Minggu, 24 Januari 2016

#2 Bonjour, Je M'appelle Aska

Perancis. Negara ini punya makna tersendiri bagiku. Di sanalah pertama kali aku membuka mata, di sanalah pertama kali aku bertemu mama-papaku, dan di sana juga lah pertama kalinya aku menatap indahnya dunia. Ya, di sanalah aku lahir.

Namaku Aska Primardi. Teman-teman dan keluargaku biasa memanggilku Aska. Aku lahir di kota Grenoble, yang merupakan sebuah kota kecil di kaki pegunungan Alpen, di sebuah klinik yang bernama clinique de mutualiste, pada tanggal 26 Maret 1984. Orang-orang sering bilang aku beruntung dan seharusnya bangga bisa lahir di luar negeri. Tapi aku malah berpikir sebaliknya. Menurutku merekalah yang beruntung. Mereka bisa dengan mudah kembali ke kota kelahirannya. Sedangkan aku, sampai saat ini, masih belum sempat kembali melihat rumah sakit tempat kelahiranku dan menikmati indahnya kota Grenoble. Aku pernah kembali ke Perancis pada tahun 2003, tapi karena waktu yang terbatas, aku hanya bisa berkunjung ke Paris saja. Sayang, padahal tinggal sedikit lagi. Semoga di masa mendatang Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melihat indahnya kota kelahiranku.

Mama-papaku sering bercerita tentang makna dari namaku, Aska Primardi. Nama “Aska” terinspirasi dari nama salah satu bahasa komputer, bahasa Pascal. Bahasa ini yang waktu itu digeluti oleh mamaku untuk menyelesaikan tugas pada Departement Informatique en Science Sociale Universite de Grenoble II Perancis. Pascal sendiri diambil dari nama Bleise Pascal adalah ahli matematika Perancis yang namanya kemudian didedikasikan oleh Niklaus Wirth untuk nama bahasa komputer yang dikembangkannya. Sedangkan nama Primardi, diambil dari waktu kelahiranku.  Pri yang artinya menjelang, dan Mardi diambil dari  bahasa Perancis yang artinya hari selasa. Ini berarti aku lahir pada hari senin tengah malam, atau lebih tepatnya menjelang hari selasa.

Tidak banyak ingatan yang tersisa tentang kehidupanku selama di Prancis. Malah bisa dibilang, aku tidak ingat apa-apa. Tapi jika aku melihat foto-foto album dan mendengar cerita-cerita dari papa dan mama atau nenek, aku bisa membayangkannya sedikit. Aku pernah melihat fotoku sewaktu sedang dirawat di sebuah klinik. Juga fotoku sewaktu masih berusia beberapa bulan, tiduran di atas pangkuan nenek yang sedang berkunjung menjenguk kami bertiga. Aku pernah mendengar cerita dari nenek, ketika aku sedang belajar berjalan di depan menara Eiffel, atau saat kami sedang berkunjung ke Monaco dan aku tidak boleh masuk casino karena masih kecil, sehingga aku dan nenek harus menunggu di luar, sementara papa dan mama di dalam.

Ketika orang tuaku harus pergi menjalani aktivitas mereka, biasanya aku dititipkan di sebuah tempat penitipan anak yang dikelola orang Italia, lalu dijemput pada sore hari. Saat itu papa sedang menempuh studi S3 dan mama melanjutkan studi S2. Suatu sore saat mama menjeputku, dia melihat ada yang tidak beres dengan diriku. Saat itu kira-kira aku berusia 13 bulan. Ketika aku sedang berada di dalam kereta bayi, aku terlihat membeliak mata terus ke atas, tubuhku kejang-kejang, dan nafasku terengah-engah tidak teratur. Mama bingung dan segera membawaku  pulang. Ketika papa pulang, aku pun lantas mereka larikan ke sebuah klinik, semacam puskesmas terdekat.

Di puskesmas tersebut, kepala, badan, dan seluruh tubuhku ditepuk-tepuk supaya aku bisa segera sadar. Pihak puskesmas lantas menghubungi taksi untuk segera membawaku ke rumah sakit L’hospital du nord. Pihak rumah sakit memutuskan aku harus tinggal di rumah sakit selama beberapa hari untuk mendapat perawatan dan diagnosa. Segala macam pemeriksaan termasuk pemeriksaan otak dilakukan. Sampai akhirnya aku pulang setelah hari kesepuluh. Hasil dari pemeriksaan itu sendiri adalah, convulsion sans cause, yang berarti kejang tanpa sebab. Pengasuhku di tempat penitipan anak pun langsung diintrogasi, tentang kemungkinan aku jatuh. Namun menurut keterangan mereka, tidak terjadi apa-apa, bahkan jatuh pun tidak.

Dokter tidak tahu apa yang menyebabkan terjadinya kejang-kejang pada diriku karena semuanya tampak normal dan baik-baik saja. Namun ada satu hal yang bisa jadi pertimbangan yaitu, lahir dengan bantuan forceps, atau bisa disebut sebuah tang. Lahir dengan tang? Ya, aku memang belum bercerita, tentang proses kehamilan mama sampai aku lahir. Ketika dilakukan pemeriksaan rutin tujuh bulan, dokter memutuskan bahwa mama harus bedrest karena selalu mengalami kontraksi setiap setengah jam, mirip orang yang hendak melahirkan. Akhirnya mama bercerita bahwa sebenarnya kontraksi ini sudah terjadi sejak usia kandungan tiga bulan. Mama tidak bercerita sejak awal karena tidak tahu kalau kontraksi ini sebenarnya berbahaya.

Akhirnya aku pun lahir. Namun pada proses kelahiranku, ada satu masalah besar, tubuhku sangat sulit keluar dari rahim. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu, mungkin ada hubungannya dengan masalah-masalah yang sudah dialami mama selama kehamilan. Dokter akhirnya memutuskan untuk memakai semacam penjepit, mirip tang untuk menjepit kepalaku dan menarikku keluar. Jepitan inilah yang diperkirakan meninggalkan luka dan akhirnya mungkin menjadi penyebab masalah di otakku.

Sejak aku keluar dari L’hospital du nord, setiap kali badanku panas, aku selalu kejang-kejang. Orang tuaku pun bingung, sampai akhirnya nenekku datang menjenguk. Nenekku bilang, itu hanya step biasa yang juga sering dialami bayi-bayi di Indonesia, termasuk anak-anaknya yang lain. Menurut nenekku juga, step ini akan hilang dengan sendirinya pada umur lima tahun.


Untuk mengatasinya, aku disarankan untuk minum obat depakene setiap hari. Sejak itu aku tidak pernah mengalami kejang lagi, hingga aku sekeluarga pulang ke Indonesia, dan akhirnya obat itu pun sudah tidak diberikan lagi kepadaku. Namun kemudian pada usia 3 tahun aku mulai sering kejang, seperti step bagi anak yang sedang demam. Pernah waktu main naik sepeda roda tiga putar-putar dalam rumah sambil ketawa-tawa, tiba-tiba aku jatuh dan kejang. Sejak itu aku tidak pernah dibiarkan sendiri. Harus ada seseorang yang mendampingiku ke manapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar