Minggu, 14 Mei 2017

#39 Teman Yang Tidak Terlihat



Hujan deras turun sejak semalam, bahkan sepertinya pagi ini hujan semakin deras. Ingin rasanya ini terjadi di hari libur. Sayangnya ini adalah hari kerja. Aku tetap harus bangun pagi dan bersiap kerja. Setelah selesai sarapan dan mandi, aku lihat hujan deras masih turun.

Tiba-tiba aku dapat message dari mobile chatt, menyebutkan bahwa kantorku diliburkan pada hari itu karena situasi banjir di sekitar kantor. Di satu sisi aku senang karena artinya hari itu aku libur, tetapi di sisi lain juga mempertimbangkan bahwa kerjaanku esok hari pasti menumpuk.  Apapun itu, nikmati saja.

Aku pun berencana untuk melaksanakan latihan di gym. Sudah sekian bulan belakangan ini aku mulai rajin latihan di fitness center. Berawal dari rasa sesak nafas dalam dada yang sering muncul tiba-tiba, aku coba melawannya dengan banyak berolah raga.  Alhamdulillah sekarang rasa sesak itu sudah hilang, tubuhku makin fit, dan setiap malam bisa tidur lebih nyenyak.

Sebenarnya sejak kemarin aku sudah berjanji untuk bertemu dengan keluarga ODE (orang dengan Epilepsi) saat lunck break. Tetapi ternyata hari ini kantorku libur dan aku berencana ke fitness center. Oleh karena itu aku ubah lokasi pertemuannya menjadi ke sebuah rumah makan di seberang fitness center.

Saat itu aku sedang menikmati makan siang. Tiba-tiba aku didatangi oleh 4 orang, yang terdiri dari bapa, ibu, dan 2 anak. Mereka memperkenalkan diri kepadaku dan menyebutkan bahwa salah satu anaknya adalah ODE dan sudah dioperasi. Anak tersebut adalah laki-laki berusia sekitar 8-10 tahun.

“Nak, ini lho Mas Aska, yang sering Papa ceritakan”, kata sang Ayah membuka pembicaraan

Aku lihat sepintas wajah si Anak, dia tampak melihatku sesaat, lalu kembali menundukkan kepala

“Mas Aska ini juga punya epilepsi, dan sudah operasi. Kondisinya sama sepertimu”

“Iya, saya juga seorang ODE”, kataku

“Mas Aska ini walaupun memiliki epilepsi, tetapi tetap percaya diri, dan bisa beraktivitas bersama teman-temannya”, kata sang Ayah

“Iya tapi Mas Aska sudah bebas serangan kan?, Nih aku kadang-kadang masih kena serangan”, kata si anak membuka pembicaraan

“Kenapa sih harus aku yang kena serangan? Teman-teman bisa beraktivitas olah raga, ikut kegiatan pramuka, bisa aktif berorganisiasi tapi aku?”, tambah dia

Baru saja aku mencoba menjawab pertanyaannya, dia sudah memberikan keluhannya terlebih dahulu
“Aku malu bergaul dengan teman-teman kalau masih kena serangan. Cuma jadi bahan tontonan saja saat aku kena serangan”, kata dia sambil menundukkan kepala

“Iya, saya sekarang masih sama seperti kamu kok. Masih ada kemungkinan saya mengalami serangan kejang”, jawabku sambil mencoba berempati kepada nya

“Iya, tapi kenapa aku? Apa salahku? Kenapa aku yang harus punya epilepsi? Kenapa bukan teman-temanku?”

“Sekarang saya tidak bisa menjawabnya. Tapi saya percaya bahwa suatu saat kamu akan tahu jawabannya. Mengapa kamu harus menjadi ODE”, jawabku

“Iya nak, percayalah suatu saat kamu akan tahu jawabannya”, ibunya mencoba menguatkan mentalnya

“Tapi kan teman-teman malu jika memiliki teman seorang ODE. Epilepsi itu memalukan. Tidak ada yang mau berteman akrab denganku”, jawab dia.

Sebenarnya aku ingin menyampaikan pesan bahwa terkadang persepsi negatif itu berasal dari diri kita sendiri. Teman-teman sebenarnya ingin menolong, tetapi mereka tidak tahu caranya, mereka takut berbuat salah. Kita cenderung menutup diri, dan tidak mau bercerita kepada teman tentang tips pertolongan pertama saat serangan kejang. Memang ada teman yang menjauhi kita, tapi bisa saja itu respon awal ketika mereka tidak memahami epilepsi. Ketika mereka sudah memahami, maka mereka bisa berteman dengan kita. Dan juga tidak semua teman akan menjauhi kita karena faktor epilepsi. Inilah value yang aku dapatkan dari pengalamanku. Terutama pengalaman kejadian di China saat aku harus menolong teman ODE yang terkena serangan. Saat itu penduduk dan polisi lokal menatapku dengan penuh kecurigaan, tanpa bisa memahami penjelasanku dalam bahasa Inggris (Cerita detailnya ada di sini)

Tetapi bagaimana caranya menyampaikan message ini kepada anak kecil dan anak usia remaja awal? di mana semua fokusnya adalah rasa percaya diri, eksistensi diri, dan identitas diri. Maka dia akan selalu bertanya, “mengapa harus aku yang hidup sebangai ODE?”

Sesuai tindakan di usia remaja awal, di dalamnya ada pemberontakan, protes terhadap kondisi diri, serta tidak mau mendengarkan perkataan orang tua. Itulah sebabnya orang tuanya meminta bantuanku untuk berbicara dengannya.

Aku mencoba untuk membantu dia melakukan aktualisasi diri sebagai remaja. Cara yang paling aman bagi ODE adalah dengan menulis seperti aku lakukan. Menulis untuk mengekspresikan segala macam bentuk emosi dan pendapat. Serta dapat disahre melalui social media sebagai sarana eksistensi diri. Dia menyambut baik saranku ini.

Pengalaman ini membuatku tertarik untuk mencari cara yang tepat dalam menghadapi ODE anak/remaja. Bagaimana caranya menanamkan sebuah value kepercayaan diri ataupun persahabatan kepadanya, dengan cara yang dia sukai. Selama ini aku selalu menghadapi ODE dewasa/tua atau orang tua dari ODE.

Akhirnya aku mendapat jawabannya dari Sofia. Sofia memberiku pengalaman tentang bagaimana caranya menanamkan sebuah value kepada anak. Memang benar adanya peribahasa Semut di seberang lautan tampak. Gajah di pelupuk mata tak tampak.

Jika sebelumnya aku menghadapi ODE teenager, maka sekarang aku berhadapan dengan threenager bernama Sofia yang saat ini memang berusia 3 tahun.

***

Istilah “threenager” muncul dalam masyarakat, karena menilai bahwa perilaku anak berusia 3 tahun saat ini sudah mirip seperti perilaku anak remaja, di mana di dalamnya ada perilaku protes, tidak mau mendengarkan, tidak mau fokus, galau (tadi maunya A, sekarang maunya B), dll. Itulah Sofia saat ini.

Sejak beberapa bulan yang lalu Sofia tiba-tiba suka dengan film Totoro. Film ini berasal dari Jepang, dan sudah ada sejak aku masih berusia seperti Sofia saat ini. Jadi ini salah satu film di masa kecilku.  Setiap saat dia mau nonton film Totoro. Bahkan saat ini, saat aku sedang menulis cerita ini, aku juga sedang nonton berdua dengannya.

Suatu malam dia bercerita suka dengan film ini

“Ayah, hari ini aku udah nontoh film Totoro 2 kali. Aku senang sekali”, kata dia

Belum sempat aku menanggapi, tiba-tiba dia sudah berkata lainnya

“Ayah aku takut tidur sendiri”, baru tadi dia ngomong emosi senang, sekarang ngomong emosi takut

“Takut kenapa?”, tanyaku

“Ayah, aku mau main sama teman-teman. Aku sedih kalau main sendiri”, lanjut dia

Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Seperti teenager yang galau, tadinya senang, lalu takut, dan sekarang sedih.

Aku mencoba menanamkan value kepadanya melalui gambar. Aku mencoba menggambar tokoh Totoro. Tetapi aku tidak menggambar dengan cara biasa. Aku lipat kertas terlebih dahulu sebelum menggambar, sehingga nantinya akan ada 2 versi gambar

“Sofi, lihat gambar ini. Gambar siapakah ini?”


Satsuki-chan, Mei-chan

“Mereka sedang apa?”

“Mereka sedang berdiri sendiri menjemput bis ayahnya”

“Mereka memang terlihat sendiri. Tetapi sebenarnya mereka tidak sendiri.Coba kamu buka kertas ini”


“Iya yah, mereka ditemani Totoro”

“Iya nak, terkadang kita tidak melihat bahwa ada teman yang sangat mendukung kita di samping kita. Yang kita lihat adalah teman yang kita jauhi karena memusuhi kita. Sofia juga sebenarnya nggak sendiri. Jadi jangan takut ya”

“Iya yah”

ODE juga tidak pernah melihat bahwa ada teman disekitarnya yang menolongnya saat dia sedang mengalami serangan kejang. ODE memang tidak melihatnya karena dia tidak sadar saat sedang kejang. Bisa juga ODE tidak mau “melihatnya”

***

Di hari berikutnya, aku beri dia gambar ke 2.

“Ini gambar siapa nak? Lagi apa?”

Satsuki-chan dan Mei-chan sedang menanam biji-bijian. Tetapi masih jadi biji, belum bisa jadi pohon”

“Coba kamu buka lipatan kertas yang sebelah kanan”

“Wah, ada Totoro. Biji-bijinya bisa tumbuh jadi pohon yang tinggi”

“Iya. Sofi jangan sedih ya kalau keinginan Sofi belum bisa tercapai. Masih ada Ayah Bunda yang akan membantu. Kita bersama berusaha mewujudkan keinginan dan harapan kita”

Kesembuhan tidak bisa kita capai sendiri. ODE tidak hidup sendiri, banyak rekan-rekan sesama ODE dan juga para dokter yang mendukung. Aku dulu menilai bahwa sembuh itu mustahil. Sampai akhirnya aku mendapatkan informasi tentang epilepsi

***

Sepertinya ini menjadi ritualku bersama Sofi. Di hari berikutnya setelah melihat aku selesai berbenah sepulang dari kantor, dia menagih gambar berikutnya

Aku mulai menggambar lagi.



“Sofi gambar apa ini?”

“Susu-Atari. Kok cuma 1 yah? Biasanya kan banyak”

“Iya, coba kamu buka kertasnya”

“Wah iya banyak”

“Sofia, sekarang mungkin kamu cuma punya 1 teman. Tetapi sebentar lagi saat kamu mulai sekolah, kamu akan punya banyak teman”

ODE tidak sendiri. Jika kamu berani untuk membuka diri. Maka kamu akan bertemu teman-teman ODE yang lain. Jangan lupa juga untuk bersahabat dengan epilepsi itu sendiri.

***

Terima kasih Sofia, atas pelajaran yang kau berikan padaku. Gambar dapat membantu kita sebagai sarana untuk mengekspresikan emosi sekaligus menyampaikan pesan kepada teman-teman.

Jika kita mau melihat lebih dalam lagi, maka kita bisa melihat teman-teman kita yang tadinya tidak terlihat itu. Semoga ini bisa membantu rekan-rekan ODE untuk bisa melihat lebih dalam lagi, bahwa masih banyak teman-teman yang peduli dengan epilepsi. Dan kita harus lebih percaya diri lagi untuk hidup dengan epilepsi.


"Ayah sudah malam, tidur yuk?"

"Iya nak, bentar ya, Ayah tinggal upload tulisan ini di blog"

"Sofi mau tidur sendiri?"

"Sofi mau punya kamar sendiri, tapi tidurnya sama ayah ya" 

"Iya, nanti kalau sudah besar kamu tidur sendiri ya. Mungkin rasanya hanya tidur sendirian, tetapi sebenarnya ada Ayah Bunda yang menemani dan mengawasi saat kamu tidur. Mungkin kamu tidak akan melihat kami, karena kamu sedang tidur"

1 komentar:

  1. Play Slots, Live Casino & Table Games - Mapyro
    Play Slots, Live Casino 포항 출장마사지 & Table Games at Mapyro! 문경 출장샵 Find your way around the 양산 출장마사지 casino, find where everything 안산 출장안마 is located 서귀포 출장안마 with a map.

    BalasHapus