Minggu, 31 Januari 2016

#16 Target operasi: pembedahan dan pengangkatan bagian otak yang menjadi sumber kejang epilepsi

Hari Minggu tanggal 11 Maret 2007 adalah hari yang tak terlupakan buatku. Di hari itulah sebuah harapan yang besar untuk sembuh muncul. Di hari itulah operasi bedah syaraf dalam rangka penyembuhan epilepsi akan dilaksanakan. Sesuai rencana, operasi akan berlangsung  sekitar enam jam, dan akan dimulai pada pukul 8 pagi.

Aku bangun pada waktu subuh dan sulit untuk tidur kembali. Pikiranku sudah melayang kemana-mana. Banyak hal yang melintas dalam pikiranku, mulai dari pengalaman pertama terkena serangan kejang epilepsi, rasa malu hidup sebagai ODE, sebuah kecelakaan mobil yang hampir merenggut nyawaku, sampai akhirnya sebuah harapan untuk sembuh melalui operasi.

"Pagi Mas Aska", sapa seorang perawat laki-laki masuk ke dalam kamarku jam 6 Pagi


"Pagi", jawabku


"Wah, ternyata sudah bangun. Sudah nggak sabar ingin operasi nih kayaknya", kata perawat itu sambil bercanda


"Iya nih, udah nggak bisa tidur lagi sejak subuh. Btw, saya nggak sempat potong rambut nih kemarin. Ternyata kemarin waktu tes EEG saya kena serangan kejang hebat, dan butuh waktu lama untuk saya kembali sadar. Ketika sadar pun kepada saya pusing sekali"


"Iya tidak apa-apa. Paling ntar rambut Mas Aska dipotong seperlunya saja oleh dokter bedah. Harap maklum ya kalau potongan rambutnya jadi tidak modis. Maklum, yang potong kan dokter, dan rambut yang dipotong hanya sebagian rambut yang menutupi bagian kepala Mas Aska yang akan dibuka/dibedah saja"


"Iya deh, ntar kalau udah beres semua urusannya, saya akan mencukur habis rambut saya semua secara merata"


"Ok, kalau begitu sekarang Mas Aska silahkan mandi dan keramas terlebih dahulu. Setelah itu silahkan pakai baju warna hijau muda ini. Nanti saya akan kembali lagi ke sini untuk memasang saluran infus", pinta si perawat


Aku pun segera masuk ke kamar mandi. Aku bersihkan badanku dan rambutku berkali-kali, karena aku tahu dalam beberapa hari ke depan belum tentu aku sempat atau mampu mandi.


Melihatku keluar dari kamar mandi, mama langsung memanggil kembali perawat melalui telepon. Si perawat pun segera kembali ke kamarku.


"Nah, sekarang Mas Aska silahkan tidur dan akan saya pasang saluran infus. Setelah terpasang akan saya tinggal terlebih dahulu. Nanti sekitar jam 7:15 kita menuju ruang operasi ya. Pukul 7:30 Mas Aska sudah harus mulai dibius. Dokter anastesi sudah menunggu di ruang bedah"


Setelah infus terpasang, perawat pun keluar dari kamarku. Saat itu juga satu persatu keluargaku datang. Papa dan adikku Minda datang pertama, lalu kemudian diikuti rombongan keluarga besarku dari keluarga mama maupun dari keluarga papa.

Tepat pukul 7:15 perawat kembali datang. Dia minta aku pindah ke tempat tidur dorong, dan dia juga memimpin doa bersama keluarga besarku sebelum aku berangkat menuju ruang bedah.


Selesai doa, aku-di atas tempat tidur-mulai digiring ke luar kamar menuju ruang bedah. Saat itu aku lihat satu persatu keluarga besarku datang menghampiriku sambil menyampaikan berbagai macam pesan


"Aska, berdoa ya semoga operasinya lancar"


"Jangn takut, serahkan semuanya kepada Allah SWT"


"Sampai ketemu lagi sore ini setelah selesai operasi"


Dalam perjalanan menuju ruang operasi, aku selalu berdoa kepada Tuhan memohon yang terbaik. Aku meminta bahwa kalau memang Ia mengizinkan inilah saatnya aku sembuh, maka sembuhkan lah dengan rahmat-Nya. Terima saja apa pun yang akan terjadi Let It Be. Sesampainya di depan kamar operasi aku sempat mengucapkan ’goodbye’ pada keluargaku. Aku masuk ke dalam ruang bedah, dan keluargaku hanya bisa menunggu ku di luar ruang bedah

Begitu masuk di dalam ruang bedah operasi aku mulai merasa kedinginan, karena pakaian yang aku pakai itu tipis, apalagi selimut yang digunakan untuk menutupi tubuhku juga tidak tebal. Dokter anastesi pun datang dan memberikan suntikan kepadaku. Setelah itu, secara perlahan, aku mulai hilang kesadaran. Hilang...hilang...hilang...dan makin hilang....Dan operasi bedah syaraf otak pun dimulai.

Saat aku masih dalam proses bius, dr Zainal menemui papa dan mama di luar ruang bedah. Beliau mengatakan pada papa dan mama bahwa operasi akan berlangsung sampai sekitar pukul tiga sore.

Sepanjang hari itu Papa, Mama, Minda, keluarga besar, saudara-saudara, dan juga teman-teman rela menunggu berjam-jam di depan pintu ruang bedah operasi. Berbagai macam hal mereka lakukan selama menunggu operasiku. Ada yang diam sambil berdoa. Ada yang mengobrol. Ada yang sibuk membaca surat kabar ataupun buku. Bahkan ada yang justru malah tidur dengan santai. Semua aktivitas ini dilakukan untuk mengatasi rasa cemas yang muncul dalam diri mereka.



 


Siang hari, tiba-tiba ada seorang ibu-ibu dengan baju putih mirip perawat mendatangi rombongan keluargaku. Sambil setengah berteriak dia memanggil nama papaku

“Pak Budi, yang namanya Pak Budi mana ya? Orang tua dari Aska Primardi yang sedang dioperasi”

Melihat hal itu, semua orang panik. Mereka mengira ada suatu hal buruk terjadi pada ku selama operasi. Dan ini ada seorang perawat yang datang memberi kabar

“Iya, saya Pak Budi, ayahnya Aska”

“Oh ini ya Pak Budi……”

“Iya, ada apa?”

Semua orang tak sabar menunggu penjelasan dari ibu-ibu ini

”Perkenalkan saya Ibu Joko, saya saudara jauh Pak Budi yang tinggal di Semarang. Hari ini saya dapat kabar kalau anak Pak Budi dioperasi, jadi saya sempatkan mampir ke sini untuk menengok sambil bersilaturahmi”

Jika kejadian ini digambarkan dalam sebuah komik, maka ekspresi orang-orang setelah mendengar penjelasan ibu Joko itu adalah terjatuh dan ada tulisan ‘Gubrak !’

Ternyata Ibu itu adalah saudara sepupu jauh Papa, dia bukan perawat. Kebetulan saja saat itu bajunya mirip perawat. Papa sendiri tidak tahu kalau ibu itu adalah saudaranya, karena sudah lama tidak pernah ketemu. Kejadian ini ketika diingat kembali, selalu diceritakan sebagai bahan lelucon dalam keluarga.

Satu-satunya hal yang aku ingat selama proses operasi adalah aku sempat melihat tubuhku terlentang di atas tempat tidur di dalam ruang bedah. Tiba-tiba aku menggigil kedinginan. Seluruh bagian tubuhku merasakan suhu yang sangat dingin. Aku pun berteriak, "dingin.....dingin.....". Perawat yang ada di sekitar ku pun langsung sigap menutupi tubuhku dengan selimut.

Secara keseluruhan aku sama sekali tidak merasakan sakit. Aku hanya merasa 'hilang' saja seperti saat aku tidur.

Akhirnya proses operasi selesai dan aku keluar dari ruang bedah pada sekitar pukul 4 sore. Saat itu, aku keluar dalam kondisi ada perban di bagian kepala sebelah kiri, tubuhku terlihat pucat, dingin, kaku, dan dengan mulut terbuka. 


Selain itu, dokter juga memperlihatkan bagian otak yang diangkat kepada keluargaku. Inilah bagian otak yang selama ini menjadi sumber masalah serangan kejang epilepsiku. Minda dengan sigap langsung mengambil foto bagian otak ku tersebut. Sebelumnya aku memang meminta Minda untuk mengambil gambar apapun kejadian selama operasi.


 

Aku pun segera dibawa ke dalam kamar dan saat itu aku masih belum sadar. 





Di dalam kamar mereka bercerita bahwa mama menyuapi aku dengan sesendok air selama berkali-kali karena melihat mulutku yang kering sekali. Mama juga mengganti pakaianku dibantu papa untuk membuat tubuhku lebih hangat, setelah delapan jam lamanya tubuhku diselimuti dengan suhu dinginnya AC.



Perlahan aku mulai sadar dan membuka mata sekitar pukul 6 sore. Namun di saat itu kepalaku masih terasa pusing sekali. Tidak ada rasa sakit atau nyeri di kepala. Yang ada hanyalah rasa pusing seakan kepala ini berputar-putar. Jadi di saat itu aku lebih memilih untuk melanjutkan tidur kembali. 

Selepas maghrib, saudara-saudaraku hendak pamit pulang, karena mereka harus kembali ke Yogyakarta untuk beraktivitas di keesokan hari (hari senin). Minda juga harus pulang bersama mereka karena keesokan harinya harus kembali masuk sekolah. Minda di saat itu sedang menempuh studi kelas 3 SMA, dan dia harus mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi UN beberapa bulan ke depan.


Mereka tetap pamit padaku walaupun aku masih dalam kondisi setengah sadar.  Sekitar pukul 10 malam, kondisiku mulai lebih baik. Aku mulai 100% sadar kembali, dan mulai bisa berbicara.  


"Aska...gimana rasanya?", tanya mama


"Rasanya kaya' bangun tidur mah. Tadi sih aku sempat dengar orang-orang ngomong di sini, tapi waktu itu rasanya belum mampu bangun. Sekarang rasanya kepalanya masih pusing kalau badan bergerak ataupun mau duduk. Jadi lebih enak dalam posisi tidur aja", jawabku


"Ya udah istirahat aja dulu. Tadi Minda dan saudara-saudara udah pamit pulang. Mama & papa juga bentar lagi mau ke hotel biar bisa istirahat juga", ntar kamu di sini ditemani 2 orang ini ya", kata mama sambil menunjuk arah ke 2 orang di samping mama yaitu Ghofir (sopirku) dan Didied (Sahabat SMA)


Malam itu aku lalui dengan pikiran dan perasaan hampa. Mungkin karena di saat itu aku mengalami rasa pusing yang hebat, serta disertai dengan kesulitan berpikir dan mengingat. Setiap peristiwa yang aku lihat di hari itu seakan hanya peristiwa yang lewat begitu saja. Aku tidak bisa melihat value dibaliknya, seperti rasa cinta dan peduli yang ditunjukkan oleh keluarga besarku.


Saat itu aku belum bisa memanggil ingatan masa lalu ku, ataupun berpikir tentang apa yang sudah aku lakukan di masa lalu. Yang aku ingat hanya kejadian masa kini saat operasi, dan juga kekhawatiran akan masa depan: akan kah aku menjadi orang bodoh yang tidak bisa berpikir dan mengingat di masa depan? Karena di saat itu aku benar-benar tidak bisa berpikir dan memanggil memori masa laluku.


Satu hal lagi, di malam itu perutku bagian bawah sakit sekali karena sudah 12 jam lebih aku belum buang air kecil. Ditambah lagi efek bius dan dinginnya ruangan sepanjang hari membuat ku sulit melakukan aktivitas buang air kecil. Seluruh tubuhku serasa kaku. Rasa sakit di bagian perut bawah semakin menyiksa, sampai akhirnya seorang perawat harus menolongku melakukan buang air kecil dengan bantuan sebuah selang. 

Kamis, 28 Januari 2016

#15 Izinkanlah aku merasakan serangan kejang epilepsi untuk terakhir kalinya #BerdoaDalamHati

Pada tanggal 9 Maret 2007, aku pergi ke Semarang untuk menjalani proses operasi. Tidak ada rasa takut karena aku harus berangkat menuju tempat operasi. Ada rasa haru, karena sebelum berangkat aku bertemu beberapa orang yang mendukungku untuk menjalani operasi itu. Bagiku itu adalah hal yang penting. Aku berangkat dari Yogyakarta sekitar pukul 8 pagi. Perjalanan menuju Semarang lancar dan aku sampai di Rumah Sakit  dr. Kariadi, sekitar pukul 12 siang.

Setelah selesai shalat Jumat, papa mulai melakukan pendaftaran administrasi dan aku menjalani berbagai macam tes. Tes-tes yang aku jalani antara lain tes melalui pengambilan darah, tes jantung, dan tekanan darah. Setelah itu kami diberi kamar nomor 302. Setelah itu papaku langsung pergi karena ada pertemuan urusan pekerjaan sampai malam. Di dalam kamar aku dan mama cuma bengong tidak ada kerjaan, karena pada hari ini yang perlu dilakukan cuma tes dan pendaftaran administrasi.

***

Hari Sabtu tanggal 10 Maret 2007, rencananya adikku Minda akan datang setelah pulang sekolah. Di hari itu pun, mama belanja bermacam-macam kebutuhan dan pertama kali kami bertemu dengan dr. Zainal Muttaqin sebelum operasi. Beliau cuma berpesan agar aku mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun mental untuk menjalani operasi besok. Beliau juga berpesan bahwa aku tidak perlu takut menjalani operasi, santai saja. 

"Operasi bedah otak ini termasuk kategori operasi ringan, sedang, atau berat dok?", tanya mama kepada dr Zainal

"Analoginya operasi kecelakaan biasanya berlangsung selama dua jam, operasi tumor otak yang parah bisa mencapai dua belas jam, sedangkan operasiku ini akan berlangsung selama lima sampai enam jam", jawab dr Zainal

Beliau juga menambahkan bahwa di hari sabtu ini aku tak perlu khawatir tentang proses operasi, karena acara hari ini hanyalah tes psikologi dan tes EEG ulang.

Di hari itu, beberapa rekan kerja papa datang untuk menjengukku. Di saat kami sedang ngobrol, tiba-tiba seseorang psikolog yang akan memberiku tes psikologi masuk ke dalam kamarku. Aku harus menjalani tes psikologi sebelum operasi. Psikolog yang juga menjadi tester, sempat menjelaskan tentang instruksi dan cara mengerjakan tes. Dan aku cukup terkejut, ternyata aku sudah pernah mempelajari tes itu, bahkan dulu waktu kuliah aku menjalani praktikum dengan tes itu. Si tester memberi dua macam tes, yaitu tes intelegensi dan tes kepribadian. Semua tes itu pernah aku kerjakan dalam praktikum saat kuliah. Hanya saja dulu aku menjadi tester, dan kini aku menjadi testee. Tapi bagaimana pun juga, aku sudah tahu segala macam aturannya, dan akhirnya tester merasa tidak perlu memberi penjelasan karena aku bisa menjalani tes sendiri. Dari hasil obrolan dengan tester, aku tahu bahwa ia adalah seniorku yang sama-sama belajar di Fakultas Psikologi UGM.

Setelah menjalani tes psikologi, kegiatan yang harus aku jalani berikutnya adalah menjalani tes EEG ulang dengan syarat, serangan kejang epilepsi harus datang dan menyerangku di saat aku sedang menjalani tes. Tes EEG dijalani di sebuah laboraturium yang sama dengan minggu lalu. Saat itu aku dijemput oleh seorang perawat di kamar, kemudian pergi menuju lab dengan menggunakan kursi roda. Saat itu papaku ikut pergi menemaniku ke lab. Setibanya di lab, aku segera dipersiapkan untuk menjalani tes EEG. Dr Aris sudah menunggu di lab. 

"Kamu harus kena serangan kejang epilepsi ya saat alat tes sudah dipasang di kepalamu", pesan dr Aris.

"Iya, semoga serangan benar-benar muncul. Aku sudah melakukan beberapa hal sesuai instruksi dr Aris minggu lalu untuk meningkatkan probabilitas terjadinya serangan kejang", jawabku

"Apa saja yang sudah kamu lakukan?"

"Aku sudah mengurangi jam tidur. Beraktivitas sampai dini hari agar aku kelelahan hari ini. Aku sudah berhenti minum obat dalam 3 hari terakhir. Aku mengurangi belum makan siang supaya kelaparan. Aku sudah melakukan itu semua. Tapi kalau aku harus membuat pikiranku stress, sepertinya itu sulit. Aku terlanjur bahagia dengan adanya kemungkinan untuk sembuh ini"

"Ya sudah, kita lihat nanti bagaimana jadinya ya. Semoga kamu benar-benar kena serangan kejang dalam beberapa menit ke depan"

Kepalaku pun mulai ditempeli berbagai macam kabel oleh dr Aris. EEG ini berfokus pada 32 titik di kepala. 

Setelah semua kabel terpasang dalam kepalaku, aku pun mulai diminta untuk tidur sambil 'memanggil' serangan kejang. 20 menit pertama, serangan kejang tidak terjadi. Bahkan aura rasa takut pun tidak muncul. Aku terus berusaha

"Ayo dong takut", perintahku kepada diriku sendiri

"Takut terhadap apa? Dari tadi emosimu bahagia terus", bagian tubuhku yang lain seakan menjawab perintahku

Kemudian aku menambah konsentrasi dalam diriku agar serangan kejang epilepsiku bisa kambuh dan muncul. Sampai tiba-tiba terbesit ide dalam pikiranku untuk mencoba cara sebaliknya dalam memanggil serangan.

Aku sudah terlanjur bahagia. Jadi aku mencoba bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan yang dia berikan untuk sembuh, dan aku mengucapkan satu permintaan kepada-Nya dalam hati: 

“Ya Allah, aku sudah menjalani hidup bersama epilesi selama hampir 10 tahun. Dalam beberapa bulan belakangan ini, Engkau sudah membantuku untuk membuka mata, hati, dan pikiranku, sehingga aku bisa menangkap hikmah dibaliknya. Aku pun bisa bersahabat dengan epilepsi. Kalau memang ini adalah saatnya aku lulus dari ujian hidup dalam bentuk epilepsi ini, maka izinkan lah aku untuk merasakan serangan kejang untuk terakhir kalinya”

Setelah aku ucapkan itu, aku menyadari bahwa ada satu pemilik kekuatan besar di alam semesta ini yang mengatur segala hal dalam kehidupan manusia. Kesadaran ini membuatku merasa kecil dan takut. 

Beberapa saat kemudian, detak jantungku mulai meningkat, diiringi nafas yang sengaja aku atur agar tidak teratur. Dan aura rasa takut itu pun tiba-tiba muncul. Kekuatan aura itu masih kecil, dan aku terus ‘memanggil’ nya. Jika biasanya aku menolak aura itu, maka kali ini aku menyambut kedatangan aura itu. Detak jantung meningkat, rasa takut muncul semakin besar, dan tiba-tiba aku hilang kesadaran.

Saat aku tidak sadar, aku mengalami serangan kejang grand mal. Yaitu tipe kejang parah yang membuat bisa tubuhku akan terguling dari tempat tidur. Jika biasanya bentuk kejangku ringan, yaitu hanya kejang di tangan kanan saja, maka kali ini aku kejang di seluruh bagian tubuh. Para perawat bersama dr Aris pun lantas berusaha menahan tubuhku agar aku tidak terjatuh.

Ilustrasi serangan kejang yang terjadi saat tes EEG

Dokter pun berhasil merekam video gejala seranganku, dan juga amplitude gelombang otak di saat terjadi serangan melalui tes EEG. Bagian tubuhku yang pertama kali kejang adalah sisi kanan, baru kemudian diikuti oleh kejang di seluruh tubuh. Bukti ini terlihat dari rekaman video dan tes EEG. Dengan demikian dokterpun yakin 100% bahwa sumber kejangku ada di hippocampus otak kiri. Selaras dengan hasil tes MRI sebelumnya. 


Ini adalah serangan kejang yang hebat. Jauh lebih hebat dari serangan kejang ringan yang rutin aku alami. Aku membutuhkan waktu yang lama untuk kembali sadar. 

Ketika aku membuka mata, aku sudah kembali ke dalam kamar dalam kondisi pusing. Sangat pusing. Aku tidak mampu duduk, apalagi berdiri. Aku hanya bisa tidur menghadap ke atas. Kalau menghadap ke samping kiri atau kanan, maka kepalaku akan terasa pusing sekali.

"Tadi kamu kena serangan yang hebat. Biasanya kamu kena serangan tipe ini cuma 1-2 kali setahun. Sisanya serangan ringan dalam frekuensi yang sering", Papa membuka pembicaraan

"Iya pah, aku berhasil memanggil serangan kan?", ucapku sambil tersenyum

"Tapi masih pusing nih, jadi mau tidur aja dulu", aku menambahkan

"Ya udah tidur aja, ini udah maghrib. Kamu tidur aja sampai besok pagi. Besok harus bangun pagi untuk segala persiapan sebelum operasi", kata papa

Pengalaman ini mengingatkanku bahwa jika Tuhan sudah mengizinkan, maka segala hal pun dapat terjadi.

#14 "Otakmu akan dibedah, apakah kamu akan menjadi orang bodoh?"

Mungkin seharusnya aku takut untuk dioperasi. Operasi bedah itu adalah sebuah langkah yang mengerikan dan perlu dipertimbangkan masak-masak sebelum mengambil keputusan untuk dioperasi atau tidak. Apalagi ini soal operasi di bagian otak. Kadang aku juga sulit buat membayangkan operasi di otak. Untuk mencapai syaraf-syaraf otak aja, dokter harus membuka tengkorak. Belum lagi banyaknya syaraf-syaraf di otak yang mungkin sampai berjuta-juta jumlahnya. Gimana caranya dokter bisa menemukan syarafku atau bagian otakku yang bermasalah? Belum lagi soal resiko gagal?

Tapi ternyata keresahan ini tidak berlaku padaku, sebaliknya aku malah senang sekali. Aku tidak takut, bagiku itu adalah sebuah harapan besar untuk sembuh. Mungkin perasaan senangku ini muncul karena aku udah bisa berpikir positif tentang epilepsi. Kini aku percaya bahwa epilepsi itu adalah sebuah pemberian Tuhan yang dari luar nampak seperti kekurangan, tapi sebenarnya di balik semua itu epilepsi merupakan cara Tuhan mengajariku tentang pelajaran hidup. Aku memang ingin sembuh. Tapi semuanya tetap aku serahkan pada Tuhan. Jika operasiku ini gagal, itu berarti Tuhan masih ingin memberiku pelajaran-pelajaran hidup lagi. Tapi jika operasiku berhasil dan hidupku bisa terbebas dari gangguan epi, itu berarti aku sudah “lulus” dari pelajaran hidup-Nya tentang epilepsi untuk kemudian melanjutkan “studiku” dalam pelajaran hidup-Nya yang lebih tinggi lagi. Hanya itu yang ada di pikiranku dan aku pun mampu bersikap nothing to lose. Hidup ini jadi terasa jauh lebih nyaman tanpa beban.
***
Semakin dekat dengan masa-masa operasi, aku mendapat semakin banyak dukungan. Baik dari  dari keluargaku, saudara-saudaraku, temen-temenku, bahkan dari orang-orang yang selama ini tidak aku kenal dengan baik. Semua itu membuatku sadar akan kesalahan-kesalahanku selama ini. Selama ini aku selalu merasa ditinggalkan oleh orang-orang lain karena penyakitku ini, dan hanya orang-orang terdekatlah yang mau menemaniku.

Ketika mereka tahu kalau aku akan segera dioperasi, hal pertama yang mereka lakukan adalah mendukungku dan memberi doa restu supaya operasiku bisa sukses. Aku merasa jadi sangat bersalah pada mereka, ternyata mereka semua adalah orang-orang yang memiliki perhatian kepadaku. Mereka bukanlah orang-orang yang cuek dengan kondisiku.

Semalam sebelum keberangkatanku ke Semarang, aku berkumpul dengan temen-temen SMA. Perkumpulan kami berlangsung dengan meriah, penuh keakraban, bahkan berlangsung sampai dini hari. Dalam pertemuan itulah mereka memberikanku dukungan dan doa restu. Mereka adalah teman-teman yang sudah mengenal kondisiku apa adanya. Banyak sekali pertanyaaan-pertanyaan dari temen-temen yang membuatku jadi merasa terharu dan merasa bahwa teman Salah satunya adalah pertanyaan dari sahabatku yang bernama Ruth. 

"Aska..... ntar proses operasinya gimana sih?", tanya Ruth

"Dokter akan memotong & mengangkat sebagian kecil otak ku yang menjadi sumber kejang"

"Jadi...otakmu tidak akan utuh lagi dong?"

"Iya, karena ada bagian otak yang dipotong"

"Kalau begitu kamu ntar setelah operasi bakal masih ingat kita-kita nggak?", tanya si Ruth polos.

"Inget nggak ya......tergantung ingatan tentang kalian tersimpan di bagian otak sebelah mana. Kalau bagian itu yang diangkat, mungkin aku akan lupa kalian hehe..", jawabku setengah bercanda

"Jadi bakal bisa lupa ingatan atau amnesia?"

"Nggak lah. Mungkin yang akan sedikit hilang adalah ingatan jangka pendek. Tapi untuk ingatan jangka panjang tidak akan hilang. Aku tidak akan melupakan kalian semua", Jawabku penuh keyakinan

"Ok, mungkin kamu akan tetap ingat kita semua, tapi apakah lantas kamu menjadi bodoh?, sayang lho dulu kan kamu rangking 1 waktu kita di masa-masa SMA"

"Kalau soal itu sih kata dokter aku nggak bakalan jadi orang bodoh. Hanya sulit mengingat dan berpikir saja di awal pasca operasi. Tapi setelah dilatih lagi, kemampuanku mengingat dan berpikir kembali seperti semula, bahkan mungkin lebih baik"

"Iya deh....kita selalu berdoa semoga kamu bisa sehat bebas serangan"


Selain itu dukungan juga datang dari saudara-saudaraku yang ada di luar kota. Mereka memberikan dukungan baik secara langsung melalui telepon ataupun instant message

Hanya saja yang membuatku merasa aneh adalah saran beberapa orang agar aku sabar dan tabah dalam menjalani operasi. Seolah-olah operasi yang akan aku jalani ini adalah sebuah hal yang tidak mengenakkan. Padahal aku sendiri tidak merasa demikian. Aku justru  bersemangat menjalani operasi ini. Bagiku, ini adalah kesempatan yang besar untuk sembuh. 

Tapi tidak apa-apa jika mereka menilai seperti itu, yang penting adalah aku sangat berterima kasih atas segala dukungan dan doa restu mereka. Aku tidak bisa membalas apa-apa. Aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan akan membalas segala kebaikan dan doa mereka kepadaku, dengan hal yang sama, yaitu kebaikan dan anugerah-Nya.

Rabu, 27 Januari 2016

#13 Perintah dokter: "Kamu harus kena serangan kejang sekarang juga"

Aku ingin sekali secepatnya melakukan tes MRI ulang di Jakarta, supaya segalanya menjadi lebih jelas. Tapi ternyata aku harus menunda kepergianku ke Jakarta sampai sekitar dua minggu lebih. Seperti yang kita ketahui saat itu terjadi banjir besar di Jakarta selama dua minggu di awal bulan Februari 2007 yang mengakibatkan segala aktivitas jadi terbatas. Ditambah lagi, rumah sakit tempat aku harus tes MRI itu ada di daerah Kelapa Gading, daerah terparah terkena bencana banjir. Ya sudah, mau tidak mau akhirnya aku menunggu.

Kepergianku ke Jakarta kutunda sekalian sampai acara wisuda yang jatuh pada tanggal 20 Februari 2007. Tidak terasa aku sudah lulus. Rasanya cepat sekali, sepertinya baru kemarin aku lulus SMU dan masuk kuliah. Inilah yang membuatku ingin segera sembuh supaya aktivitasku tidak terbatas lagi, tidak tergantung pada orang lain, tidak mengganggu orang lain, dan bisa membuatku lebih mandiri.

Tanggal 21 Februari 2007 aku berangkat ke Jakarta dan langsung menjalani tes MRI. Setelah hasil MRI di Jakarta keluar, aku sempat agak kecewa karena di surat penjelasan hasil MRI itu tidak menunjukkan apa-apa. Dan untuk orang awam hasil tes itu menunjukan kalau aku baik-baik aja. Tambahan penjelasan deskripsi menunjukkan bagian hippocampus otak kanan berukuran 13,5 satuan volume, dan bagian hippocampus otak kiri berukuran 10 satuan volume. Aku tidak tahu apa artinya itu, sama juga dengan kalau lihat gambar foto hasil MRI otak, aku tidak tahu artinya.
Tapi semua itu berubah seketika ketika aku ke Semarang dan ketemu Dr. Zainal pada tanggal 2 Maret 2007. Aku menemui beliau di RS dr Kariadi Semarang. Tanpa melihat surat deskripsi/interpretasi hasil tes, beliau langsung memberi tahu sumber masalah di otakku.

”Ini lho, yang bikin kamu sering kejang-kejang,” begitu katanya. Aku lihat sumbernya ada di otak kiriku. Di situ ada bagian yang mengecil kalau dibandingkan dengan bagian yang sama di otak kanan. Dan ternyata itu tertulis di surat deskripsi hasil tes, bahwa ukuran hippocampus otak kiri lebih kecil daripada hippocampus otak kanan (ukuran normal). Bagian hippocampus di otak kiriku itulah yang bermasalah, dan yang membuat aku jadi sering kena serangan sehingga memancing kambuhnya serangan kejang.


Beliau mengatakan bahwa hippocampus di otak kiriku mengecil, terus jadi keras, menebal, dan kering. Padahal semua bagian otak itu harusnya kenyal dan lembek seperti tahu. Bagian itu berfungsi untuk memori jangka pendek, tepatnya mentransfer memori jangka pendek menjadi jangka panjang. Karena bagian di otak kiri itu tidak berfungsi, makanya beban dialihkan ke otak kanan. Kalau begitu terus didiamkan maka akhirnya bisa gawat. Bisa-bisa nanti bagian otak kanan juga ikut kena penyakit.

Aku jadi mengerti, mungkin itu penyebab aku jadi  pelupa setelah mengalami serangan kejang epilepsi. Dulu waktu dapat serangan yang besar, bahkan sampai jatuh. Selama seminggu aku susah berpikir, berkonsentrasi, dan mengingat.

“Dari hasil MRI ini saya sudah yakin 90% bahwa penyebab kejangmu ada di hippocampus otak kiri. Saya sarankan untuk segera dioperasi, mumpung saat ini kamu sudah lulus kuliah jadi tidak memiliki kesibukan lagi. Kita akan angkat bagian otak ini. Tidak perlu khawatir untuk masalah kognitif atau memori, nantinya akan pulih lagi seperti semula. Bagaimana?”

”Ok dok, saya bersedia”, Jawabku dalam rentang 2 detik setelah dr Zainal bertanya. Aku tidak takut untuk operasi. Sejak beberapa bulan lalu aku sudah bersahabat dengan epilepsi. Kalaupun operasi ini gagal, yang berarti aku masih tetap mengalami kejang. Aku bisa menerimanya dengan lapang data. Aku tidak takut gagal. Jadi opsi ini perlu dicoba, siapa tahu operasi ini berhasil. 

”Bagus. Saya lihat kamu bersemangat. Kalau begitu, kita jadwal kan operasi 9 hari lagi tanggal 11 Maret 2007. Bagaimana? Kalau kamu mau tahu bagaimana proses selama operasi, silahkan nanti hubungi 2 pasien saya yang saat ini sedang rawat inap. Mereka baru saja dioperasi 3 hari lalu”, kata beliau sambil menuliskan nama dan nomor kontak kedua pasien tersebut dalam sebuah kertas kecil.

Beliau juga menambahkan,”Saat ini saya sudah yakin dengan letak sumber kejang dari hasil MRI ini, tapi masih 90%. Supaya saya bisa yakin 100%, saya minta kamu tes EEG lagi. Kali ini kamu harus terkena serangan saat tes EEG, supaya alat tes bisa merekam sumber kejang pada otak saat terjadi serangan. Kalau tidak percuma saja dilakukan EEG. Sama jangan lupa video rekaman saat serangan ya”

Di saat itu alat tes EEG di Indonesia masih belum secanggih saat ini. Alat tes EEG hanya bisa merekam aktivitas otak selama 30-60 menit. Jadi aku harus kena serangan kejang saat alat tes EEG menempel di kepalaku, agar alat ini bisa mendeteksi bagian otakku yang menjadi sumber kejang. Saat ini alat tes EEG sudah makin canggih. Seperti di luar negeri, alat tes EEG bisa dipasang di kepala selama sekian hari. Jadi kita cukup beraktivitas seperti biasa di dalam kamar rumah sakit selama sekian hari. Alat tes EEG merekam segala aktivitas otak kita, termasuk ketika kita mengalami serangan kejang mendadak.

Percakapan dengan dr Zainal ini hanya berlangsung 5 menit. Hanya butuh 5 menit bagiku untuk mengambil keputusan besar menjalani operasi. Saat itu papa yang mendampingiku diam saja menunjukkan pendapat setuju. Tetapi beberapa bulan kemudian papa baru bercerita bahwa saat itu papa sebenarnya khawatir. Tetapi melihatku bersemangat, maka kekhawatiran itu makin lama hilang.

Segera setelah bertemu dr Zainal, saat itu masih siang hari, aku langsung booking kamar rumah sakit untuk minggu depan, dan kemudian pergi menuju ruang tes EEG. Di dalam ruang tes, dr Aris Catur Bintoro Sp.S sudah mempersiapkan alat tes EEG dan video recorder untuk merekam serangan kejangku. Setelah selesai memasang alat tes, aku diminta tidur, dan ‘memanggil’ serangan. Ini adalah hal tersulit yang pernah aku lakukan. 




Ilustrasi Tes EEG (Electroencephalogram)

Aku sudah berusaha ‘memanggil’ tapi gagal. Yang ada adalah aku menjalani tes EEG dengan emosi positif. Aku bahagia, senang, dan bersyukur menyambut operasi. 

"Wah....ini sih susah memanggil serangan kejang-kejang. Kamu dari tadi senyum-senyum terus sih. Bisa nggak kamu sekarang sedih atau marah gitu? Supaya serangan kejang bisa muncul?", dr Aris meminta

"Susah dok kayaknya. Emosi terlanjur bahagia mendapat peluang sembuh lewat operasi", kataku

Dr Aris pun menyerah. Dia minta aku tes sekali lagi minggu depan saat sebelum operasi.  Dia minta aku bersungguh-sungguh ‘memanggil’ serangan. Jangan seperti hari ini dimana aku nampak seperti orang yang bahagia dan tidak punya masalah. Ternyata faktor emosi dan psikologis sangat berperan dalam ‘pemanggilan’ serangan.


Aku kemudian pulang ke Yogyakarta sambil menunggu dan mempersiapkan diri menjelang operasi. dr. Zainal mengatakan bahwa tanggal 9 Maret 2007 aku harus sudah masuk ke RS tempat operasi yaitu Rumah Sakit  dr. Kariadi Semarang untuk menjalani segala macam tes sebelum berjalannya operasi bedah otak.

Minggu depan adalah salah satu momen bersejarah dalam hidupku.....