Lulus SMP Negeri 1 Yogyakarta tahun 1999, aku
melanjutkan studi di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Terlebih dahulu aku dan mama
sempat berkeliling ke beberapa SMA swasta di Yogya, dan akhirnya memutuskan
untuk sekolah di Bosa (Bopkri Satu).
Kegiatan awal sebagai awal tahun pelajaran yang
harus aku ikuti adalah Masa Orientasi Sekolah (MOS). Selama kegiatan itu aku
terdaftar sebagai murid di kelas 1B. Setelah MOS selesai, sekolah akan mengubah
kembali susunan kelas dengan mengadakan tes terlebih dahulu. Sebenarnya aku
agak tidak setuju karena aku merasa sudah cocok dengan teman-teman baruku. Aku
takut bila di kelas baru nanti, aku tidak bertemu teman yang cocok. Apalagi
jika mereka semua nantinya menolakku karena epilepsi. Ditambah lagi, jumlah teman SMP-ku yang masuk
Bosa itu bisa dihitung dengan jari, itu pun tidak ada yang sekelas. Dari sekian
teman SMP-ku itu, hanya satu orang saja yang dulu pernah satu kelas denganku
dan sudah benar-benar mengenal epilepsi. Aku sangat cemas dan takut untuk
memasuki lingkungan yang benar-benar baru ini.
Akhirnya aku masuk ke kelas 1G. Awal tahun ajaran,
aku dikenal sebagai anak pendiam yang datang ke sekolah hanya benar-benar untuk
belajar. Cuma sedikit teman baru yang bergaul denganku. Setiap hari otakku
dipenuhi pikiran-pikiran bahwa aku akan dijauhi, kalau epi menyerangku. Aku
malu untuk memulai sebuah hubungan baru dengan mereka. Akibatnya, aku hanya
diam saja di kelas. Kalau waktu istirahat tiba, aku tidak berkumpul dengan
anak-anak lain atau pergi ke kantin. Aku cuma duduk, baca-baca, dan
membolak-balik buku pelajaran. Jika aku benar-benar bosan, aku akan ke luar
kelas dan berkeliling sekolah sendiri, sampai waktu istirahat selesai. Aku
benar-benar merasa sepi dan sendiri.
Hal yang aku takuti pun akhirnya terjadi juga.
Saat itu sedang ada pelajaran matematika di kelas. Serangan kejang dating di
waktu pelajaran di kelas.Tiba-tiba tubuhku kejang-kejang, tanganku
bergerak-gerak tak beraturan. Meskipun aku masih dalam posisi duduk, air liur
tetap saja keluar dari mulutku. Banyak teman yang kaget melihatku, tapi mereka
hanya diam saja. Bahkan ada beberapa yang melihatku dengan ekspresi takut,
bingung, dan mungkin ada juga yang malu untuk dekat dengan seorang yang
memiliki epilepsi.
Ketika aku tersadar, aku melihat ke samping, dan
teman sebangku-ku sudah tidak ada ditempat. Kucari dia, dan kutemukan dia ternyata sudah pindah ke
bangku paling belakang.
“Ah, apa yang kukhawatirkan terjadi juga”, kataku
dalam hati. “Satu teman menjauhiku setelah ia
melihatku kena serangan”.
“Ini benar-benar memalukan”
“Ya Tuhan, cukup sekali saja. Semoga kejadian ini tidak
terulang lagi”
“Satu reaksi dari teman baruku yang menjauhiku ini
udah cukup! Aku udah tahu apa yang akan terjadi jika aku kena serangan lagi dan
berada sebangku dengan teman baruku yang lain”
“Mereka akan menghindariku! Menjauhiku! Tak mau
berteman denganku! Cukup sekali saja”
Tampak luar aku memang tenang. Tapi, tampak dalam,
aku sedang mengalami konflik batin. Dan inilah kesalahanku berikutnya. Aku
melakukan sebuah over-generalisasi
terhadap suatu kejadian. Aku pun beranggapan bahwa reaksi semua orang kenalan
baruku akan sama saat mereka melihatku kena serangan. Padahal setelah kusadari
(walaupun terlambat), anggapan ini salah besar.
Setelah aku sadar dari serangan epi pertama di
masa SMU, mejaku berantakan dan buku tulisku penuh dengan air liur.
“Aska....kamu baik-baik saja? Kamu kenapa? Kamu
sedang sakit? Kamu kecapekan? Kamu setres? Kamu punya penyakit”, itu hanyalah
sebagian dari pertanyaan yang diucapkan guru matematika seketika.
“Tidak apa-apa bu, ini cuma kejang biasa”, jawabku
“Tidak apa-apa gimana? Udah, kamu ke ruang UKS aja
sana. Istirahat. Tidak usah ikut pelajaran dulu”
Aku hanya bisa menurut.Temanku lantas mengantarku
dan aku diperiksa oleh dokter jaga. Tapi semuanya normal dan aku hanya disuruh
istirahat. Karena aku tahu kondisi tubuhku, bahwa ini hanya sekedar kambuh
sejenak dan akan kembali baik-baik saja, maka aku bilang ingin kembali ke kelas
saja, dan ternyata diizinkan.
Dihindari teman-teman sekelas, aku pun jadi
seperti anak yang tidak punya teman. Ya sudah. Saat itu yang aku pikirkan
tujuanku ke sekolah bukan buat bergaul atau bermain, tapi buat belajar. Biar
saja temanku sedikit, yang penting aku bisa pintar dan dapat nilai bagus. Toh,
nanti setelah lulus aku juga tidak akan bertemu mereka lagi. Begitu pikirku.
Setelah itu aku cuma fokus, bagaimana caranya bisa sekolah dengan baik dan bisa
dapat rangking satu.
Suatu hari, guru matematika memberi lima soal yang
harus dikerjakan di rumah. Nilainya nanti akan dimasukkan sebagai nilai tugas.
Pertama melihat soal itu, aku sudah hampir menyerah dan putus asa. Sepertinya
mustahil bisa kukerjakan. Akhirnya dengan sedikit rasa malu, aku minta tolong
papa untuk membantuku. Papa mengajariku, bahkan beliau sampai ikut mengerjakan
soal itu. Ya aku senang, dong.
Keesokan harinya, kukumpulkan kerjaanku (lebih
tepatnya kerjaan papa) kepada guruku. Setelah semua tugas dari murid-murid
terkumpul, guruku mulai memeriksa tugas kami. Saat itu guruku memberitahu bahwa
ada seorang anak yang mendapat nilai 9,5. Serentak teman-temanku heran dan
penasaran. Maklum, saat itu hampir semua teman sekelas tidak bisa mengerjakan
soal itu.
Setelah dibagikan ternyata yang mendapat nilai itu
adalah aku. Teman-teman sempat kagum, tapi hanya sejenak. Mungkin karena mereka
menganggap ini hanyalah suatu kebetulan. Tapi bagiku, ini adalah suatu
kemajuan. Walaupun sebenarnya, ada sedikit rasa malu dalam diriku karena yang
mengerjakan tugasku sebenarnya adalah papa. Kejadian ini akhirnya menjadi
sebuah motivasi bagiku untuk belajar lebih giat, agar teman-temanku tidak
menganggap ini cuma satu kebetulan belaka.
Kejadian itu membuatku dan teman-teman memiliki
suatu alasan untuk membangun hubungan kami kembali yang sempat renggang, karena
aku menutup diri pasca kejadian serangan epi pertama kali.
“Wah Aska, kamu dapat nilai tertinggi di kelas”,
ujar salah satu teman
“Kamu kok tidak ngasih tahu sih kalau bisa
ngerjain”, teman lain menambahkan
“Iya nih, tahu gitu kan, kamu bisa beramal ngasih
contekan ke kami-kami ini. Membuat orang senang itu ibadah dan dapat pahala
lhooo”, satu teman bisa mencairkan suasana di antara kami
“Ajarin donk, kenapa jawabannya bisa x+4 ?”
Aku pun dengan senang hati menyambut kehangatan
teman-teman.
“Gini ...persamaan pertama dikuadratkan, lalu
dibagi 5. Nilai x yang ini menjadi negatif, sesuai persamaan, dan.......”, aku
bisa menjelaskannya berkat bimbingan dari papa.
Beberapa hari kemudian diadakan ulangan
matematika. Aku merasa harus belajar serius agar dapat nilai tinggi. Ini adalah
ulangan, jadi semuanya tergantung aku, bukan pada papa. Aku pun giat belajar,
sehingga bisa mengerjakan soal ulangan dengan baik. Aku malu, jika aku tidak
dapat nilai yang bagus, itu berarti bahwa teman-teman akan tahu bahwa nilai
tugasku yang menjadi nilai tertinggi di kelas itu hanyalah sebuah kebetulan
semata karena aku dibantu oleh orang lain dalam mengerjakannya.
Besoknya, aku tunggu guru matematikaku, saking
ingin tahunya dapat nilai berapa. Benar-benar aneh! Padahal dulu, aku tidak
pernah ingin tahu hasil ulanganku, apalagi ulangan matematika. Tapi kenapa
sekarang malah jadi sebaliknya? Mungkin karena aku merasa sangat optimis akan
mendapat nilai sembilan atau malah sepuluh. Guruku pun datang, beliau cuma
bilang kalau hasil ulangan belum bisa dibagikan, tapi sudah ada anak yang mendapat
nilai sembilan. Wah, jangan-jangan aku
nih.... Ini membuatku jadi tambah penasaran. Akhirnya hasil ulangan
dibagikan. Ternyata benar. Akulah anak yang mendapatkan nilai sembilan itu. Aku
benar-benar senang. Saat itu pula, kelas mulai heboh karena rata-rata anak
sekelas tidak dapat nilai setinggi itu.
Semenjak kejadian itu teman-teman mulai
mendekatiku. Walaupun mungkin mereka terkadang masih merasa malu untuk dekat dengan orang yang punya epi,
apalagi bila melihat epi menyerangku.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, mereka mulai terbiasa dan bisa menerima
kondisiku secara perlahan-lahan. Aku tidak pernah tahu juga tidak pernah
melihat, tapi katanya, saat penyakitku kambuh, seketika mereka langsung teriak,
”Tisu...tisu....”. Mereka memberiku bantuan tisu untuk membantuku membersihkan
air liurku yang selalu keluar di saat serangan muncul.
Mungkin kemampuanku bisa menutupi kelemahanku.
Dengan adanya kemampuan dalam bidang pelajaran tertentu, aku jadi lebih
dihargai oleh teman-teman. Teman-teman yang mendekatiku ada yang ingin diajari
mengerjakan soal, minta contekan, bahkan ada juga yang selalu memintaku
mengerjakan soal untuknya. Aku ingat, dulu biasanya sehari sebelum ada ulangan
matematika, teman-temanku selalu minta bocoran soal dari anak kelas lain,
kemudian mereka akan memintaku untuk mengerjakannya. Ya...ini memang bukan
tolong menolong dalam hal yang positif. Tapi bagiku ini penting untuk membina
hubungan persahabatan. Lagi pula, aku tidak rugi, toh, aku juga mendapat
bocoran soal. Meskipun lebih sering soal yang diberikan keesokan harinya tidak
sama.
Pengalamanku bersama pelajaran matematika akhirnya
membuatku termotivasi untuk mempelajari pelajaran yang lainnya. Aku dulu selalu
menilai bahwa bila aku tidak pintar, maka teman-temanku sekelas akan
menjauhiku, apalagi ditambah kondisiku sebagai ODE. Maka aku berpikir bahwa
jika aku pintar matematika, maka teman-temanku pasti akan mau berteman denganku
karena mereka akan lebih menghargai kemampuanku daripada memikirkan
kekuranganku sebagai ODE. Dan ternyata memang begitulah kenyataan yang aku
dapatkan. Ini semua membuatku berpikir bahwa jika aku bisa melakukan hal
tersebut pada pelajaran matematika, tentunya aku pasti juga bisa melakukan hal
yang sama pada pelajaran lainnya.
Akhirnya aku pun jadi lebih bersemangat untuk
belajar semua mata pelajaran. Tidak lupa setelah belajar, dan menghafal
materi pelajaran, aku terapkan relaksasi otak yang telah diajarkan kepadaku
tahun lalu. Hasilnya, di pagi
hari saat sekolah, aku bisa mengingat semua materi pelajaran, dan ini membantu
untuk mengerjakan soal ulangan. Aku pun mendapat nilai tertinggi pada beberapa
mata pelajaran, sampai akhirnya aku
meraih rangking 1 pada kelas 1. Ini membuatku lebih percaya diri untuk
bergaul dengan teman-teman.
Bersama teman-teman masa SMA saat reuni tahun 2007
Keakraban yang terjalin antara aku dan teman-teman
sekelasku akhirnya memberiku sahabat-sahabat. Bahkan sampai saat ini hubungan
persahabatan itu masih terjalin. Dua orang sahabat terdekatku yang selalu
menolongku dan merawatku jika epi menyerang di sekolah, sekaligus sahabat
tempatku saling berbagi adalah salah satunya adalah Didied.
Awal perkenalanku dengan Didied berawal dari nilai
matematikaku yang bagus. Walaupun motif awalnya adalah minta contekan, tetapi
itu menjadi sebuah awal persahabatanku dengannya sampai detik ini.
Suatu hari aku pernah bertanya pada Didied, “Apa
sih yang kamu lakuin pas aku kena serangan?”
“Yaaa....ngasih tisu buat nolong kamu lah!, kalau
perlu bikin heboh sekelas terus teriak minta tisu”
“Terus perasaanmu sendiri waktu nolong aku? Malu?”
“Ya”
Jawaban singkat yang langsung menusuk hati.
Benar-benar tusukan yang mendalam. Aku pun terdiam. Terdiam. Tidak tahu harus
berekspresi seperti apa.
“Aku malu......”, Lanjutnya
Dan ia menambahkan, “Aku malu kalau tidak bisa menolong
kamu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar