebenarnya ada beberapa kejadian yang hampir bikin mamaku membatalkan studinya di Inggris. Suatu hari mamaku pernah bercerita,

“Dulu, waktu kamu berumur 3 tahun, mama harus meninggalkanmu untuk melanjutkan studi di Inggris. Masih segar dalam ingatan, waktu akan berangkat untuk predeparture training (pelatihan sebelum berangkat ke Inggris) di Jakarta, kamu tiba-tiba beberapa kali kejang dan suhu badanmu naik seketika. Waktu itu papa waktu itu masih studi di US”

Aku hanya mendengarkan cerita mama, karena tidak banyak tahu soal masa kecilku.

“Hampir saja mama memutuskan mundur mengingat kondisimu, akhirnya mama baru berangkat ke Jakarta setelah dokter bilang kamu boleh ikut”, lanjut mama.

”Pelatihan itu dilaksanakan selama 3 bulan, di Jakarta pun kamu tetap kejang-kejang meskipun frekuensinya rendah. Sampai akhirnya mama berangkat studi untuk 2 tahun. Selama 2 tahun itu mama sempat pulang beberapa kali termasuk pada waktu kakek meninggal dunia”

Ternyata waktu aku berusia 3 tahun, aku sudah mulai kejang-kejang. Tapi pada usia ini, kejang-kejang belum mempengaruhiku. Mempengaruhi perilaku-ku khususnya. Aku masih seperti anak-anak kecil yang bandel dan ceria seperti pada umumnya.

”Mama sempat bingung juga, waktu itu kamu dekat sekali dengan eyang kakung, sebetulnya ada pembantu tetapi jelas tidak sama kualitasnya. Eyang kakung meninggal sementara eyang putri masih sibuk-sibuknya bekerja sebagai pramuwisata”

”Iya, aku dulu sangat dekat dengan eyang kakung selama mama pergi”, aku bergumam

”Eyang kakung meninggal, sedangkan mama harus kembali ke Inggris, tinggal papa yang akhirnya menjadi single parent yang sesungguhnya, karena tidak ada lagi yang membantu dan bisa terus menerus menemanimu seperti almarhum eyang kakung, sementara kejang-kejang masih sering muncul dan kenakalanmu semakin bertambah”, mama terus bercerita.

Ketika mama pergi, aku memang merasa agak kesepian. Untungnya ada kakekku. Aku biasa memanggilnya dengan nama panggilan : Yangkung, berarti eyang kakung. Selama mama tidak ada, aku sering bermain bersama Yangkung. Setiap pagi kami bersepeda bersama. Jika hendak tidur siang, aku selalu memegang kupingnya biar bisa tidur. Tanpa peduli Yangkung ada tamu, aku langsung memanggilnya untuk menemaniku tidur siang.

Jika papa dinas ke luar kota, maka Yangkung lah yang menemaniku tidur. Saat aku berulang tahun, mama selalu mengirimkan hadiah untukku beserta sebuah kaset yang berisi suara mama, dan kalau aku baru kangen sama mama, aku akan selalu minta untuk tidur bersama pakaiannya.

Kini setiap kali aku berkumpul dengan keluarga besarku ataupun bertemu dengan tetangga Yangkung, banyak sekali kenangan-kenanganku yang sering mereka tanyakan, seperti

“Kamu ingat tidak dulu, Yangkung sering mboncengin kamu naik sepeda pagi-pagi, terus waktu perjalanan pulang ke rumah, Yangkung rela menuntun sepeda soalnya kamu sedang tidur di boncengan sepeda?”

Aku sama sekali tidak ingat itu, ada juga komentar lain

“Kamu tahu tidak, pakde dulu dikasih oleh-oleh sama papamu, parfum dari Amerika. Jaman dulu, parfum itu udah eksklusif rasanya. Seneng dong dikasih oleh-oleh sama papamu. Tapi gara-gara waktu pakde tunjukin ke kamu, kamu pegang parfum itu, dan langsung membantingnya seketika”

Terlebih yang ini, aku juga tidak ingat sama sekali. Cuma ada dua kenakalanku yang aku inget. Pertama, aku dengan sengaja memecahkan seluruh telur di kulkas rumah Yangkung, dan yang kedua, ketika aku marah dengan pembantuku, aku cuma mengurung diri ke kamar, setelah itu aku langsung pergi ke dapur menemuinya yang sedang mendengarkan siaran radio. Radio itu aku ambil seketika, dan kulempar ke dalam bak mandi. Sampai radio itu tak mampu bersuara lagi.

Saat aku beranjak usia 4 tahun, Yangkung meninggal karena memiliki penyakit jantung. Saat itu aku tidak ngerti apa-apa tentang apa sebenarnya meninggal itu. Sebelumnya yang aku tahu hanyalah Yangkung berada di rumah sakit, dan jika aku menjenguknya aku tidak boleh ikut masuk ke dalam kamar Yangkung. Aku hanya bisa melihatnya dari balik kaca, di luar ruangan bersama pembantuku. Suatu hari, ketika aku bangun tidur, aku melihat Yangkung sudah kembali ke rumah dan ia sedang ‘tidur’ di ruang keluarga. Dan ternyata, saat itulah beliau sudah meninggal.

Aku sempat menyusul mama ke Inggris bersama papa, lantas berlibur ke Belanda & Jerman. Setelah mama selesai sekolah & pulang dari Inggris, aku, mama, & papa, lantas pindah ke rumah kami di pogung, sebuah kawasan dekat kampus UGM. Di tahun 1990 adikku lahir, dan aku pun memulai studiku di SD Negeri Serayu 1 Yogyakarta.


Bersama teman-teman SD di masa kecil

Bersama teman-teman SD saat acara reuni tahun 2010


Satu hal lagi, Sebenarnya sejak kecil aku sudah mulai merasakan adanya keanehan dalam diriku. Beberapa kali dengan tiba-tiba aku merasa takut, cemas, dan gelisah, tanpa sebab yang jelas. Tapi kemudian, perasan-perasaan itu akan hilang dalam seketika. Karena perasaan-perasaan itu tidak aku anggap sebagai sebuah masalah yang berarti, aku mendiamkannya saja. Toh, nantinya perasaan-perasaan itu juga akan hilang dengan sendirinya. Ketika SD aku sempat step, tapi itu berlangsung satu kali dalam waktu sekian tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar