Senin, 25 Januari 2016

#9 Selamat dari kecelakaan mobil

Walaupun aku adalah ODE namun aku tetap diizinkan mengendarai mobil dan motor oleh papa mama. Aku bisa meyakinkan mereka bahwa setiap kali akan mengalami serangan, aku bisa mengetahuinya dari rasa takut yang muncul tiba-tiba. Sehingga jika rasa takut ini muncul saat aku mengendarai mobil atau motor, maka aku akan segera memberhentikan mobil atau motor di tempat yang aman. Aku akan terus berada di tempat itu, sampai akhirnya terjadi serangan atau rasa takut hilang. Setelah aku tersadar kembali pasca serangan, aku bisa melanjutkan perjalanan.

Peristiwa ini sempat terjadi 2-3 kali saat aku mengendarai motor sendiri. Ada saatnya rasa takut hilang sendiri dan ada juga saatnya aku mengalami serangan. Serangan terjadi saat aku sedang duduk di atas motor yang berhenti di pinggir jalan. Bagian tubuhku yang kejang hanyalah tangan kanan, dan kedua kaki ku tetap bisa menahan tubuhku yang sedang duduk di atas jok motor. Aku pun tersadar pasca serangan tanpa luka sedikitpun. Setelah 100% sadar, aku kembali melanjutkan perjalanan.

Itu lah yang terjadi saat aku mengendarai mobil atau motor. Semuanya nampak baik-baik saja sampai sebuah peristiwa terjadi di bulan oktober 2003. Saat itu aku sedang mengendarai mobil ditemani oleh Tono, pembantuku. Jika sempat, Tono selalu diminta oleh papa mama untuk menemaniku mengendarai mobil.

Aku sedang mengendarai mobil Marcedes Benz A140 dalam perjalanan pulang, setelah sebelumnya kami mengunjugi sebuah toko buku di Yogyakarta. Aku sudah sampai di Jalan Kaliruang. Beberapa meter ke depan, aku harus belok kiri untuk masuk ke dalam gang menuju rumahku. Menjelang gang tersebut, tiba-tiba aura rasa takut muncul. Aku berusaha cuek dengan rasa takut itu dan berusaha mengatur nafas agar menjadi lebih tenang. Aku berhasil mengatasi rasa takut ini. Beberapa peristiwa sebelumnya menunjukkan bahwa rasa takut itu selalu hilang saat aku mengendarai mobil, karena aku berkonsentrasi pada jalan, bukan pada rasa takut ini.

Aku pun belok kiri untuk memasuki gang. Beberapa saat kemudian, aura rasa takut ini muncul lagi. Aku percaya bahwa aura ini hanya akan lewat saja, dan hilang seketika, mengingat beberapa saat sebelumnya aku mengalami hal ini. Jadi aku tetap mengendarai mobil ini. Ternyata kali ini berbeda, rasa takut ini meningkat dengan cepat, dan tiba-tiba aku hilang kesadaran.

Mobilku kemudian menabrak pagar di sisi kiri dalam kecepatan tinggi. Sebelumnya aku menjalankan mobil dalam kecepatan rendah, mengingat aku sudah masuk ke jalan di dalam perkampungan. Tetapi serangan kejang yang aku alami membuat kaki ku seketika menginjak gas. Mobil pun menabrak pagar. Jika saat itu hanya pagar yang aku tabrak, mungkin efeknya tidak terlalu berat. Aku hanya perlu mengganti pagar yang aku tabrak. Tetapi, ternyata di dekat pagar tersebut ada seorang perempuan yang juga menjadi korbannya.

Dia tidak tertabrak langsung, tetapi dia terserempet sisi kiri mobilku, karena sebelumnya dia sedang berjalan di samping pagar. Dia pun pingsan dalam posisi terjepit antara mobilku dan reruntuhan pagar.

Melihat hal ini semua orang sekitar langsung datang menghampiri mobilku. Mereka semua marah padaku, karena melihat bahwa mobilku menabrak perempuan dan pagar ini.
“Keluar…keluar…”, suara teriakan orang-orang memanggilku

Melihat aku dan Tono pingsan di dalam mobil, mereka lantas mengeluarkan kami ke dalam mobil. Kami sangat beruntung saat itu masyarakat tidak main hakim sendiri. Jika tidak, maka kami pun sudah habis dihajar oleh masyarakat. Tono sadar telebih dahulu daripada aku. Tono meminta orang-orang untuk tidak menghakimi dan menghajarku. Tono hanya berkata bahwa aku tiba-tiba pingsan. Tono pun lantas menghubungi papa meminta pertolongan.

Jika saat itu Tono mengatakan bahwa ku ODE, maka kesalahanku semakin banyak. Pertama, aku menabrak perempuan dan pagar. Kedua, kalau aku ODE seharusnya aku tidak boleh mengendarai mobil, karena ini berarti aku melanggar peraturan lalu lintas, dimana seseorang dengan penyakit tertentu yang dapat mengganggu konsentrasi saat mengendarai motor atau mobil, tidak diizinkan mendapatkan SIM. Terlebih lagi jika kecelakaan ini mengakibatkan kematian pada korban, maka aku pun bisa dituntut hukuman pidana.

Satu jam kemudian, papa pun datang ke lokasi kecelakaan. Papa datang bersama mama, dan kemudian disusul oleh mobil derek. Papa dan mama mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat sekitar dan korban, serta bersedia menanggung segala kerugian material. Setelah itu mobilku segera diderek menuju bengkel. Papa pun segera mengantar korban ke rumah sakit dr Sardjito. Dan aku pulang ke rumah bersama Mama dan Tono. Keluarga ku dan keluarga korban sepakat untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, tanpa perlu melibatkan polisi.

Papa tidak banyak berkomentar padaku saat itu, hanya ada satu kalimat keluar dari mulut papa,”Mulai besok kamu kalau pergi-pergi harus diantar sopir”. Aku sangat tahu diri dengan perintah papa itu. Aku tidak akan melawan, dan mematuhinya.

Beberapa hari kemudian aku menjadi semakin sering terkena serangan. Nampaknya rasa bersalah kepada semua orang berperan besar dalam serangan ini. Beberapa kali aku lihat telepon rumah berdering di malam hari. Telepon itu datang dari korban atau keluarga korban tabrakan, yang ditujukan kepada Papa atau Mama. Setelah menutup telepoon, biasanya Papa atau Mama langsung pergi menemui korban di rumah sakit. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada korban itu. Terkadang Papa atau Mama hanya bercerita bahwa korban sedang dirawat, membutuhkan tindakan medis, dan membutuhkan bantuan biaya rumah sakit.

Papa dan Mama tahu bahwa saat itu aku sedang benar-benar tertekan oleh rasa bersalah. Untuk mengatasinya, mereka tidak pernah menyalahkan aku atas kejadian sebelumnya, mereka hanya menyampaikan pesan-pesan kepadaku yang harus aku patuhi di masa mendatang. Suatu hari aku sedikit lega setelah Mama bercerita bahwa sang korban sudah boleh pulang dari rumah sakit. Sejak itu, aku tidak pernah mendengar kabar lagi tentang perempuan ini.

Sejak hari itu, aku tidak pernah mengendarai motor dan mobil lagi. Ke mana pun aku akan pergi, baik untuk urusan kuliah atau berkumpul bersama teman-teman, maka aku harus diantar oleh sopir. Sebagai seorang remaja dengan minat eksistensi diri yang sangat tinggi, ini adalah hal yang sulit aku lakukan, tetapi mau tidak mau aku harus menerimanya. Ke mana pun aku pergi akan ada sopir yang akan mengetahui segala aktivitasku bersama teman-teman atau pacar (jika suatu saat nanti punya).

Setelah sempat berganti 2 kali, akhirnya aku mendapatkan sopir yang cocok. Namanya Ghofir, dia hanya berusia 3 tahun diatasku, sehingga percakapan kami pun bisa nyambung. Suatu hari Ghofir pernah bercerita bahwa pada awalnya dia sempat bingung mengapa laki-laki sepertiku harus diantar oleh seorang sopir. Dia pun mengerti setelah beberapa kali menemukan aku terkena serangan di dalam mobil.


“Kalau kena serangan, biasanya tanganmu kejang, keluar air liur, dan kadang-kadang kamu justru menyerangku. Padahal saat itu aku sedang mengendarai mobil”, cerita Ghofir suatu hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar