Sabtu, 27 Februari 2016

#27 Filosofi Piano

Hari ini tiba-tiba aku teringat akan pengalaman itu

Pagi yang cerah di rumah masa kecilku di lereng gunung merapi Yogyakarta. Masih dalam suasana libur lebaran. Para tamu dan saudara belum datang, pembantu pun belum kembali dari kampungnya. Suasana yang nyaman dan tenang. Di saat seperti ini biasanya aku akan membuka pianoku dan memainkan beberapa lagu.

Aku lihat piano itu sedikit kotor, jarang disentuh sejak aku pindah ke Jakarta. Kulihat, kubuka dan kubersihkan piano itu. Setelah bersih, jari-jemariku otomatis menari di atas piano.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang memanggilku

“Ayah……”, rupanya Sofia memanggilku. Dia baru saja selesai berpakaian setelah mandi bersama bundanya

“Sini Sofia…….”, aku memanggilnya. Dia pun berlari dari pintu kamar menuju samping kursi piano ku.



“Sofia mau main piano?”

“Iyaahh”

Aku pun langsung menggendong dia dan meletakkan tubuhnya di atas kursi piano. Sekarang dia berada di depan piano. Aku berada di sampingnya, seperti layaknya guru piano bersama muridnya. Sebuah nuansa yang terakhir aku rasakan di tahun 2009, saat aku masih berprofesi sebagai guru piano.

“Sofia udah bisa main lagu?”

“Udah”, dia pun langsung menekan tuts-tuts piano. Suara yang ditimbulkan kacau, tetapi dia tetap menikmatinya.

"Mau main lagu....ayah...", kata dia

"Lagu apa?"

"Mau lagu....tik..tik hujan...gitu", dia mencoba menjelaskan maksudnya

"Oh lagu itu, iya...coba Sofia main"

Dia pun mulai menekan tuts piano sambil bernyanyi. Aku mencoba mengimbanginya dengan menyanyikan lagu tersebut dalam nada yang benar

"Diam!....ayah diam!", seperti biasa dia memintaku untuk diam dan memperhatikan dia saja

“Sofia….kalau mau main lagu yang paling mudah, yang ditekan tuts warna putih aja ya, yang hitam tidak perlu ditekan”, pesanku

“Iya ayah”, Sofia yang baru berusia 2 tahun ini sudah familiar dengan piano. 

“Sofia sudah bisa memainkan lagu dengan hanya menekan tuts warna putih saja”, kataku sambil menunjukkan tuts berwarna putih. Ini bukanlah instruksi yang sulit bagi Sofia. Dia sudah mengenal berbagai macam warna.

Aku pun mulai membimbingnya dengan memainkan lagu 'hujan' di nada dasar C dengan chord dan ritme yang sederhana. Ternyata sofia bisa mengikutinya dengan menekan tuts berwarna putih saja.

Di dalam sebuah piano, ada tuts berwarna putih dan hitam.
Jika kita hanya menekan tuts putih, kita tetap bisa memainkan lagu. Tetapi terbatas pada lagu dengan melodi dan chord yang sangat sederhana. Biasanya hanya lagu anak-anak.
Jika kita hanya menekan tuts hitam, maka kita tidak akan bisa memainkan lagu. Yang ada hanyalah kumpulan suara-suara yang tidak enak didengarkan
Jika kita menekan tuts hitam dan putih, maka kita bisa memainkan berbagai tipe lagu mulai dari jazz, blues, rock, metal, pop, classic dalam nada dan ritme yang beragam. Nada terdengar lebih unik dan indah

Sama halnya dengan hidup ini, ada pengalaman baik dan buruk
Jika hidup kita hanya terisi pengalaman baik, kita tetap bisa hidup, namun hidup kita akan monoton. Kita akan jenuh, dan lupa dengan arti ‘baik’
Jika hidup kita hanya terisi pengalaman buruk, maka hidup kita sudah pasti hancur
Jika hidup kita terisi pegalaman baik dan buruk, maka hidup kita menjadi lebih berwarna. Berbagai cerita dan pelajaran hidup menghiasi lukisan dalam bingkai kehidupan kita

Seperti halnya epilepsi. Awalnya dia membuatku putus asa, malu, sampai khawatir akan masa depan. Tetapi ternyata epilepsi jugalah yang menuntunku menjadi seseorang yang pantang menyerah, sabar, serta menuntunku untuk menemukan pasangan hidup dan pekerjaan (ada di cerita #20-#26)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar