Minggu, 24 Januari 2016

#6 Tutupi kelemahanmu dengan sebuah prestasi

Lulus SMP Negeri 1 Yogyakarta tahun 1999, aku melanjutkan studi di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Terlebih dahulu aku dan mama sempat berkeliling ke beberapa SMA swasta di Yogya, dan akhirnya memutuskan untuk sekolah di Bosa (Bopkri Satu).

Kegiatan awal sebagai awal tahun pelajaran yang harus aku ikuti adalah Masa Orientasi Sekolah (MOS). Selama kegiatan itu aku terdaftar sebagai murid di kelas 1B. Setelah MOS selesai, sekolah akan mengubah kembali susunan kelas dengan mengadakan tes terlebih dahulu. Sebenarnya aku agak tidak setuju karena aku merasa sudah cocok dengan teman-teman baruku. Aku takut bila di kelas baru nanti, aku tidak bertemu teman yang cocok. Apalagi jika mereka semua nantinya menolakku karena epilepsi. Ditambah lagi, jumlah teman SMP-ku yang masuk Bosa itu bisa dihitung dengan jari, itu pun tidak ada yang sekelas. Dari sekian teman SMP-ku itu, hanya satu orang saja yang dulu pernah satu kelas denganku dan sudah benar-benar mengenal epilepsi. Aku sangat cemas dan takut untuk memasuki lingkungan yang benar-benar baru ini.

Akhirnya aku masuk ke kelas 1G. Awal tahun ajaran, aku dikenal sebagai anak pendiam yang datang ke sekolah hanya benar-benar untuk belajar. Cuma sedikit teman baru yang bergaul denganku. Setiap hari otakku dipenuhi pikiran-pikiran bahwa aku akan dijauhi, kalau epi menyerangku. Aku malu untuk memulai sebuah hubungan baru dengan mereka. Akibatnya, aku hanya diam saja di kelas. Kalau waktu istirahat tiba, aku tidak berkumpul dengan anak-anak lain atau pergi ke kantin. Aku cuma duduk, baca-baca, dan membolak-balik buku pelajaran. Jika aku benar-benar bosan, aku akan ke luar kelas dan berkeliling sekolah sendiri, sampai waktu istirahat selesai. Aku benar-benar merasa sepi dan sendiri.

Hal yang aku takuti pun akhirnya terjadi juga. Saat itu sedang ada pelajaran matematika di kelas. Serangan kejang dating di waktu pelajaran di kelas.Tiba-tiba tubuhku kejang-kejang, tanganku bergerak-gerak tak beraturan. Meskipun aku masih dalam posisi duduk, air liur tetap saja keluar dari mulutku. Banyak teman yang kaget melihatku, tapi mereka hanya diam saja. Bahkan ada beberapa yang melihatku dengan ekspresi takut, bingung, dan mungkin ada juga yang malu untuk dekat dengan seorang yang memiliki epilepsi.

Ketika aku tersadar, aku melihat ke samping, dan teman sebangku-ku sudah tidak ada ditempat. Kucari dia, dan kutemukan dia ternyata sudah pindah ke bangku paling belakang.

“Ah, apa yang kukhawatirkan terjadi juga”, kataku dalam hati. “Satu  teman menjauhiku setelah ia melihatku kena serangan”.
“Ini benar-benar memalukan”
“Ya Tuhan, cukup sekali saja. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi”
“Satu reaksi dari teman baruku yang menjauhiku ini udah cukup! Aku udah tahu apa yang akan terjadi jika aku kena serangan lagi dan berada sebangku dengan teman baruku yang lain”
“Mereka akan menghindariku! Menjauhiku! Tak mau berteman denganku! Cukup sekali saja”

Tampak luar aku memang tenang. Tapi, tampak dalam, aku sedang mengalami konflik batin. Dan inilah kesalahanku berikutnya. Aku melakukan sebuah over-generalisasi terhadap suatu kejadian. Aku pun beranggapan bahwa reaksi semua orang kenalan baruku akan sama saat mereka melihatku kena serangan. Padahal setelah kusadari (walaupun terlambat), anggapan ini salah besar.

Setelah aku sadar dari serangan epi pertama di masa SMU, mejaku berantakan dan buku tulisku penuh dengan air liur.

“Aska....kamu baik-baik saja? Kamu kenapa? Kamu sedang sakit? Kamu kecapekan? Kamu setres? Kamu punya penyakit”, itu hanyalah sebagian dari pertanyaan yang diucapkan guru matematika seketika.

“Tidak apa-apa bu, ini cuma kejang biasa”, jawabku
“Tidak apa-apa gimana? Udah, kamu ke ruang UKS aja sana. Istirahat. Tidak usah ikut pelajaran dulu”

Aku hanya bisa menurut.Temanku lantas mengantarku dan aku diperiksa oleh dokter jaga. Tapi semuanya normal dan aku hanya disuruh istirahat. Karena aku tahu kondisi tubuhku, bahwa ini hanya sekedar kambuh sejenak dan akan kembali baik-baik saja, maka aku bilang ingin kembali ke kelas saja, dan ternyata diizinkan.

Dihindari teman-teman sekelas, aku pun jadi seperti anak yang tidak punya teman. Ya sudah. Saat itu yang aku pikirkan tujuanku ke sekolah bukan buat bergaul atau bermain, tapi buat belajar. Biar saja temanku sedikit, yang penting aku bisa pintar dan dapat nilai bagus. Toh, nanti setelah lulus aku juga tidak akan bertemu mereka lagi. Begitu pikirku. Setelah itu aku cuma fokus, bagaimana caranya bisa sekolah dengan baik dan bisa dapat rangking satu.

Suatu hari, guru matematika memberi lima soal yang harus dikerjakan di rumah. Nilainya nanti akan dimasukkan sebagai nilai tugas. Pertama melihat soal itu, aku sudah hampir menyerah dan putus asa. Sepertinya mustahil bisa kukerjakan. Akhirnya dengan sedikit rasa malu, aku minta tolong papa untuk membantuku. Papa mengajariku, bahkan beliau sampai ikut mengerjakan soal itu. Ya aku senang, dong.

Keesokan harinya, kukumpulkan kerjaanku (lebih tepatnya kerjaan papa) kepada guruku. Setelah semua tugas dari murid-murid terkumpul, guruku mulai memeriksa tugas kami. Saat itu guruku memberitahu bahwa ada seorang anak yang mendapat nilai 9,5. Serentak teman-temanku heran dan penasaran. Maklum, saat itu hampir semua teman sekelas tidak bisa mengerjakan soal itu.

Setelah dibagikan ternyata yang mendapat nilai itu adalah aku. Teman-teman sempat kagum, tapi hanya sejenak. Mungkin karena mereka menganggap ini hanyalah suatu kebetulan. Tapi bagiku, ini adalah suatu kemajuan. Walaupun sebenarnya, ada sedikit rasa malu dalam diriku karena yang mengerjakan tugasku sebenarnya adalah papa. Kejadian ini akhirnya menjadi sebuah motivasi bagiku untuk belajar lebih giat, agar teman-temanku tidak menganggap ini cuma satu kebetulan belaka.

Kejadian itu membuatku dan teman-teman memiliki suatu alasan untuk membangun hubungan kami kembali yang sempat renggang, karena aku menutup diri pasca kejadian serangan epi pertama kali.

“Wah Aska, kamu dapat nilai tertinggi di kelas”, ujar salah satu teman
“Kamu kok tidak ngasih tahu sih kalau bisa ngerjain”, teman lain menambahkan
“Iya nih, tahu gitu kan, kamu bisa beramal ngasih contekan ke kami-kami ini. Membuat orang senang itu ibadah dan dapat pahala lhooo”, satu teman bisa mencairkan suasana di antara kami

“Ajarin donk, kenapa jawabannya bisa x+4 ?”

Aku pun dengan senang hati menyambut kehangatan teman-teman.

“Gini ...persamaan pertama dikuadratkan, lalu dibagi 5. Nilai x yang ini menjadi negatif, sesuai persamaan, dan.......”, aku bisa menjelaskannya berkat bimbingan dari papa.

Beberapa hari kemudian diadakan ulangan matematika. Aku merasa harus belajar serius agar dapat nilai tinggi. Ini adalah ulangan, jadi semuanya tergantung aku, bukan pada papa. Aku pun giat belajar, sehingga bisa mengerjakan soal ulangan dengan baik. Aku malu, jika aku tidak dapat nilai yang bagus, itu berarti bahwa teman-teman akan tahu bahwa nilai tugasku yang menjadi nilai tertinggi di kelas itu hanyalah sebuah kebetulan semata karena aku dibantu oleh orang lain dalam mengerjakannya.

Besoknya, aku tunggu guru matematikaku, saking ingin tahunya dapat nilai berapa. Benar-benar aneh! Padahal dulu, aku tidak pernah ingin tahu hasil ulanganku, apalagi ulangan matematika. Tapi kenapa sekarang malah jadi sebaliknya? Mungkin karena aku merasa sangat optimis akan mendapat nilai sembilan atau malah sepuluh. Guruku pun datang, beliau cuma bilang kalau hasil ulangan belum bisa dibagikan, tapi sudah ada anak yang mendapat nilai sembilan. Wah, jangan-jangan aku nih.... Ini membuatku jadi tambah penasaran. Akhirnya hasil ulangan dibagikan. Ternyata benar. Akulah anak yang mendapatkan nilai sembilan itu. Aku benar-benar senang. Saat itu pula, kelas mulai heboh karena rata-rata anak sekelas tidak dapat nilai setinggi itu.

Semenjak kejadian itu teman-teman mulai mendekatiku. Walaupun mungkin mereka terkadang masih merasa  malu untuk dekat dengan orang yang punya epi, apalagi  bila melihat epi menyerangku. Namun seiring dengan berjalannya waktu, mereka mulai terbiasa dan bisa menerima kondisiku secara perlahan-lahan. Aku tidak pernah tahu juga tidak pernah melihat, tapi katanya, saat penyakitku kambuh, seketika mereka langsung teriak, ”Tisu...tisu....”. Mereka memberiku bantuan tisu untuk membantuku membersihkan air liurku yang selalu keluar di saat serangan muncul.

Mungkin kemampuanku bisa menutupi kelemahanku. Dengan adanya kemampuan dalam bidang pelajaran tertentu, aku jadi lebih dihargai oleh teman-teman. Teman-teman yang mendekatiku ada yang ingin diajari mengerjakan soal, minta contekan, bahkan ada juga yang selalu memintaku mengerjakan soal untuknya. Aku ingat, dulu biasanya sehari sebelum ada ulangan matematika, teman-temanku selalu minta bocoran soal dari anak kelas lain, kemudian mereka akan memintaku untuk mengerjakannya. Ya...ini memang bukan tolong menolong dalam hal yang positif. Tapi bagiku ini penting untuk membina hubungan persahabatan. Lagi pula, aku tidak rugi, toh, aku juga mendapat bocoran soal. Meskipun lebih sering soal yang diberikan keesokan harinya tidak sama.

Pengalamanku bersama pelajaran matematika akhirnya membuatku termotivasi untuk mempelajari pelajaran yang lainnya. Aku dulu selalu menilai bahwa bila aku tidak pintar, maka teman-temanku sekelas akan menjauhiku, apalagi ditambah kondisiku sebagai ODE. Maka aku berpikir bahwa jika aku pintar matematika, maka teman-temanku pasti akan mau berteman denganku karena mereka akan lebih menghargai kemampuanku daripada memikirkan kekuranganku sebagai ODE. Dan ternyata memang begitulah kenyataan yang aku dapatkan. Ini semua membuatku berpikir bahwa jika aku bisa melakukan hal tersebut pada pelajaran matematika, tentunya aku pasti juga bisa melakukan hal yang sama pada pelajaran lainnya.

Akhirnya aku pun jadi lebih bersemangat untuk belajar semua mata pelajaran. Tidak lupa setelah belajar, dan menghafal materi pelajaran, aku terapkan relaksasi otak yang telah diajarkan kepadaku tahun lalu. Hasilnya, di pagi hari saat sekolah, aku bisa mengingat semua materi pelajaran, dan ini membantu untuk mengerjakan soal ulangan. Aku pun mendapat nilai tertinggi pada beberapa mata pelajaran, sampai akhirnya aku meraih rangking 1 pada kelas 1. Ini membuatku lebih percaya diri untuk bergaul dengan teman-teman.

Bersama teman-teman masa SMA saat reuni tahun 2007

Keakraban yang terjalin antara aku dan teman-teman sekelasku akhirnya memberiku sahabat-sahabat. Bahkan sampai saat ini hubungan persahabatan itu masih terjalin. Dua orang sahabat terdekatku yang selalu menolongku dan merawatku jika epi menyerang di sekolah, sekaligus sahabat tempatku saling berbagi adalah salah satunya adalah Didied.

Awal perkenalanku dengan Didied berawal dari nilai matematikaku yang bagus. Walaupun motif awalnya adalah minta contekan, tetapi itu menjadi sebuah awal persahabatanku dengannya sampai detik ini.

Suatu hari aku pernah bertanya pada Didied, “Apa sih yang kamu lakuin pas aku kena serangan?”

“Yaaa....ngasih tisu buat nolong kamu lah!, kalau perlu bikin heboh sekelas terus teriak minta tisu”

“Terus perasaanmu sendiri waktu nolong aku? Malu?”

“Ya”

Jawaban singkat yang langsung menusuk hati. Benar-benar tusukan yang mendalam. Aku pun terdiam. Terdiam. Tidak tahu harus berekspresi seperti apa.

“Aku malu......”, Lanjutnya


Dan ia menambahkan, “Aku malu kalau tidak bisa menolong kamu”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar