Jumat, 27 Januari 2017

#36 Mari Fokus Pada Solusi, Bukan Pada Penyebab

Tiba-tiba aku teringat kejadian 9 tahun yang lalu. Saat itu aku masih kuliah S2 Psikologi, dan aku sedang berkumpul bersama teman-teman dan seorang dosen dalam sebuah sesi perkuliahan.

Siang itu kami membahas tentang bagaimana cara yang efektif untuk melakukan psikoterapi ataupun modifikasi perilaku untuk orang-orang yang bermasalah. Mulai dari masalah yang rumit, seperti bagaimana menghilangkan perilaku ketakutan pada orang dengan fobia ketinggian, sampai masalah yang simpel, bagaimana merubah perilaku masyarakat agar tertib lalu lintas, ataupun tidak membuang sampah sembarangan.

Kami membahas berbagai pendekatan dari berbagai aliran psikologi untuk menemukan cara yang cocok untuk merubah perilaku seseorang. Kemudian tiba saatnya setiap mahasiswa diminta untuk mempresentasikan sebuah solusi.

Dosenku sangat kritis dalam membahas materi presentasi kami. Kami selalu diminta untuk menjelaskan bentuk langkah konkritnya untuk merubah perilaku seseorang, tidak hanya sekedar membahas teorinya saja. Kami harus siap untuk segala kemungkinan terburuk, termasuk jika aplikasi terapi psikologis ini nantiya tidak dapat jalan sesuai teori yang ada. Kami diminta untuk berpikir kritis & kreatif sambil mengembangkan teori-teori terapi yang sudah ada.

Aku sadari bahwa ketika kami sudah mentok, dan tidak dapat menjawab lagi pertanyaan dosen, secara tidak sadar kami memberikan respon seperti ini:

“Ya terapi tipe ini belum tentu cocok untuk setiap orang”

“Semua kembali lagi ke pribadi masing-masing. Kalau dia mau merubah perilaku nya, pasti bisa berubah, kalau dia nggak mau merubah, ya tidak akan berubah”

“Tergantung orangnya. Kalau orang itu cuek, pasti dia tidak perlu takut lagi terhadap segala hal”

Atau ada juga yang menjawab seperti ini

“Kalau dia beriman dan bertakwa kepada Tuhan, dia akan diberi kemudahan untuk mengatasi rasa takutnya, karena dia percaya bahwa Tuhan selalu melindunginya”

Dan biasanya, dosenku akan marah jika mendengar jawaban-jawaban seperti ini. Ini seperti kita hanya coba menerapkan 1 teori lalu tidak berhasil, dan kami menyerah. Kalau dari dulu seperti ini, maka ilmu psikologi tidak akan berkembang.

Jawaban-jawaban tersebut sepertinya hanya jawaban pembelaan diri dari kami sebagai terapis. Si terapis tidak memberikan solusi kepada pasien untuk mengatasi permasalahannya. Dan seolah-olah menyalahkan si pasien jika terapinya tidak berhasil.

Apa jadinya jika semua psikolog bersikap seperti ini? Yang pasti mereka tidak dapat memberikan solusi kepada clientnya. Mereka menginterview client hanya sekedar untuk menilai apakah clientnya pemberani atau penakut saja. Padahal seharusnya mereka mewawancarai clientnya untuk memahami alasan takut, sehingga bisa mencari solusi yang pas untuk mengatasi rasa takut.

Inilah yang sampai sekarang masih kita lakukan. Secara tidak sadar terkadang kita memberikan judgement kepada ODE yang pemalu. Judgement ini aku dapatkan kemarin setelah aku memposting tulisan tentang epilepsi masih dekat dengan kata “malu”, “aib”.

Saat itu ada teman yang berkomentar, “Ah, tidak semua seperti itu. Itu kembali ke pribadi masing-masing. Kalau dia ODE yang nggak pede, pasti apa-apa jadi nggak pede. Dia jadi malu sebagai ODE. Tapi kalau dia cuek, berani, pasti dia tetap pede”.

Pertanyaannya: Apakah pernyataan tersebut memberikan solusi untuk mengatasi rasa malu pada diri ODE? Tampaknya tidak, karena pertanyaan tersebut hanya akan memberikan label ODE pemalu/penakut dan ODE pemberani saja.

Anyway, aku sangat berterima kasih kepada teman tersebut. Pendapat dia bisa menjadi sumber inspirasi tulisan ini.

Aku pun menjelaskan kepada teman-teman bahwa proses Focus Group Discussion (FGD) ini bukan hanya tujuan untuk mengenali siapa ODE pemberani dan siapa ODE penakut saja, tetapi juga untuk memahami hal-hal apa saja yang membuat takut, serta mencari solusi bagaimana untuk mengatasi rasa takut tersebut.

Karena ODE yang terlalu berani dan juga terlalu percaya diri juga tidak baik. Buktinya dari dalam FGD kemarin aku mendapat info bahwa ada juga ODE yang berhenti minum obat seketika setelah merasa percaya diri karena telah bebas serangan kejang selama sebulan. Dia dengan pedenya tidak minum obat dan tidak kontrol lagi ke dokter. Padahal dia tidak tahu bahwa epilepsi adalah sebuah gangguan kesehatan yang akan dialami seseorang dalam jangka waktu lama.

Dari hasil FGD pada tulisan-tulisan sebelumnya, kita tahu bahwa epilepsi tidak hanya berdampak pada kondisi fisik saja, tetapi juga pada kondisi sosial-psikologis. Bahkan kelompok laki-laki menekankan dengan jelas efek stress yang muncul akibat epilepsi.

Kira-kira apa ya solusi yang terbaik untuk mengatasi ganggauan epilepsi menurut mereka?

***

“Sekarang, silahkan kalian tulis jenis-jenis terapi apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi epilepsi. Bisa terapi medis, non medis. Bisa saja terapi yang pernah dilakukan ataupun belum pernah dilakukan”, perintahku

Mereka segera menulis satu per satu jenis terapi.

“Setelah itu tolong diurutkan dari atas ke bawah, dimana yang paling atas adalah terapi yang paling mudah dilakukan, dan yang paling bawah adalah yang paling sulit dilakukan”






Dari kelompok perempuan, terapi paling mudah adalah olah nafas, paling sulit adalah akupuntur. Terapi dokter/obat masuk ke dalam kelompok bawah (termasuk sulit dilakukan). Menurut mereka hal ini disebabkan karena mereka harus menemukan dokter yang cocok secara personal. Ini yang agak sulit.

“Saya pernah datang ke dokter, nggak diperiksa apa-apa. Antrinya lama, tapi masuk nya cuma sebentar. Dokter cuma tulis resep aja, terus selesai. Dokter tidak bertanya tentang kondisi”, kata 1 ODE perempuan

“Iya, saya juga gitu. Banyak bertanya malah dimarahin. Saya cuma di suruh minum obat aja. Gak diperiksa macam-macam. Setelah saya cek, pasien-pasien dia yang lain itu orang-orang tua, dan hampir semuanya memiliki masalah stroke. Jangan-jangan dia spesialis stroke ya, bukan epilepsi?”, ODE perempuan lain menambahkan

“Ada teman yang cerita kalau dia sudah sebulan sembuh dari epilepsi. Katanya dia cukup minum obat sebulan saja. Katanya dokter sudah tidak menyuruh dia datang lagi setelah sebulan minum obat. Saya yakin ini ada mis komunikasi dengan dokter”, kata ODE perempuan lainnya

“Intinya sih kita juga nggak suka ketemu dokter seperti itu. Kita nggak ingin hanya sekedar berobat saja, tetapi juga berkomunikasi. Mungkin dokter itu sibuk sehari menangani puluhan pasien”, tambah ODE lainnya

“Kalau sekarang apakah sudah ketemu dokter yang cocok?”, tanyaku

“Iya sudah, yah walaupun lokasi prakteknya jauh, kami di Bogor dia di Jakarta, tapi gak pa pa lah, yang penting cocok”, jawab mereka

Dari kelompok laki-laki, paling mudah adalah terapi bergaul, dan paling sulit adalah pengobatan psikologis. Lagi-lagi di sini kelompok laki-laki lebih menekankan pengobatan kondisi psikologis mereka, setelah diawal tadi mereka mengelompokkan epilepsi sebagai penyakit dengan dampak stress.

“Oke, berikutnya tolong urutkan kembali berbagai jenis terapi tersebut dari terapi yang membutuhkan budget besar sampai terapi dengan budget kecil”





Baik kelompok laki-laki atau perempuan senada untuk meletakkan terapi obat/dokter sebagai terapi teratas. Terapi obat/dokter adalah terapi yang paling paling mahal. Mereka menyadari bahwa kesehatan itu mahal harganya. Terlebih lagi mereka harus rutin membeli obat selama bertahun-tahun.

“Kemarin-kemarin kan sempat tuh obat generik anti epilepsi menghilang di pasaran, apa yang rekan-rekan lakukan menyikapi hal ini?” tanyaku

“Kami berkeliling apotik mencari sampai ketemu”, jawab satu ODE

“Terpaksa kami membeli yang bermerek (bukan generik)”, jawab ODE lain

“Ada cara lain?”, tanyaku

Satu ODE lain menjawab, “Kami berkoordinasi satu sama lain via whatsapp. Siapa yang menemukan obat anti epilepsi jenis apapun, memberi informasi kepada teman-teman lain via whatsapp. Kalalu memang perlu ya kami beli dulu, terus nanti dikirimkan kepada teman-teman yang membutuhkan. Jadi siapapun itu kalau menemukan obat anti epilepsi, di minta untuk memberi tahu teman-teman lain yang membutuhkan. Kalau perlu kami juga bekerja sama dengan ODE dari kota lain (diluar Jabodetabek)”.

Aku pribadi salut dengan kemandirian mereka dan kesadaran mereka untuk saling bekerja sama.

Satu hal lagi aku perhatikan dari kelompok laki-laki. Mereka menempatkan terapi “pengobatan psikologis” sebagai terapi no 2 termahal. Menurut mereka terapi psikologis harus dilakukan oleh seorang psikolog/terapis.

“Berikutnya tolong diurutkan dari atas ke bawah, dimana yang paling atas adalah terapi yang dinilai paling efektif mengatasi epilepsi, dan yang paling bawah adalah yang paling tidak efektif”




Dari kelompok perempuan, terlihat bahwa terapi paling efektif adalah obat/dokter, dan paling tidak efektif adalah dukun (mistis). Sedangkan dari kelompok laki-laki, terlihat bahwa terapi paling efektif adalah obat/dokter, dan paling tidak efektif adalah akupuntur.

Overall mereka sudah paham dan yakin bahwa terapi obat/dokter adalah yang paling efektif untuk mengatasi epilepsi. Seorang ODE perempuan juga becerita bahwa dia pernah menjalani terapi dukun. Tetapi ia menilai bahwa terapinya sama sekali tidak berhasil.

“Kenapa Anda mau pergi ke dukun?”, tanyaku

“Habis kata teman-teman itu bisa menyembuhkan. Dan cara dia untuk mengajak saya benar-benar menyakinkan”, jawab dia

“Apa yang dilakukan oleh dukun itu?”

“Dia memindahkan penyakit epilepsiku ke seekor kambing. Lalu kambingnya dipotong?”

“Memang benar pindah?”

“Enggak sih, buktinya aku masih kena serangan kejang setelah diterapi”

Aku cek jawaban kelompok laki-laki. Aku temukan jenis-jenis terapi yang sebenarnya mirip, tetapi mereka pisahkan dalam beberapa kertas, seperti terapi psikologis, bergaul, senyum, berkomunikasi. Semuanya adalah terapi psikologis.  Sedangkan “pengobatan psikologis” ada di rangking ke 3 paling efektif. Di kelompok perempuan, tidak ada satu terapi pun yang berhubungan dengan “pengobatan psikologis”

Sepertinya ini konsisten dengan sesi sebelumnya di mana kelompok laki-laki mengelompokkan penyakit berdasarkan dampak stress. Sekarang mereka banyak menekankan “pengobatan psikologis”.

Mengapa tidak demikian dengan kelompok perempuan?

Aku penah melakukan FGD lain pada konsumen laki-laki dan perempuan pengguna produk perawatan rambut. Saat itu aku tanyakan tentang kebiasaan mereka ke salon. Responden perempuan menceritakan alasan mereka ke salon yaitu untuk merawat rambut, kulit, wajah, dan tubuh mereka. Selain itu nyalon juga menjadi semacam aktivitas untuk memanifestasikan segala emosi dan perasaan mereka. Mereka bisa bertemu teman untuk ngobrol, bergosip, dll.  Sedangkan responden lak-laki, satu-satunya mahkota hanya rambut. Mereka biasa ke salon hanya untuk potong rambut saja. Setelah selesai langsung pulang atau pergi ke tempat lain. Jadi sepertinya tidak ada waktu untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan bersama rekan-rekan layaknya perempuan.

Jadi perkumpulan komunitas epilepsi sendiri sebenarnya juga sudah menjadi wadah terapi psikologis bagi ODE perempuan. Namun tidak demikian halnya dengan ODE laki-laki. Mereka lebih menekankan terapi psikologis dilakukan bersama psikolog atau terapis.

Sepertinya ODE laki-laki dan perempuan memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan permasalahan stress karena epilepsi. Secara umum, dalam budaya Indonesia masih berlaku masculine norms, di mana seorang laki-laki itu harus mandiri, independen, tidak emosional, serta dominan. Laki-laki juga adalah seorang kepala keluarga. Sedangkan dalam budaya barat sudah ada budaya kesetaraan gender.


Sekarang, bagaimana jika laki-laki itu adalah ODE? Bagaimana caranya mengobati rasa stress, malu, dan ketidakpercayaan diri mereka tanpa harus merendahkan harga diri mereka sebagai laki-laki? Inilah topik yang akan aku gali dalam sesi FGD berikutnya.

(BERSAMBUNG)

Kamis, 26 Januari 2017

#35 Epilepsi: Antara Gaya Hidup & Stress

#2 ODE perempuan mengklasifikasikan penyakit berdasarkan penyebabnya. Sedangkan ODE laki-laki mengklasifikasikan penyakit berdasarkan akibatnya.

“Oke teman-teman, sekarang kita memasuki pertanyaan kedua ya”, aku membuka pembicaraan

“Sekarang, tolong masing-masing kelompok tuliskan segala jenis penyakit yang diketahui”, perintahku.

Aku minta mereka bekerja sama dalam tim. Aku lihat mereka mulai menulis jenis-jenis penyakit apa saja yang mereka ketahui. Dari observasi terlihat bahwa tim perempuan lebih cepat bekerja daripada tim laki-laki. Tim laki-laki nampak lebih lama berpikir dalam menentukan jenis penyakit yang akan ditulis. Ada yang menjadi pertimbangan tim laki-laki? Aku harus menggali informasi tentang hal ini.

Berikut hasilnya.




“Silahkan kelompokkan penyakit-pemyakit tersebut dalam 2 atau 3 atau 4 kelompok. Terserah kalian. Tolong kelompokkan berdasarkan opini kalian. Jangan kelompokkan berdasarkan kelompok medis seperti penyakit menular atau tidak, penyakit syaraf atau bukan, dll. Kalau hal ini saya sudah tahu. Saya hanya tinggal baca buku kedokteran saja”, perintahku

Mereka nampak berpikir, lalu perlahan-lahan mulai mengelompokkan penyakit-penyakit tersebut ke dalam 2 kelompok.

Hasilnya, ODE perempuan mengelompokkan penyakit berdasarkan penyebabnya, yaitu penyakit yang disebabkan faktor genetik dan faktor gaya hidup.

Sedangkan ODE laki-laki nampak lebih complicated. Mereka mengelompokkan penyakit berdasarkan akibatnya, yaitu penyakit yang memiliki dampak besar pada faktor ekonomi tetapi dampak kecil pada stress, dan sebaliknya, penyakit yang memiliki dampak kecil pada faktor ekonomi, tetapi dampak besar pada stress.




“Oke, jadi masing-masing ada 2 kelompok penyakit ya. Sekarang tolong beritahu saya penyakit epilepsi masuk dalam kelompok mana?, tanya ku pada mereka

“Epilepsi, asma,  masuk ke dalam penyakit karena faktor genetik/alergi. Karena epilepsi itu muncul karena memang masalah di otak kita, biasanya karena faktor keturunan atau kecelakaan.  Sedangkan kanker, diabetes, itu karena faktor gaya hidup kita yang berlebihan. Terlalu banyak merokok, terlalu banyak makan/minum manis, dll”, jawab kelompok perempuan

“Jadi gaya hidup itu perlu diperhatikan atau tidak bagi ODE?”, tanyaku pada kelompok perempuan

“Iya perlu. Kalau bicara penyebab, epilepsi memang bukan penyakit karena gaya hidup, sehingga mungkin ini yang menyebabkan epilepsi itu kalah populer dengan diabetes, jantung, kanker, lupus. Tetapi sebenarnya, solusinya juga bisa berhubungan dengan gaya hidup. Misal kita set gaya hidup sehat pada diri kita untuk menghindari 5K (kelaparan, kecapekan, kepananasa, kedinginan, kepikiran)”

Oke, aku dapat insight dari tim perempuan. Untuk lebih efektif mensosialisasikan epilepsi pada masyarakat, kita harus sertakan epilepsi sebagai bagian dari gaya hidup kita.

Lalu aku tanya ke kelompok laki-laki. “Epilepsi masuk ke dalam kelompok ke dua, yang berdampak kecil pada faktor ekonomi, tetapi berdampak besar pada stress. Biaya pengobatan epilepsi tidak akan semahal pengobatan penyakit tumor, kanker, jantung. Tetapi dampaknya sangat besar terhadap stress”, jawab kelompok laki-laki.

Dari observasi nampak bahwa cara berbicara tim laki-laki tidak bisa lepas seperti tim perempuan. Tidak ada satu orang pun dari tim perempuan yang menyebutkan kata “stress”. Sedangkan hampir semua anggota tim laki-laki menyebutkan kata “stress”. Ada apa ini? Sepertinya masih banyak informasi yang harus digali dari tim laki-laki.

Nanti, dari beberapa pertanyaan berikutnya, aku akan mendapatkan informasi yang konsisten dari tim laki-laki, bahwa epilepsi memang berdampak besar pada kesehatan psikologis mereka.


(BERSAMBUNG)

Rabu, 25 Januari 2017

#34 Epilepsi masih dekat dengan kata “malu, minder, aib, takut”

Jumat Sore. Aroma weekend sudah menyelimutiku. Sore itu aku bersama istriku sempatkan diri untuk mengunjungi RSU Bunda Menteng. Aku ada janji dengan dr Irawaty Hawari Sp.S (ketua YEI) yang juga praktek di rumah sakit itu. Beliau meminta aku dan teman-teman lain yang pernah menjalani operasi, untuk datang bertemu dengan 3 ODE yang akan dirawat di RSU Bunda. Teman-teman tersebut rencananya akan dioperasi besok sabtu (2 orang) dan lusa minggu (1 orang).

Kami diminta untuk memberikan semangat kepada ketiga ODE tersebut. Kami datangi mereka ke kamar, sambil membawa energi positif untuk mendatangkan optimisme pada diri mereka bahwa operasi akan berjalan sukses. Aku jadi ingat, 10 tahun yang lalu aku berada di posisi mereka.

Aku buka percakapan dengan menceritakan proses operasi, apa yang aku rasakan, berapa lama proses, kapan aku benar-benar sadar, sampai akhirnya bagaimana proses mengembalikan kemampuan kognitif dan memori setelah operasi. Alhamdulillah, mereka tetap bersemangat untuk menjalani operasi.

Selepas Maghrib, aku lantas berpamitan dengan dr Ira. Aku tidak sempat bertemu dengan Prof dr Zainal Muttaqin yang akan mengoperasi ketiga ODE tersebut, karena beliau baru akan sampai Jakarta besok pagi. Jadi aku titip salam saja untuk beliau. Aku sudah sempat bertemu beliau bulan lalu ketika konfrensi nasional epilesi.

Aku bersama istri pun melanjutkan untuk dinner berdua, sebelum kembali ke rumah bertemu Sofia.

“Alhamdulillah ya Mas, mereka berani untuk menjalani operasi”, Istriku membuka pembicaraan ditengah kemacetan jam pulang kantor

“Iya, semoga nantinya proses pemulihan mereka pasca operasi juga berjalan lancar”, jawabku

Tiba-tiba aku terpikir suatu hal, “Kamu lihat gak, tadi waktu kita tanya-tanya, dia bisa bercerita banyak hal ya, mulai dari sekolah, pekerjaan, teman, dll”

“Iya, emang kenapa mas?”

“Berarti banyak ya informasi yang bisa kita gali dari para ODE. Selain itu berkomunikasi juga bisa menjadi terapi bagi mereka untuk mengekspresikan segala emosi positif dan negatif mereka”

“Iya, so...?”

“Selama ini informasi yang kita dapatkan lewat kuesioner kualitas hidup rasanya kurang dalam. Bagaimana kalau kita bikin studi kualitatif yuk? Kita bikin FGD (focus group discussion) untuk mengali informasi lebih dalam. Tapi di dalamnya nanti aku juga aku tambahkan semacam terapi psikologis kelompok bagi mereka untuk membantu mereka fokus pada hal-hal baik dalam menjalani hidup sebagai ODE”

Aku tambah, “Kemarin aku sempat kirim report aktivitas YEI 2016 kepada IBE (International Bureau of Epilepsy), dan mereka sangat mengapresiasi kesibukan kita sepanjang 2016. Dengan adanya apresiasi ini, sepertinya kita harus melakukan hal yang lebih di tahun 2017 ini. Bagaimana kalau kita bantu ODE untuk mengekspresikan segala emosinya dalam FGD, mungkin nanti dari sini kita bisa sama-sama mencari solusi untuk masalah yang kita hadapi”

“Boleh juga mas”

“Bagi ODE sesi FGD ini bisa menjadi semacam terapi kelompok. Dan bagi kita, manfaatnya bisa mendapatkan data kualitatif yang banyak dan mendalam, untuk dapat menghasilkan sekian banyak research report dan jurnal. Jangan lupa, tulisan ilmiah kita nantinya dapat kita turut sertakan dalam kongres international epilepsi di Barcelona maupun Bali”, ternyata jawabanku tidak lepas dari bidang pekerjaanku sebagai researcher.







Begitu mendengar kata “Barcelona”, istriku langsung bersemangat. “Ayukkk...ayukk.....”

***

Minggu pagi, 22 Jan 2017. Saat itu ada pertemuan rutin rekan-rekan ODE di Bogor.  Aku turut serta dalam acara tersebut, dan sebelumnya sudah meminta izin kepada rekan-rekan untuk mengisi acara tersebut dengan sesi diskusi dan game. Aku sebut demikian, supaya rekan-rekan dapat memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang akan dilakukan.

Sesi Focus Group Discussion (FGD) dimulai. Ini pertama kalinya kami mengadakan sesi FGD. Jika sebelumya acara pertemuan rutin hanya diisi dengan sesi sharing dan makan siang, kali ini coba aku tambahkan sesi FGD, dengan tujuan untuk membantu para ODE memahami kondisinya, serta mencari solusinya. Biasanya, kita sendiri sudah tahu solusi untuk masalah kita, tetapi karena kita hanya fokus pada keluhan permasalahan, maka kita tidak menyadari solusinya. Oleh karena itu dalam sesi FGD ini aku hanya berperan sebagai sebuah cermin bagi teman-teman ODE untuk melempar balik pertanyaan mereka, sehingga mereka dapat menemukan jawaban atas pertanyaan mereka sendiri.

Aku minta para ODE yang hadir dalam acara tersebut untuk berkelompok sesuai gender. Jadi aku memiliki kelompok laki-laki dan perempuan. Setelah itu aku mulai membacakan pertanyaan.

#1 Epilepsi masih dekat dengan kata “malu, minder, aib, takut”
Pertanyaan pertama, aku minta mereka untuk menuliskan 1 kata pertama (Top of Mind) yang pertama kali muncul ketika mendengar kata “epilepsi”. Inilah hasilnya




Hasilnya mirip untuk grup laki-laki maupun perempuan. Mayoritas masih memberi konotasi negatif pada kesan pertama terhadap epilepsi.  Aku minta semua ODE bercerita tentang rasa malu dan takut. Ada yang menceritakan tentang respon negatif dari teman, ataupun rasa takut serangan akan muncul saat sedang tes/ujian.

“Kalian sadar bahwa kalian memiliki rasa malu dan takut terhadap epilepsi?”, tanyaku

“Iya”, jawab mereka bergantian

“Apa yang rekan-rekan sudah pernah/ akan lakukan untuk mengatasi rasa malu dan takut ini?”

“Kami berkumpul dan saling support satu sama lain, seperti saat ini”

Walaupun mereka masih memiliki rasa malu ketika berkumpul bersama orang normal, tetapi paling tidak mereka sudah tidak merasa malu lagi untuk berbagi bersama ODE.

Aku sudah mendapat banyak informasi tentang image “epilepsi” di mata mereka. Sepertinya lain kali aku perlu mengadakan sesi FGD sendiri untuk menggali lebih jauh tentang rasa malu dan bagaiman strategi mereka mengatasi rasa malu di depan masyarakat umum. Aku berniat untuk menggali info ini di acara FGD berikutnya. Untuk sesi FGD saat ini, masih banyak pertanyaan lain yang perlu ditanyakan. Dalam sesi FGD pertama ini aku bertujuan untuk mengenali, memahami,  dan menggali apa saja masalah sosial yang dihadapi ODE. Di FGD berikutnya aku dapat menggali masalah satu per satu, serta mencari solusinya bersama.

Aku tutup pertanyaan pertama dengan memberi statement positif tentang epilepsi. Aku tuliskan 1 kata yang menurutku cocok untuk menggambarkan epilepsi yaitu : “JODOH”. Aku punya 3 alasan:

  1. Salah satu teori mengatakan penyebabku memiliki epilepsi adalah proses kelahiran, di mana saat itu kepalaku harus dijepit dengan tang, untuk segera menarikku keluar dari rahim ibu. Penjepitan pada kepala bayi yang masih lunak, dapat menyebabkan kejang. Jadi sejak lahir aku sudah berJODOH dengan epilepsi
  2. Tahun 2009 aku sempat memasuki titik jenuh dengan epilepsi. Saat itu aku sudah operasi dan bebas serangan sejak 2007. Lalu kenapa aku harus membahas epilepsi terus menerus? Aku ingin “keluar” dari epilepsi. Oleh karena itu aku memilih bekerja sendiri di Jakarta (sebelumnya tinggal di Yogyakarta bersama keluarga), fokus pada pekerjaan, karier, dll. Tapi faktanya, setelah pindah ke Jakarta, aku justru bertemu dengan pengurus YEI, dan aktif dalam kegiatan sosialisasi epilepsi sampai saat ini. JODOH tidak dapat ditinggalkan.
  3. Ketiga, aktif dalam kegiatan epilepsi membuatku bertemu dengan seseorang yang ternyata adalah JODOH ku (dalam arti sebenarnya), yaitu Istriku.
Mendengar alasanku yang terakhir semua ODE tertawa dan tersenyum. Saatnya aku menanamkan sugesti positif dalam diri mereka.

Aku minta setiap orang untuk menepuk pundak salah satu rekannya, sambil saling menasehati bahwa “epilepsi adalah jodoh kita, kamu tidak sendiri, kita semua selalu bersama”

Spontan mereka lantas memberikan tepuk tangan untuk diri mereka masing-masing.

Aku hanya memberi 1 pertanyaan sederhana, tetapi pertanyaan ini dapat membantu mereka dan menggugah rasa percaya diri mereka untuk menerima hidup sebagai ODE.

Satu pertanyaan selesai, kita pun lanjut ke pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Sepertinya jawaban yang mengejutkan sudah siap keluar dari mulut mereka....

(BERSAMBUNG)

Kamis, 05 Januari 2017

#33 Satu Dekade

Hari itu hari selasa, yang juga merupakan hari pertama aku kembali masuk kantor di pertengahan desember, setelah berlibur 8 hari di Australia bersama keluarga. Setibanya di kantor, aku segera membuka kembali laptop untuk membaca semua email dalam 1 minggu kemarin. Aku cek kembali ke research agency tentang bagaimana status project riset yang sedang berjalan di 5 kota. Setelah makan siang, pekerjaanku sedikit berkurang, dan aku memiliki waktu untuk membaca segala pesan yang masuk ke dalam handphone sejak pagi.

Aku mendapatkan pesan dari seorang mahasiswi yang bermaksud untuk mewawancaraiku seputar riwayat epilepsi untuk memenuhi tugas kuliahnya. Selain mewawancarai, dia juga perlu melihat hasil tes EEG ku yang terakhir. Aku sanggupi permintaannya, dan aku minta dia untuk datang ke acara perayaan ulang tahun Sofia yang ke 3 pada hari sabtu 17 Des, walaupun pada akhirnya pertemuan ini harus tertunda 1 hari.




***

Hari minggu siang 18 des. Saat itu, aku baru saja selesai nonton sebuah film kartun di bioskop bersama Sofia.  Kami hanya nonton berdua saja, sambil menunggu Istri yang sedang menjalani perawatan di sebuah salon.

“Ayah….laparr”, Sofia mengingatkanku.

Aku pun segera berjalan cepat keluar dari gedung bioskop menuju sebuah restoran.  Aku segera masuk dan memilih meja makan. Beberapa menit kemudian istriku datang dengan wajah yang fresh setelah perawatan.

Setelah memesan makanan, aku memberi info kepada mahasiswi yang hendak mewawancaraiku untuk datang ke restoran ini. Proses wawancara dapat dilakukan sambil makan siang.

Beberapa menit kemudian, seorang mahasiswi datang menyapaku, dan dia memperkenalkan diri. Setelah kami membuka perbincangan membahas berbagai macam hal, dia mulai menyampaikan beberapa pertanyaan kepadaku

“Pak Aska, sejak kapan sakit epilepsi?”

“Apa yang dirasakan saat  akan kena serangan kejang?”

“Bagaimana menjalani pendidikan dan pekerjaan dengan riwayat epilepsi?”

Ini semua pertanyaan standar yang sudah sering ditanyakan kepadaku. Aku ceritakan semua pengalamanku kepada dia. Sambil bercerita aku jadi teringat akan segala pengalaman masa lalu. Dulu dalam 1 dekade (1998-2007) aku memiliki epilepsi yang aktif. Sering sekali terkena serangan kejang sejak masa-masa SMP sampai lulus kuliah.

Kemudian 1 dekade yang lalu (tahun 2007) aku menjalani operasi. Aku belajar banyak hal dari pengalaman ini. Aku mendapatkan informasi tentang operasi setelah aku bisa belajar menerima hidup sebagai ODE. Selama 9 tahun sebelumnya, hidupku penuh penolakan terhadap kondisi diri sebagai ODE.

Aku pun bercerita kepada mahasiswi itu tentang pentingnya menekankan diri pada proses penyembuhan, dibandingkan hasil penyembuhan. Dalam 9 tahun, aku selalu fokus pada hasil. Aku ingin sembuh! That’s it. Maka aku lakukan segala hal pengobatan medis & alternatif, dan hasilnya nihil.  Aku hanya fokus pada hasil akhir, sehingga tidak jelas apa yang harus dilakukan untuk mencapai hal itu. Aku menolak fakta bahwa aku adalah ODE. Aku anggap epilepsi hanyalah sebuah angin lalu, yang penting aku harus segera sembuh.

Sama seperti ujian matematika. Kalau kita hanya fokus pada hasil nilai 100, maka kita kurang peduli dengan proses meraih nilai 100. Bisa saja kita mendapat nilai sempurna dengan mencontek atau mencari bocoran soal. Padahal hal yang terpenting adalah proses belajar dan memahami matematika itu sendiri.

Akhirnya di tahun ke 10, aku mulai menyerah. Aku harus belajar menerima kondisi diri. Aku harus melalui sebuah proses untuk memahami mengapa aku harus terkena epilepsi? Apa yang harus aku lakukan jika aku harus hidup bersama epilepsi selamanya?

Pahami bahwa aku adalah ODE. Jika aku adalah ODE maka aku harus mengalami kejang. Aku harus rutin mengkonsumsi obat. Pahami kondisiku secara utuh. Aku masih dapat beraktivitas normal walaupun aku adalah ODE.

Setelah aku belajar dan fokus pada proses penyembuhan, fokus pada menjalani hidup dan bersahabat bersama epilepsi, tiba-tiba aku mendapatkan solusi tentang operasi bedah syaraf otak.

Fokus pada proses, dan hasil terbaik akan datang dengan sendirinya. Prinsip ini masih berlaku sampai sekarang, bahkan dalam pekerjaan saat ini.  Business is process, and the process should be measurable. Target sales 2017 hanyalah sebuah angka, kita harus fokus pada proses untuk mencapai angka tersebut. Itulah bidang pekerjaanku, memberikan consumer and business insight kepada tim melalui analisis data statistik, sehingga kita tahu hal-hal apa saja yang menjadi proses terbaik untuk mendapat hasil sales maksimal. Kita tidak bisa menunggu angka target itu terpenuhi dengan sendirinya. Kita juga tidak bisa melakukan segala hal tanpa terencana untuk mencapai angka sales tersebut. Bisa jadi apa yang kita lakukan justru tidak efektif dan efisien. Sama seperti aku, tidak bisa menunggu akan sembuh dari epilepsi tanpa melakukan apapun.

***

Tak lama setelah aku bercerita panjang lebar, makanan pun datang ke meja kami. Kami pun melanjutkan perbincangan sambil menikmati makan siang



“Kalau mbak, bagaimana dulu mbak tahu kalau Mas Aska adalah ODE?”, kali ini si mahasiswi bertanya kepada istriku.

Istriku pun bercerita tentang bagaimana pengalaman epilepsi mempertemukan kami.

“Mbak pernah melihat Mas Aska terkena serangan kejang?”

“Pernah sih, waktu Mas Aska kejang di kantor beberapa bulan sebelum pernikahan”

“Bagaimana reaksi Mbak saat itu?”

“Ya kaget juga, sebelumnya belum pernah melihat Mas Aska kejang. Jadi waktu itu aku dapat telp dari temen kantornya yang bilang bahwa Mas Aska tiba-tiba kejang dan pingsan di kantor. Mas Aska lalu dibawa ke rumah sakit di seberang kantor”, Istriku mulai bercerita

“Waktu itu sudah jam 5 sore, jadi aku segera keluar kantor lalu pergi menuju rumah sakit itu. Aku juga menghubungi Ayah Bunda agar segera datang juga ke rumah sakit. Mas Aska kan tinggal di Jakarta sendiri ya, orang tuanya di Jogja, jadi saya minta tolong Ayah Bunda untuk mendampingi”.

Aku hanya tersenyum mendengar cerita itu

“Setibanya di rumah sakit, aku lihat Mas Aska sudah lemas di atas tempat tidur. Aku lihat bahu kanan dia juga sudah bergeser. Beberapa hari kemudian aku baru tahu pergeseran bahu itu karena tubuh si Mas di tahan oleh teman-temannya. Maksud teman-temannya sih baik, agar tubuh si Mas saat kejang tidak menyentuh benda-benda berbahaya, tetapi aku juga baru tahu bahwa pergerakan tubuh saat kejang itu sebaiknya tidak ditahan. Cukup dihindarkan dari benda-benda berbahaya saja. Semakin ditahuan, semakin besar energi si Mas untuk melawan. Akhirnya bergeserlah bahu si Mas”.

“Berarti Mbak tidak melihat Mas Aska kejang?”

“Beberapa saat setelah itu aku lihat tubuh si Mas tiba-tiba kejang. Kejang hebat di atas tempat tidur, dengan mata terbalik, dan air liur perlahan-lahan keluar dari mulutnya. Saat itu aku benar-benar kaget. Aku bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa terdiam diselimuti rasa takut. Ayah Bunda melihatku sudah hampir pingsan. Mereka lantas menahan tubuhku dan mebawaku berjalan sedikit menjauhi si Mas. Ternyata inilah rasa kaget dan panik yang dirasakan oleh orang-orang saat pertama kali melihat ODE terkena serangan. Itu juga menjadi pengalaman pertama Ayah Bunda melihat si Mas kejang”

“Setelah itu hal apa yang membuat mbak tetap yakin dengan rencana pernikahan dengan Mas Aska?”

“Hmm…….apa ya?”, dia tiba-tiba berpaling menatapku & Sofia sambil tersenyum dan mengedipkan mata berkali-kali.

Aku teringat bahwa aku juga pernah menanyakan hal yang sama kepada dia. Dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan permintaan akan sebuah pelukan yang erat dariku. Di dalam pelukan dia berkata dengan bahasa manja, “kalau dipeluk Mas rasanya nyaman”

Terkadang kita melupakan hal-hal yang sederhana. Hanya fokus pada hal-hal yang rumit. Istriku hanya membutuhkan seorang suami yang dapat melindunginya dan memberi rasa aman, tanpa memperdulikan suaminya ODE atau bukan. Sebaliknya, kita sebagai ODE sering kali berpikir rumit dan sampai pada suatu kesimpulan semu bahwa tidak ada yang mau menikah dengan ODE.

Terbukti saat pertama kali aku bertemu Ayah Bunda, yang saat itu statusnya masih calon mertua.  Saat itu aku bercerita banyak hal tentang latar belakang pendidikan dan pekerjaan, agar aku bisa mendapatkan image yang baik di mata calon mertua. Tetapi ternyata itu bukanlah faktor pertimbangan utama Ayah dalam memberikan restu kepada Kami. Ayah sudah pernah mendapat informasi yang sama dari mantan pacar istriku di masa lalu. Pertanyaan terpenting bagi Ayah hanya 1, dan itu sangat sederhana: “Berapa usiamu?” Karena Ayah menginginkan calon menantu yang usianya jauh lebih tua di atas usia anak gadisnya, agar kelak calon menantunya dapat menjadi suami yang mampu mendidik, melindungi, dan memberi rasa aman bagi anak gadisnya. Ketika aku dinilai sudah memenuhi syarat, maka statusku sebagai ODE tidak lagi berpengaruh terhadap restu pernikahan.

***

Proses interview bersama mahasiswi tersebut membuat hati ku tergerak untuk membaca kembali tulisan-tulisanku di masa lalu tentang epilepsi. Dalam tulisan-tulisan tersebut aku temukan diriku di masa lalu dalam mulai dari kondisi putus asa sampai menemukan harapan sembuh.

Dalam satu dekade masa sakit, aku dituntut untuk belajar sabar menjalani ujian, belajar menerima kondisi diri apa adanya, belajar bersahabat dengan epilepsi, belajar manajemen waktu belajar dan bekerja agar tidak muncul serangan, belajar untuk menjadi percaya diri, belajar untuk memahami kondisi orang lain, belajar untuk bernegosiasi dengan diri sendiri dan orang lain, belajar untuk tidak takut gagal operasi, belajar untuk berani mengambil keputusan. Setelah aku “lulus”, aku pun mendapat kesempatan untuk sembuh melalui operasi.

Dalam satu dekade pasca operasi, aku mulai belajar menerapkan value-value tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal pekerjaan, aku dapat memanage menjalankan sekian banyak project riest dalam satu waktu, aku dapat bernegosiasi dengan para stakeholder tentang desain riset dan timeline, aku dapat mempresentasikan hasil riset dengan percaya diri. Dalam hal kesehatan, aku bisa aktif di Yayasan Epilepsi Indonesia ataupun International Bureau of Epilepsy.

Dan yang terpenting aku bisa belajar menjadi lebih sabar dan tangguh dalam menghadapi berbagai permasalahan, terutama permasalahan dalam bidang pekerjaan yang akan terus ada. Karena kita memang bekerja untuk menyelesaikan masalah dalam perusahaan ataupun masyarakat.

Sampai saat ini aku selalu teringat pelajaran ini:

Salah satu permasalahan yang pernah aku hadapi dalam hidup adalah serangan kejang epilepsi. Untuk mengatasi hal ini, aku harus melakukan operasi bedah otak, di mana resikonya adalah jiwa dan ragaku. Dan aku pun berhasil melewati permasalahan ini.


Sekarang jika aku menghadapi permasalahan apapun, maka aku pasti bisa menyelesaikannya juga. Aku tidak perlu takut, karena resiko yang aku hadapi tidak sebesar resiko operasi bedah otak.