Minggu, 31 Januari 2016

#16 Target operasi: pembedahan dan pengangkatan bagian otak yang menjadi sumber kejang epilepsi

Hari Minggu tanggal 11 Maret 2007 adalah hari yang tak terlupakan buatku. Di hari itulah sebuah harapan yang besar untuk sembuh muncul. Di hari itulah operasi bedah syaraf dalam rangka penyembuhan epilepsi akan dilaksanakan. Sesuai rencana, operasi akan berlangsung  sekitar enam jam, dan akan dimulai pada pukul 8 pagi.

Aku bangun pada waktu subuh dan sulit untuk tidur kembali. Pikiranku sudah melayang kemana-mana. Banyak hal yang melintas dalam pikiranku, mulai dari pengalaman pertama terkena serangan kejang epilepsi, rasa malu hidup sebagai ODE, sebuah kecelakaan mobil yang hampir merenggut nyawaku, sampai akhirnya sebuah harapan untuk sembuh melalui operasi.

"Pagi Mas Aska", sapa seorang perawat laki-laki masuk ke dalam kamarku jam 6 Pagi


"Pagi", jawabku


"Wah, ternyata sudah bangun. Sudah nggak sabar ingin operasi nih kayaknya", kata perawat itu sambil bercanda


"Iya nih, udah nggak bisa tidur lagi sejak subuh. Btw, saya nggak sempat potong rambut nih kemarin. Ternyata kemarin waktu tes EEG saya kena serangan kejang hebat, dan butuh waktu lama untuk saya kembali sadar. Ketika sadar pun kepada saya pusing sekali"


"Iya tidak apa-apa. Paling ntar rambut Mas Aska dipotong seperlunya saja oleh dokter bedah. Harap maklum ya kalau potongan rambutnya jadi tidak modis. Maklum, yang potong kan dokter, dan rambut yang dipotong hanya sebagian rambut yang menutupi bagian kepala Mas Aska yang akan dibuka/dibedah saja"


"Iya deh, ntar kalau udah beres semua urusannya, saya akan mencukur habis rambut saya semua secara merata"


"Ok, kalau begitu sekarang Mas Aska silahkan mandi dan keramas terlebih dahulu. Setelah itu silahkan pakai baju warna hijau muda ini. Nanti saya akan kembali lagi ke sini untuk memasang saluran infus", pinta si perawat


Aku pun segera masuk ke kamar mandi. Aku bersihkan badanku dan rambutku berkali-kali, karena aku tahu dalam beberapa hari ke depan belum tentu aku sempat atau mampu mandi.


Melihatku keluar dari kamar mandi, mama langsung memanggil kembali perawat melalui telepon. Si perawat pun segera kembali ke kamarku.


"Nah, sekarang Mas Aska silahkan tidur dan akan saya pasang saluran infus. Setelah terpasang akan saya tinggal terlebih dahulu. Nanti sekitar jam 7:15 kita menuju ruang operasi ya. Pukul 7:30 Mas Aska sudah harus mulai dibius. Dokter anastesi sudah menunggu di ruang bedah"


Setelah infus terpasang, perawat pun keluar dari kamarku. Saat itu juga satu persatu keluargaku datang. Papa dan adikku Minda datang pertama, lalu kemudian diikuti rombongan keluarga besarku dari keluarga mama maupun dari keluarga papa.

Tepat pukul 7:15 perawat kembali datang. Dia minta aku pindah ke tempat tidur dorong, dan dia juga memimpin doa bersama keluarga besarku sebelum aku berangkat menuju ruang bedah.


Selesai doa, aku-di atas tempat tidur-mulai digiring ke luar kamar menuju ruang bedah. Saat itu aku lihat satu persatu keluarga besarku datang menghampiriku sambil menyampaikan berbagai macam pesan


"Aska, berdoa ya semoga operasinya lancar"


"Jangn takut, serahkan semuanya kepada Allah SWT"


"Sampai ketemu lagi sore ini setelah selesai operasi"


Dalam perjalanan menuju ruang operasi, aku selalu berdoa kepada Tuhan memohon yang terbaik. Aku meminta bahwa kalau memang Ia mengizinkan inilah saatnya aku sembuh, maka sembuhkan lah dengan rahmat-Nya. Terima saja apa pun yang akan terjadi Let It Be. Sesampainya di depan kamar operasi aku sempat mengucapkan ’goodbye’ pada keluargaku. Aku masuk ke dalam ruang bedah, dan keluargaku hanya bisa menunggu ku di luar ruang bedah

Begitu masuk di dalam ruang bedah operasi aku mulai merasa kedinginan, karena pakaian yang aku pakai itu tipis, apalagi selimut yang digunakan untuk menutupi tubuhku juga tidak tebal. Dokter anastesi pun datang dan memberikan suntikan kepadaku. Setelah itu, secara perlahan, aku mulai hilang kesadaran. Hilang...hilang...hilang...dan makin hilang....Dan operasi bedah syaraf otak pun dimulai.

Saat aku masih dalam proses bius, dr Zainal menemui papa dan mama di luar ruang bedah. Beliau mengatakan pada papa dan mama bahwa operasi akan berlangsung sampai sekitar pukul tiga sore.

Sepanjang hari itu Papa, Mama, Minda, keluarga besar, saudara-saudara, dan juga teman-teman rela menunggu berjam-jam di depan pintu ruang bedah operasi. Berbagai macam hal mereka lakukan selama menunggu operasiku. Ada yang diam sambil berdoa. Ada yang mengobrol. Ada yang sibuk membaca surat kabar ataupun buku. Bahkan ada yang justru malah tidur dengan santai. Semua aktivitas ini dilakukan untuk mengatasi rasa cemas yang muncul dalam diri mereka.



 


Siang hari, tiba-tiba ada seorang ibu-ibu dengan baju putih mirip perawat mendatangi rombongan keluargaku. Sambil setengah berteriak dia memanggil nama papaku

“Pak Budi, yang namanya Pak Budi mana ya? Orang tua dari Aska Primardi yang sedang dioperasi”

Melihat hal itu, semua orang panik. Mereka mengira ada suatu hal buruk terjadi pada ku selama operasi. Dan ini ada seorang perawat yang datang memberi kabar

“Iya, saya Pak Budi, ayahnya Aska”

“Oh ini ya Pak Budi……”

“Iya, ada apa?”

Semua orang tak sabar menunggu penjelasan dari ibu-ibu ini

”Perkenalkan saya Ibu Joko, saya saudara jauh Pak Budi yang tinggal di Semarang. Hari ini saya dapat kabar kalau anak Pak Budi dioperasi, jadi saya sempatkan mampir ke sini untuk menengok sambil bersilaturahmi”

Jika kejadian ini digambarkan dalam sebuah komik, maka ekspresi orang-orang setelah mendengar penjelasan ibu Joko itu adalah terjatuh dan ada tulisan ‘Gubrak !’

Ternyata Ibu itu adalah saudara sepupu jauh Papa, dia bukan perawat. Kebetulan saja saat itu bajunya mirip perawat. Papa sendiri tidak tahu kalau ibu itu adalah saudaranya, karena sudah lama tidak pernah ketemu. Kejadian ini ketika diingat kembali, selalu diceritakan sebagai bahan lelucon dalam keluarga.

Satu-satunya hal yang aku ingat selama proses operasi adalah aku sempat melihat tubuhku terlentang di atas tempat tidur di dalam ruang bedah. Tiba-tiba aku menggigil kedinginan. Seluruh bagian tubuhku merasakan suhu yang sangat dingin. Aku pun berteriak, "dingin.....dingin.....". Perawat yang ada di sekitar ku pun langsung sigap menutupi tubuhku dengan selimut.

Secara keseluruhan aku sama sekali tidak merasakan sakit. Aku hanya merasa 'hilang' saja seperti saat aku tidur.

Akhirnya proses operasi selesai dan aku keluar dari ruang bedah pada sekitar pukul 4 sore. Saat itu, aku keluar dalam kondisi ada perban di bagian kepala sebelah kiri, tubuhku terlihat pucat, dingin, kaku, dan dengan mulut terbuka. 


Selain itu, dokter juga memperlihatkan bagian otak yang diangkat kepada keluargaku. Inilah bagian otak yang selama ini menjadi sumber masalah serangan kejang epilepsiku. Minda dengan sigap langsung mengambil foto bagian otak ku tersebut. Sebelumnya aku memang meminta Minda untuk mengambil gambar apapun kejadian selama operasi.


 

Aku pun segera dibawa ke dalam kamar dan saat itu aku masih belum sadar. 





Di dalam kamar mereka bercerita bahwa mama menyuapi aku dengan sesendok air selama berkali-kali karena melihat mulutku yang kering sekali. Mama juga mengganti pakaianku dibantu papa untuk membuat tubuhku lebih hangat, setelah delapan jam lamanya tubuhku diselimuti dengan suhu dinginnya AC.



Perlahan aku mulai sadar dan membuka mata sekitar pukul 6 sore. Namun di saat itu kepalaku masih terasa pusing sekali. Tidak ada rasa sakit atau nyeri di kepala. Yang ada hanyalah rasa pusing seakan kepala ini berputar-putar. Jadi di saat itu aku lebih memilih untuk melanjutkan tidur kembali. 

Selepas maghrib, saudara-saudaraku hendak pamit pulang, karena mereka harus kembali ke Yogyakarta untuk beraktivitas di keesokan hari (hari senin). Minda juga harus pulang bersama mereka karena keesokan harinya harus kembali masuk sekolah. Minda di saat itu sedang menempuh studi kelas 3 SMA, dan dia harus mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi UN beberapa bulan ke depan.


Mereka tetap pamit padaku walaupun aku masih dalam kondisi setengah sadar.  Sekitar pukul 10 malam, kondisiku mulai lebih baik. Aku mulai 100% sadar kembali, dan mulai bisa berbicara.  


"Aska...gimana rasanya?", tanya mama


"Rasanya kaya' bangun tidur mah. Tadi sih aku sempat dengar orang-orang ngomong di sini, tapi waktu itu rasanya belum mampu bangun. Sekarang rasanya kepalanya masih pusing kalau badan bergerak ataupun mau duduk. Jadi lebih enak dalam posisi tidur aja", jawabku


"Ya udah istirahat aja dulu. Tadi Minda dan saudara-saudara udah pamit pulang. Mama & papa juga bentar lagi mau ke hotel biar bisa istirahat juga", ntar kamu di sini ditemani 2 orang ini ya", kata mama sambil menunjuk arah ke 2 orang di samping mama yaitu Ghofir (sopirku) dan Didied (Sahabat SMA)


Malam itu aku lalui dengan pikiran dan perasaan hampa. Mungkin karena di saat itu aku mengalami rasa pusing yang hebat, serta disertai dengan kesulitan berpikir dan mengingat. Setiap peristiwa yang aku lihat di hari itu seakan hanya peristiwa yang lewat begitu saja. Aku tidak bisa melihat value dibaliknya, seperti rasa cinta dan peduli yang ditunjukkan oleh keluarga besarku.


Saat itu aku belum bisa memanggil ingatan masa lalu ku, ataupun berpikir tentang apa yang sudah aku lakukan di masa lalu. Yang aku ingat hanya kejadian masa kini saat operasi, dan juga kekhawatiran akan masa depan: akan kah aku menjadi orang bodoh yang tidak bisa berpikir dan mengingat di masa depan? Karena di saat itu aku benar-benar tidak bisa berpikir dan memanggil memori masa laluku.


Satu hal lagi, di malam itu perutku bagian bawah sakit sekali karena sudah 12 jam lebih aku belum buang air kecil. Ditambah lagi efek bius dan dinginnya ruangan sepanjang hari membuat ku sulit melakukan aktivitas buang air kecil. Seluruh tubuhku serasa kaku. Rasa sakit di bagian perut bawah semakin menyiksa, sampai akhirnya seorang perawat harus menolongku melakukan buang air kecil dengan bantuan sebuah selang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar