Walaupun aku adalah ODE namun aku
tetap diizinkan mengendarai mobil dan motor oleh papa mama. Aku bisa meyakinkan
mereka bahwa setiap kali akan mengalami serangan, aku bisa mengetahuinya dari
rasa takut yang muncul tiba-tiba. Sehingga jika rasa takut ini muncul saat aku
mengendarai mobil atau motor, maka aku akan segera memberhentikan mobil atau
motor di tempat yang aman. Aku akan terus berada di tempat itu, sampai akhirnya
terjadi serangan atau rasa takut hilang. Setelah aku tersadar kembali pasca
serangan, aku bisa melanjutkan perjalanan.
Peristiwa ini sempat terjadi 2-3
kali saat aku mengendarai motor sendiri. Ada saatnya rasa takut hilang sendiri
dan ada juga saatnya aku mengalami serangan. Serangan terjadi saat aku sedang
duduk di atas motor yang berhenti di pinggir jalan. Bagian tubuhku yang kejang
hanyalah tangan kanan, dan kedua kaki ku tetap bisa menahan tubuhku yang sedang
duduk di atas jok motor. Aku pun tersadar pasca serangan tanpa luka sedikitpun.
Setelah 100% sadar, aku kembali melanjutkan perjalanan.
Itu lah yang terjadi saat aku
mengendarai mobil atau motor. Semuanya nampak baik-baik saja sampai
sebuah peristiwa terjadi di bulan oktober 2003. Saat itu aku sedang mengendarai mobil ditemani
oleh Tono, pembantuku. Jika sempat, Tono selalu diminta oleh papa mama untuk
menemaniku mengendarai mobil.
Aku sedang mengendarai mobil Marcedes
Benz A140 dalam perjalanan pulang, setelah sebelumnya kami mengunjugi sebuah
toko buku di Yogyakarta. Aku sudah sampai di Jalan Kaliruang. Beberapa
meter ke depan, aku harus belok kiri untuk masuk ke dalam gang menuju rumahku.
Menjelang gang tersebut, tiba-tiba aura rasa takut muncul. Aku berusaha cuek
dengan rasa takut itu dan berusaha mengatur nafas agar menjadi lebih tenang.
Aku berhasil mengatasi rasa takut ini. Beberapa peristiwa sebelumnya
menunjukkan bahwa rasa takut itu selalu hilang saat aku mengendarai mobil,
karena aku berkonsentrasi pada jalan, bukan pada rasa takut ini.
Aku pun belok
kiri untuk memasuki gang. Beberapa
saat kemudian, aura rasa takut ini muncul lagi. Aku percaya bahwa aura ini
hanya akan lewat saja, dan hilang seketika, mengingat beberapa saat sebelumnya
aku mengalami hal ini. Jadi aku tetap mengendarai mobil ini. Ternyata kali ini
berbeda, rasa takut ini meningkat dengan cepat, dan tiba-tiba aku hilang
kesadaran.
Mobilku kemudian menabrak pagar di
sisi kiri dalam kecepatan tinggi. Sebelumnya aku menjalankan mobil dalam
kecepatan rendah, mengingat aku sudah masuk ke jalan di dalam perkampungan.
Tetapi serangan kejang yang aku alami membuat kaki ku seketika menginjak gas.
Mobil pun menabrak pagar. Jika saat itu hanya pagar yang aku tabrak, mungkin
efeknya tidak terlalu berat. Aku hanya perlu mengganti pagar yang aku tabrak.
Tetapi, ternyata di dekat pagar tersebut ada seorang perempuan yang juga
menjadi korbannya.
Dia tidak
tertabrak langsung, tetapi dia terserempet sisi kiri mobilku, karena sebelumnya
dia sedang berjalan di samping pagar. Dia pun pingsan dalam posisi terjepit antara mobilku dan reruntuhan
pagar.
Melihat hal ini
semua orang sekitar langsung datang menghampiri mobilku. Mereka semua marah
padaku, karena melihat bahwa mobilku menabrak perempuan dan pagar ini.
“Keluar…keluar…”,
suara teriakan orang-orang memanggilku
Melihat aku dan
Tono pingsan di dalam mobil, mereka lantas mengeluarkan kami ke dalam mobil.
Kami sangat beruntung saat itu masyarakat tidak main hakim sendiri. Jika tidak,
maka kami pun sudah habis dihajar oleh masyarakat. Tono sadar telebih dahulu
daripada aku. Tono meminta orang-orang untuk tidak menghakimi dan menghajarku.
Tono hanya berkata bahwa aku tiba-tiba pingsan. Tono pun lantas menghubungi
papa meminta pertolongan.
Jika saat itu
Tono mengatakan bahwa ku ODE, maka kesalahanku semakin banyak. Pertama, aku
menabrak perempuan dan pagar. Kedua, kalau aku ODE seharusnya aku tidak boleh
mengendarai mobil, karena ini berarti aku melanggar peraturan lalu lintas,
dimana seseorang dengan penyakit tertentu yang dapat mengganggu konsentrasi
saat mengendarai motor atau mobil, tidak diizinkan mendapatkan SIM. Terlebih
lagi jika kecelakaan ini mengakibatkan kematian pada korban, maka aku pun bisa
dituntut hukuman pidana.
Satu jam kemudian, papa pun datang
ke lokasi kecelakaan. Papa datang bersama mama, dan kemudian disusul oleh mobil
derek. Papa dan mama mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya
kepada masyarakat sekitar dan korban, serta bersedia menanggung segala kerugian
material. Setelah itu mobilku segera diderek menuju bengkel. Papa pun segera
mengantar korban ke rumah sakit dr Sardjito. Dan aku pulang ke rumah bersama
Mama dan Tono. Keluarga ku dan keluarga korban sepakat untuk menyelesaikan
masalah ini secara kekeluargaan, tanpa perlu melibatkan polisi.
Papa tidak
banyak berkomentar padaku saat itu, hanya ada satu kalimat keluar dari mulut
papa,”Mulai besok kamu kalau pergi-pergi harus diantar sopir”. Aku sangat tahu diri dengan perintah
papa itu. Aku tidak akan melawan, dan mematuhinya.
Beberapa hari
kemudian aku menjadi semakin sering terkena serangan. Nampaknya rasa bersalah
kepada semua orang berperan besar dalam serangan ini. Beberapa kali aku lihat
telepon rumah berdering di malam hari. Telepon itu datang dari korban atau
keluarga korban tabrakan, yang ditujukan kepada Papa atau Mama. Setelah menutup
telepoon, biasanya Papa atau Mama langsung pergi menemui korban di rumah sakit.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada korban itu. Terkadang Papa atau Mama hanya
bercerita bahwa korban sedang dirawat, membutuhkan tindakan medis, dan
membutuhkan bantuan biaya rumah sakit.
Papa dan Mama
tahu bahwa saat itu aku sedang benar-benar tertekan oleh rasa bersalah. Untuk
mengatasinya, mereka tidak pernah menyalahkan aku atas kejadian sebelumnya,
mereka hanya menyampaikan pesan-pesan kepadaku yang harus aku patuhi di masa
mendatang. Suatu hari aku sedikit lega setelah Mama bercerita bahwa sang korban
sudah boleh pulang dari rumah sakit. Sejak itu, aku tidak pernah mendengar
kabar lagi tentang perempuan ini.
Sejak hari itu,
aku tidak pernah mengendarai motor dan mobil lagi. Ke mana pun aku akan pergi,
baik untuk urusan kuliah atau berkumpul bersama teman-teman, maka aku harus
diantar oleh sopir. Sebagai seorang remaja dengan minat eksistensi diri yang
sangat tinggi, ini adalah hal yang sulit aku lakukan, tetapi mau tidak mau aku
harus menerimanya. Ke mana pun aku pergi akan ada sopir yang akan mengetahui
segala aktivitasku bersama teman-teman atau pacar (jika suatu saat nanti
punya).
Setelah sempat
berganti 2 kali, akhirnya aku mendapatkan sopir yang cocok. Namanya Ghofir, dia
hanya berusia 3 tahun diatasku, sehingga percakapan kami pun bisa nyambung. Suatu hari Ghofir pernah
bercerita bahwa pada awalnya dia sempat bingung mengapa laki-laki sepertiku
harus diantar oleh seorang sopir. Dia pun mengerti setelah beberapa kali
menemukan aku terkena serangan di dalam mobil.
“Kalau kena
serangan, biasanya tanganmu kejang, keluar air liur, dan kadang-kadang kamu
justru menyerangku. Padahal
saat itu aku sedang mengendarai mobil”, cerita Ghofir suatu hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar