Minggu, 10 April 2016

#29 Epilepsi dilihat dari sudut pandang seorang Ibu

Malam itu aku sedang mempersiapkan materi untuk presentasi pada acara seminar media. Aku akan membahas topik potensi diri dan juga kualitas hidup ODE. Aku berencana akan menyampaikan key message tentang pentingnya peran keluarga dalam meningkatkan kualitas hidup ODE.

Untuk materi presentasi ini, aku ingin menyampaikannya dengan bahasa yang realistis, tidak hanya sekedar teoritis. Oleh karena itu, aku mencoba lagi membuka tulisan-tulisan pribadiku beberapa tahun yang lalu tentang epilepsi, serta beberapa jurnal psikologi yang berhubungan dengan tema ini. 

Setelah materi presentasi selesai disusun, aku coba cek sekali lagi sebelum aku kirim ke panitia seminar media

"Ayah....Ayah...", Sofia tiba-tiba mendatangiku. Padahal sebelumnya aku lihat dia masih asyik bermain masak-masakan bersama bunda nya

"Iya, ada apa Sofia?"

"Ayah...bobo....Ayah bobo....kamar....kamar....", rupanya Sofia memintaku untuk segera tidur bersamanya di kamar

"Iya...bentar ya, Ayah kirim 1 email ini dulu ya", Jawabku. Aku pun segera klik tombol 'send' untuk memastikan materiku sudah terkirim ke panitia

"Ayah...bobo....Ayah bobo....kamar....kamar....", Pinta Sofia sekali lagi

"Iya....Ayah matikan laptop dulu ya...", aku bermaksud untuk menutup semua program lalu mematikan laptop. Tetapi, ketika hendak menutup program berisi list-list file, aku menemukan satu folder yang sudah lama tidak aku buka. 

Folder itu berisi tetang komentar dan pesan orang-orang terdekatku tentang aku dan epilepsi. Komentar dan pesan ini ditulis tahun 2007. Saat itu aku sudah operasi dan bermaksud untuk mengumpulkan segala tulisan-tulisanku di blog untuk dipublikasikan dalam sebuah buku. Sang editor saat itu juga menyarakan aku untuk mengumpulkan komentar dan pesan-pesan dari orang-orang terdekatku. Jadilah ada file ini. 

Aku buka file itu, dan tulisan pertama yang aku dapatkan adalah tulisan dari mama. Aku hampir lupa tentang apa yang ditulis oleh mama. Lebih tepatnya aku hampir lupa tentang apa pendapat orang tua ku tentang aku dan epilepsi. Maka aku pun langsung membacanya kembali

"Ayah...bobo....kamar," rengekan Sofia makin kencang. Melihat hal ini, istriku pun berinisiatif untuk mengajak Sofia masuk ke kamar terlebih dahulu bersama dia

"Sofia masuk ke kamar duluan sama bunda ya, nanti ayah nyusul," Jawabku

"Gak mau....sama Ayah...", seperti biasa, dia tetap meminta aku yang menemaninya. Namun istriku dengan sigap langsug membujuk Sofia untuk masuk ke kamar bersama nya

Mereka berdua pun masuk ke kamar, dan aku bisa berkosentrasi membaca tulisan mama sekali lagi.

***

Aska Primardi nama lengkapnya. Nama itu terinspirasi dari nama salah satu bahasa komputer, bahasa Pascal, bahasa ini yang waktu itu digeluti untuk menyelesaikan tugas pada Departement Informatique en Science Sociale Universite de Grenoble II Prancis. Pascal sendiri diambil dari nama Bleise Pascal adalah ahli matematika Prancis yang namanya kemudian didedikasikan oleh Niklaus Wirth untuk nama bahasa komputer yang dikembangkannya. Sedang nama Primardi, merupakan waktu kelahirannya,  Pri yang artinya menjelang, Mardi diambil dari  bahasa Prancis yang artinya Selasa.

Betapa bahagianya waktu Aska lahir, dengan berat 2,9 kg panjangnya 51 cm, kelahiran yang  melalui perjuangan panjang.. saat padat tugas sekolah (pada waktu itu saya dan suami sedang studi di Prancis) dan juga menghadapi permasalahan pada kehamilan... Hari-hari kemudian dilewati seperti halnya ibu-ibu muda yang lainnya.. sampai pada suatu hari.. saat pulang dari penitipan anak.. tiba-tiba terdengar seperti suara tersengal-sengal.. betapa kagetnya melihat wajah Aska yang bola matanya seperti terbalik dan kejang..  Singkat kata Aska kemudian dirawat di rumah sakit untuk diketahui penyebabnya.. Meski tidak diketemukan penyebabnya.. saya merasa bahagia karena Aska kembali lucu dan ceria. Itulah saat pertama kali Aska mulai kejang.. Orang bilang itu hanya penyakit biasa yang banyak menimpa anak-anak sampai usia 5-6 tahun.. orang menyebutnya dengan ’stuip’ yang biasanya muncul apabila anak panas. Sepulang dari Perancis, kami tinggal bersama kedua orang tua saya, kejang Aska masih sering muncul, pernah waktu main naik sepeda roda tiga putar-putar dalam rumah sambil ketawa-tawa, tiba-tiba jatuh dan kejang. Sejak itu dia tidak pernah dibiarkan sendiri".

"Pada waktu Aska berumur 3 tahun, saya terpaksa meninggalkannya untuk melanjutkan studi di Inggris. Masih lekat dalam ingatan, waktu akan berangkat untuk ’predeparture training’ (pelatihan sebelum berangkat ke Inggris) di Jakarta, Aska suhu badannya tinggi dan beberapa kali kejang, suami waktu itu masih tugas di USA. Hampir saja saya memutuskan mundur mengingat kondisi Aska. Akhirnya saya baru berangkat setelah dokter bilang bahwa Aska boleh ikut ke Jakarta.

Pelatihan dilaksanakan selama 3 bulan, di Jakarta pun Aska tetap kejang-kejang meskipun frekuensinya rendah. Sampai akhirnya saya berangkat studi untuk 2 tahun. Selama 2 tahun itu saya sempat pulang beberapa kali termasuk pada waktu ayah saya meninggal dunia. Sempat bingung juga, kala itu Aska amat dekat dengan eyang kakungnya, sebetulnya ada pembantu tetapi jelas tidak sama kualitasnya. Eyang kakung meninggal sementara eyang putri masih sibuk-sibuknya bekerja sebagai pramuwisata, sedang ibunya harus kembali ke Inggris, tinggal suami yang akhirnya menjadi ’single parent’ yang sesungguhnya, karena tidak ada lagi yang membantu dan bisa terus menerus menemani Aska seperti almarhum eyang kakungnya, sementara kejang-kejang masih sering muncul dan kenakalannya semakin bertambah. Cerita kenakalan Aska merupakan cerita tersendiri yang sampai sekarang masih sering dikenang keluarga dan akan tertawa terbahak-bahak mengingat kenakalan Aska itu.

Aska sempat menyusul ke Inggris selama 1 bulan, saya pulang 3 bulan kemudian dalam keadaan hamil. Kelahiran anak saya kedua, seorang putri, disambut hangat oleh Aska. Mulai kelahiran anak kedua,  Aska yang tadinya nakal mulai menjadi pendiam, tetapi perhatian ke adiknya besar sekali.

Peristiwa kedua yang mengagetkan saya yaitu waktu Aska di kelas 3 SMP, waktu itu dia kembali kejang-kejang dan langsung dibawa ke RS Panti Rapih oleh pihak sekolah. Saya datang Aska sudah ada di ruang gawat darurat, dokter kemudian menyarankan untuk istirahat di Rumah sakit sambil didiagnosa.. diduga terkena virus.. Setelah 1 minggu di diagnosa, hasilnya tidak diketemukan sesuatu yang membahayakan.

Aku ingat pengalaman ini. Bahkan aku pun dulu tidak bisa dipastikan memiliki diagnosis epilepsi. Hasil tes EEG menunjukkan bahwa aku sehat, tidak memiliki gangguan syaraf

Masih di tahun itu.. tiba-tiba saya ditelpon pihak sekolah kalau Aska kejang lagi.. segera saya datang, pada saat itu suami sedang tugas ke Jakarta.  Aska kemudian saya bawa ke RS Panti Rapih yang kebetulan di depan sekolahnya.. Pada waktu saya tuntun menuju mobil.. tiba-tiba dia meronta-ronta dan teriak-teriak kesakitan sambil memegang kepalanya.. akibatnya susah sekali memaksa Aska masuk mobil meskipun akhirnya berhasil. Di depan ruang Gawat Darurat Panti Rapih.. dia masih teriak-teriak sehingga semua orang memandang heran.. secara fisik dia tidak kelihatan sakit tapi kenapa teriak-teriak kesakitan.. Baru diam setelah disuntik  penenang kemudian disarankan lagi untuk rawat inap.. dengan halus saya tolak, akan saya bawa ke Jakarta karena pada waktu itu sedang dalam perawatan oleh dokter ahli syaraf (Alm dr. Hukom) di Jakarta.

Setelah itu sakitnya tetap muncul dan waktu kemunculannya tidak beraturan.. Kadang-kadang seminggu sekali, pernah seminggu 3-4 kali... pernah juga 2 minggu sekali... Pada waktu itu Aska masih yakin bahwa dirinya masih bisa menditeksi kemunculan sakitnya (kambuh), meski kita sebagai orang tua merasa was was, yah seperti halnya remaja yang berjiwa muda dan merasa dirinya yang paling tahu tentang dirinya. Sebagai contoh bila dia sedang mengendarai motor ataupun mobil bila akan kambuh dia masih bisa berhenti dan meminggirkan kendaraaan untuk kambuh beberapa saat dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Kambuhnya terkadang bisa dicegah bila belum terlambat, tetapi lebih sering terjadinya daripada pencegahannya. Sampai sesuatu yang fatal terjadi yang mana kambuhnya datang tiba-tiba dan tidak terduga dalam kondisi sedang menyopir mobil, mobil kemudian menabrak pagar rumah orang sehingga mobil ringsek bagian depan. Anehnya Aska tidak cedera sedikitpun. Mulai saat itu Aska menjadi penurut untuk tidak mengendari kendaraan apapun, sebagai gantinya supaya dia tetap bisa beraktifitas kami menyediakan sopir khusus. Setelah itu  susah sekali menduga kemunculan.. sementara Aska sendiri menjadi tidak bisa mendeteksi kemunculannya.

Aku beruntung memiliki orang tua yang tetap mempertimbangkan kondisi perkembangan sosial psikologisku. Walaupun aku adalah ODE namun aku tetap diberi kesempatan untuk bergaul dan beraktifitas untuk memenuhi kebutuhan sosial psikologis sesuai tahap perkembangan anak, remaja, maupun dewasa

Yang saya lakukan untuk mengantisipasi kambuhnya Aska yaitu selalu mengkondisikan diri sendiri untuk selalu tenang  dan membawa tissue untuk membersihkan ludah bila kambuh. Saya selalu berusaha bersikap tenang menghadapi kambuhnya Aska dan selalu berbicara pada Aska untuk selalu tenang. Saya merasakan Aska seperti diri saya sendiri kalau saya tenang maka Askapun akan tenang.. Pada perkembangan selanjutnya Aska menjadi  menutup diri lebih suka menyendiri, dia menjadi orang yang pasrah dan sifat positipnya adalah dia hampir dikatakan tidak pernah mengeluh ataupun protes terhadap segala sesuatu yang mungkin tidak menyenangkan hatinya. Akan tetapi saya lihat dia tidak diam dalam arti yang sesungguhnya malah dia banyak belajar dari diamnya itu. Dia berusaha untuk menjadi dirinya sendiri. Dia kemudian belajar desain grafis dan fotografi. Laptop adalah teman sejatinya, tapi dia tidak boleh berlama-lama didepan layar, konon bisa memicu kambuhnya.  Membaca buku  adalah kesukannya, dengan buku-buku itu dia dapat mengekspresikan dirinya sendiri. Contohnya dalam menyelesaikan skripsi dia benar-benar serius mengerjakan skripsinya, sementara di dunia luar ada beberapa yang minta pertolongan pihak lain untuk mengerjakan skripsinya sehingga dia dapat gelar sarjana melalui tangan orang lain. Tanggung jawab Aska sebagai mahasiswa besar sekali. Ini yang membanggakan saya sebagai orang tua dan sebagai pengajar di perguruan tinggi. 

Belajar musikpun tidak kenal lelah, memang pada waktu tangannya menari-nari diatas tuts piano, sering saya merasa miris, dia begitu masuk dalam musiknya sehingga terasa dia sedang menjerit-jerit minta tolong karena sakitnya, apalagi kalau dia memainkan pada suasana hening di malam hari. Saya hanya bisa memohon pada Allah Swt.. berilah kekuatan pada Aska... Saya selalu mengingatkan pada saudara-saudara dan teman-teman dekat saya, jangan memandang Aska sebagai orang pesakitan.. Dia akan menjadi tambah sakit kalau dianggap sebagai orang sakit.. Bila semua  melihat Aska kambuh, usahakan untuk tetap seperti tidak terjadi apa-apa, yang ngobrol ya tetap ngobrol.. yang nyanyi ya tetap nyanyi.. dengan demikian Aska tetap merasa nyaman di sekitar mereka. Toh dia juga tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan dirinya pada saat kambuh.... Jika merasakan suasana panik maka dia kelihatan sekali seperti orang yang bersalah karena membuat panik semua orang sehingga dia kemudian merasa tidak nyaman. Memberi perhatian lebih misalnya dengan menunjukkan rasa kuatir, dalam konteks inipun terkadang mengurangi rasa kenyamanannya. So, dengan membiarkan Aska,  just the way he is (meski kita waspada), sudah amat sangat membantu, karena dia  adalah seorang Mars tulen, maksudnya bila dia tidak merasa nyaman dia akan masuk ke dalam gua. ( baca buku : Mars dan Venus). Guanya Aska adalah kamarnya sendiri yang didesain sendiri, disitulah dia sehari-hari mejalani kehidupannya, mungkin kalau tembok kamar itu punya mulut, dia akan bercerita banyak tentang kehidupan Aska sehari-harinya bahkan mungkin akan mencucurkan air mata. Waktu yang akan mengubah perasaannya, bila terasa sudah nyaman dia akan keluar dari guanya dan berinteraksi seperti biasa.

Terkadang saya berpikir apa yang menyebabkan Aska menjadi seperti ini apakah karena lahirnya menggunakan forceps sehingga pertumbuhan jaringan otak terganggu, apakah karena saya tinggal studi selama 2 tahun dan dia merasa kehilangan figur seorang ibu, apakah kelahiran adiknya menyebabkan dia merasa kekurangan perhatian ataukah ada sebab lain.. hanya Aska yang bisa menjawab... Memang jawaban ini tidak mempunyai pengaruh apapun pada kehidupan Aska sekarang karena sudah berlalu, paling tidak.. memberi masukan bagi yang lain agar supaya tidak terjadi atau meminimalkan hal yang serupa.

Kambuh yang terburuk yang terjadi di Amplaz ( Ambarukmo Plaza), setelah 1 bulan dia tidak kambuh tiba-tiba muncul dengan dahsyatnya ditengah suasana makan siang di Tamansari Court, yang mengakibatkan Aska menjadi lemas sehingga tidak bisa berjalan. Untung di Amplaz disediakan kursi roda sehingga membantu untuk sampai ke mobil.

Ujian skrispsi dan wisuda dapat dilalui tanpa hambatan, meski saya juga agak was was bagaimana kalau kambuh pada saat ujian skripsi maupun wisuda. Tiga minggu sesudah wisuda Aska menjalani operasi. Sebenarnya saya agak kuatir tetapi setelah melihat Aska mantap hilanglah rasa kuatir tersebut. Sebetulnya rasa kuatir  muncul sewaktu ingat  teman yang operasi karena pendarahan otak... tertimpa pintu garasi pada waktu gempa jogja setahun yang lalu. Operasinya dilaksanakan 2 jam, paska operasi kelihatan sekali kalau dia kesakitan sampai beberapa hari dan ingatannya agak terganggu, pemulihannyapun memakan waktu sampai berbulan-bulan. Bandingkan dengan Aska yang akan dioperasi pada syaraf otak selama 8 jam, apa jadinya Aska. Syukur Alhamdulillah operasi Aska berjalan lancar dan hal-hal yang ditakutkan dapat teratasi berkat doa dari kalian semua.

Saat ini, paska operasi... Aska terlihat lebih semangat menghadapi hidup.. Dia sekarang begitu memperhatikan kesehatannya, terapi jus buah dan menyeduh ramuan dedaunan  dilakukan sendiri, yang sebelumnya harus ada yang menyiapkan. Diapun ingin melanjutkan studi yang lebih tinggi, kami sebagai orang tua tentunya mensupport keinginannya. Selama ini perhatian kami lebih fokus pada Aska, terkadang saya merasa kasihan dengan adiknya yang mungkin merasa perhatian kurang padanya. Untung adiknya bisa mengerti kondisi seperti ini, ma kasih Minda....

Satu hal untuk diingat Aska bahwa hidup itu penuh dinamika. Apa yang sudah diperoleh sampai saat ini harus disyukuri dan apa yang belum dicapai, usahakan... akan tetapi tidak perlu terlalu ngoyo, karena kalau itu memang digariskan menjadi milikmu pasti akan datang. Do your best Aska....!!!


Semoga  penyakit Aska.. bisa gone with the wind dan Aska selalu dalam lindungan Allah Swt.  Amien.


***

Tulisan mama ini mengajarkan ku tentang betapa besarnya peran keluarga dalam membentuk karakterku sekarang. Termasuk karakter sebagai ODE yang bisa bersahabat dengan epilepsi. Ataupun ODE yang bisa berprestasi dan mengembangkan potensi diri.

"Ayahhhh..........mau sama Ayah....gendong", teriakan Sofia dari dalam kamar memecah lamunanku.

Aku pun langsung menutup semua file dan mematikan laptop.

"Aku harus segera masuk ke kamar", ucapku dalam hati

"Aku masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk menjalani peranku sebagai orang tua, dan aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Seperti mama yang mampu menjalankan peran sebagai orangtua ODE dengan baik"

"Kebutuhan Sofia di usia 2,5 tahun ini adalah kasih sayang dan kesabaran orang tuanya, serta berbagai aktivitas untuk mengembangkan kemampuan motorik dan kognitifnya. Ini yang harus aku berikan untuk Sofia"

Aku buka pintu kamar dan aku sapa Sofia

"Sofia belum tidur?"

"Ayaaahhh.........", dia langsung mengangat tangannya menandakan bahwa dia minta aku menggendongnya

Segera aku gendong dia, dan dia pun langsung menyandarkan kepalanya dalam bahuku. Tidak sampai 10 menit, dia pun tertidur lelap

"Ih, emang anak Ayah nih", komentar istriku sambil tersenyum

Senin, 04 April 2016

#28 Epilepsi dilihat dari perspektif keluarga



Aku melihat jam tangan menunjukkan pukul 09.30, di bawahnya tertulis tanggal 23 Maret 2016. Aku sedang berada di salah satu meeting room Le Meridien hotel. Saat itu aku sedang menghadiri seminar media epilepsi yang diadakan oleh YEI dan Abbott. Aku lihat sekilas rekan-rekan wartawan media sudah mulai datang. Beberapa menit kemudian pintu meeting room ditutup dan acara dimulai.

“Selamat datang rekan-rekan media diacara seminar media epilepsi ini. Kali ini kita akan membahas tentang epilepsi dengan tema “Yes I Can”, yang berarti “Saya bisa mengembangkan potensi diri, epilepsi bukanlah hambatan”, MC membuka acara

“Pada kesempatan ini akan hadir 2 pembicara, pertama dr Irawaty Hawary, Sp.S yang juga ketua YEI. Kedua, Aska Primardi Spsi, M.A., seorang praktisi psikologi yang juga seorang ODE”, MC memperkenalkan namaku

Setelah membaca testimoni dan pesan pembuka, MC memanggil dr Ira untuk mengisi sesi pertama. Saat itu dr Ira banyak membahas epilepsi dari sisi medis. Setelah dr Ira selesai presentasi, MC pun memanggil namaku untuk mengisi sesi kedua

“Mari kita sambut…..Aska Primardi”, aku pun berdiri dan berjalan ke panggung diiringi tepuk tangan dari rekan-rekan wartawan.

Aku memulai presentasi dengan memperkenalkan diri, kemudian dilanjutkan pada materi pembahasan kualitas hidup ODE dari kacamata psikologi, dan juga berbagai tips bagi ODE untuk mengembangkan potensi diri.

Setelah aku selesai presentasi, MC memintaku dan dr Ira untuk duduk di depan dan memulai sesi tanya jawab dengan para wartawan.

Ada satu wartawan perempuan dari sebuah media cetak langsung mengacungkan jari untuk bertanya. Setelah diberi kesempatan oleh MC, ia pun secara spesifik bermaksud mengajukan pertanyaan kepadaku.

“Terima kasih atas kesempatannya. Mas Aska, saya mau tanya, dari tadi selalu ditekankan bahwa masyarakat, keluarga, teman, atau siapapun harus memahami ODE dan kondisinya. Ketidakpahaman masyakarat atau keluarga membuat ODE merasa sendiri, tersingkirkan, ataupun diskriminasi”, dia memulai prolog pertanyaan.

“Pertanyaan saya tentang kondisi sebaliknya, jika keluarga atau masyarakat mau membantu, apakah ODE juga sudah melakukan hal sebaliknya?

“Apakah ODE sendiri sudah pernah memberi informasi yang benar tentang epilepsi kepada masyakarat?”

“Apakah ODE pernah memahami kebingungan keluarga atau teman ketika melihat dirinya kena serangan?” 

“Apakah ODE juga mengajarkan tips-tips pertolongan pertama saat serangan kepada teman-temannya?” 

Pertanyaan out of the box ini muncul bertubi-tubi. Intinya satu, bukan lagi tentang tuntutan ODE kepada masyarakat untuk memahami epilepsi, tetapi juga tentang apa yang telah ODE lakukan untuk mengedukasi masyarakat. Masyakarat bisa jadi sebenarnya mau menolong ODE saat terkena serangan, tetapi ODE nya sendiri yang justru malu membuka diri. 

Pertanyaan ini mengingatkan ku pada kejadian di Xiamen (baca chapter #18).
 
***
 
Secara global kini ada 2 event yang berhubungan dengan epilepsi, pertama International epilepsy day yang diperingati setiap minggu kedua bulan Februari, dan Purple Day yang diperingati setiap tanggal 26 maret. Purple day, yang berbarengan denga  hari ulang tahun ku, mulai diperingati sejak 8 tahun terakhir. Sedangkan International epilepsy day, sebuah event resmi dari IBE & ILAE, mulai diperingati sejak 2 tahun yang lalu. Kedua event ini memiliki message yang sama: raising awareness of epilepsy

Tahun ini, YEI mengadakan event International Epilepsy Day di Jakarta pada tanggal 6 Maret, dan kemudian diikuti seminar media pada tanggal 23 Maret. Pada acara seminar media ini aku diminta untuk berpartisipasi membawakan materi tentang epilepsi dari sudut pandang psikologi. Tema international epilepsy day tahun ini adalah "Yes, I can". Tema ini diangkat dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri ODE dan juga membuka mata masyarakat bahwa ODE juga bisa berprestasi, ODE juga bisa mengembangkan potensi diri.

Mulai tahun ini, kita memiliki sebuah maskot epilepsy day. Maskotnya adalah hewan kuda laut bernama Campi. Mengapa harus kuda laut? Karena nama latin kuda laut adalah hippocampus. Sama seperti bagian otakku yang diangkat saat operasi. Saat itu hipocampus harus dipotong dan diangkat karena itu adalah sumber asal kejang yang aku alami.


Pada acara seminar media yang diselenggarakan di hotel Le Meridien Jakarta ini, aku mendapat kesempatan presentasi di sesi kedua. Sesi pertama diisi oleh dr Irawaty Hawari Sp,S yang juga ketua YEI yang membahas epilepsi dari sisi medis.

Sebelum presentasi aku memperkenalkan diri sebagai praktisi psikologi, dimana pekerjaaan sehari-hari adalah meneliti perilaku konsumen (marketing researcher), dan aku juga adalah ODE. Ketiga poin tersebut sudah cukup menjelaskan alasan mengapa aku diundang untuk presentasi dalam seminar ini. Materi yang aku bawakan adalah hasil risetku beberapa tahun terakhir bersama YEI tentang kualitas hidup ODE dan juga hubungannya dengan pengembangan potensi diri.



Hasil riset ini sebenarnya sudah aku presentasikan dalam Asian Oceanian Epilepsy Congress tahun 2014 lalu di Singapore. Dari hasil riset, kita menemukan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi kualitas hidup ODE, yaitu fisik, psikis, sosial. Dari analisis statistik ditemukan bahwa faktor yang paling besar perannya dalam kualitas hidup ODE adalah faktor sosial, bukan faktor fisik/gangguan syaraf itu sendiri. Hal ini membuktikan sebuah hipotesis di awal bahwa faktor sosial jauh lebih besar pengaruhnya bagi ODE daripada epilepsi itu sendiri.

Epilepsi adalah sebuah gangguan syaraf yang berlangsung dalam jangka waktu lama, bisa puluhan tahun.Apa yang terjadi jika aku menutup diri di usia anak-anak dan remaja? Maka kebutuhanku untuk bermain, berkumpul bersama teman, mencoba hal-hal baru, mencari jati diri, ataupun eksistensi diri tidak akan terpenuhi. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi di usia anak-anak dan remaja, maka secara tidak sadar aku akan berusaha memenuhi kebutuhan ini di usia dewasa, usia di saat aku sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Ini adalah sebuah ketertinggalan dibandingkan dengan teman-teman seusiaku, di mana di usia dewasa mereka sudah fokus pada karier, pernikahan, dan keluarga.

Lalu apa yang terjadi jika aku menutup diri sampai dewasa atau sampai tua? Maka suatu saat, ketika kedua orang tuaku meninggal dan tidak ada lagi yang merawatku, aku tidak bisa hidup mandiri. Aku masih berperilaku seperti anak kecil dan berusaha memenuhi kebutuhan di tahap perkembanganku sebagai anak atau remaja. Inilah yang aku khawatirkan jika melihat teman-teman ODE yang tidak diberi kesempatan oleh orang tua nya untuk keluar rumah, bersekolah, bekerja, bermain bersama teman. 

Secara umum ada 2 tipe orang tua ODE yang tidak mengizinkan anaknya beraktivitas keluar rumah. Pertama, orang tua yang sangat sayang kepada anaknya, sehingga khawatir jika anaknya berada dalam situasi berbahaya saat berada di luar rumah. Kedua, orang tua yang malu memiliki anak ODE. 

Pada umumnya aku banyak menemukan tipe pertama. Sulit memang rasanya menghapus kekhawatiran kepada anak kita. Di sisi lain, anak juga merasa tidak nyaman dan juga tidak percaya diri jika diawasi terus menerus, terutama saat memasuki usia remaja. Solusinya harus dicari jalan tengah agar orang tua tetap bisa mengawasi anak yang beraktivitas di luar, tanpa membuat anak merasa terawasi. Misal bekerja sama dengan teman anak kita, atau memperkerjakan sopir yang akan mengawasi dan mengantar anak kita beraktivitas. 

Kita harus bisa mendidik dan merawat ODE remaja seperti bermain layangan. Ada saatnya kita lepas layangan saat angin bertiup kencang, ada saatnya kita tarik layangan agar tetap bisa melayang. Ada saatnya kita lepas ODE untuk bermain dan berinteraksi bersama teman, namun ketika kondisinya menurun dan kemungkinan munculnya serangan meningkat, kita harus menariknya kembali ke dalam rumah.

Untuk tipe kedua, aku menemukan beberapa orang tua seperti ini. Atau mungkin sebenarnya banyak ya? Tetapi aku memang tidak mengetahuinya karena benar-benar tertutup. Pada umumnya masalah ini disebabkan karena kesalahpahaman tentang epilepsi. Solusinya adalah memberikan informasi yang benar tentang epilepsi kepada mereka. Setelah mengenal epilepsi, semoga rasa malu itu bisa terkikis.

Dari sini kita bisa melihat bahwa, jika kita berbicara tentang terapi psikologis, terapi yang perlu dilakukan bukan hanya terapi individu bagi ODE, tetapi juga terapi kelompok bagi keluarga ODE.

Sekali lagi, perlu diingat bahwa epilepsi adalah sebuah gangguan syaraf yang berlangsung dalam jangka waktu lama, bisa puluhan tahun. ODE hanya terlihat sakit saat sedang terkena serangan selama sekian detik atau menit. Dalam kondisi normal, ODE nampak seperti orang normal yang bisa belajar, bermain, bekerja. Jadi, jika ODE harus berperilaku seperti orang sakit, ataupun diperlakukan seperti orang sakit, maka secara tidak sadar kita telah mendidik dia untuk menjadi orang sakit. ODE seharusnya masih bisa beraktivitas normal walaupun masih perlu minum obat. 
  









Aku juga melakukan analisis tambahan dengan membandingkan kualitas hidup ODE di YEI tahun 2012 dengan 2014. Dari hasil tracking nampak bahwa kualitas hidup ODE di tahun 2014 (skala 1-7) signifikan lebih tinggi daripada 2012 (skala 1-7). Setelah diprobing lebih dalam, aku mendapatkan alasannya mengapa kualitas hidup ODE tahun 2014 lebih baik.

Sampai tahun 2012, mayoritas ODE di Indonesia masih fokus pada masalah stigma negatif, isu pekerjaan, dll. Saat itu grup sosial media, ataupun chatt baru mulai tumbuh. Perlahan-lahan  makin banyak ODE dan keluarga ODE bergabung dalam grup ini. Ketika ada 1 ODE memulai bercerita membuka diri tentang epilepsinya, maka semua ODE menyambut baik. Langkah ini kemudian diikuti satu persatu oleh ODE lainnya. Hasilnya, makin banyak ODE berani membuka diri, dan secara percaya diri mengakui bahwa dirinya adalah ODE. Keluarga ODE yang bergabung pun terbantu dengan banyaknya informasi untuk memahami epilepsi secara keseluruhan ataupun epilepsi dari kacamata ODE.

Di tahun 2014, ketika aku melakukan riset kembali kepada para ODE, aku mendapatkan fakta bahwa kualitas hidup ODE lebih baik daripada tahun 2012. Faktor yang paling berperan dalam peningkatan kualitas hidup adalah kepercayaan dan dukungan dari keluarga. 








Pentingnya peran keluarga ini menuntut kita untuk memahami epilepsi dari kacamata keluarga. Terkadang keluarga melarang ODE untuk beraktivitas adalah bentuk kasih sayang mereka, tetapi ODE menerimanya sebagai sebuah hukuman, hanya karena pola komunikasi yang kurang pas. Sebaliknya, ODE remaja ingin bermain bersama teman di luar rumah, tetapi orang tua melarangnya karena menilai bahwa ODE belum mampu menjaga diri, padahal sebenarnya ODE sudah merasa paham akan kondisinya. 

Seperti apa epilepsi di mata seorang Ibu, Ayah, Adik/kakak, teman, masyarakat? Apakah mereka memiliki persepsi yang sama seperti aku sebagai ODE? Topik ini akan dibahas di next chapter

Berikut beberapa link berita hasil seminar media 23 Maret 2016:


Aura mistis saat epilepsi menyerang
Kelangkaan obat anti epilepsi
Pentingnya merangkul para ODE
Beragam reaksi kejang
Pemicu Epilepsi
60 juta ODE
Penanganan yang tepat bagi ODE
Serangan epilepsi tidak selalu kejang
Epilepsi tidak menular, bukan kutukan
IQ di atas rata-rata
Gangguan fungsi otak
Dukungan bagi ODE
Epilepsi & IQ
Epilepsi & Kehamilan
ODE hidup normal
Epilepsi & Kesurupan
Kualitas hidup ODE
Obat generik sulit didapat
Epilepsi tidak berhubungan dengan IQ
Tidak semua kejang epilepsi
Pertolongan pertama
Jangan pandang sebelah mata
Mitos & fakta epilepsi
Aska Primardi-Epilepsi & Prestasi