Setelah lulus S2 psikologi klinis, aku mulai
mencari pekerjaan. Satu-satu nya hal yang ada dalam mind setku saat itu adalah
menjadi dosen. Sepertinya pekerjaan menjadi dosen adalah satu-satunya hal yang
pas bagiku dengan pertimbangan dua hal, pertama aku lulus magister sains
psikologi, dan minatku yang tinggi terhadap penelitian perilaku manusia dalam
berbagai hal.
Di saat itu aku pun menemukan beberapa lowongan
dosen di perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) di
Indonesia. Aku memasukkan lamaran pekerjaan ke beberapa PTN & PTS. Koneksi
yang aku miliki dalam dunia akademis dari orang tua ataupun teman-teman dapat
membantu proses lamaran pekerjaan ini menjadi lebih mudah. Aku pun tidak perlu
khawatir lagi dengan pekerjaan di luar Yogyakarta, mengingat kondisiku sudah
sehat dan aku bisa hidup mandiri. Justru saat itu aku sangat ingin bekerja di
luar Yogyakarta, aku sudah jenuh dan ingin move on dari lingkungan yang
mengingatkanku tentang epilepsi.
Setelah menjalani proses recruitment di beberapa
PTN dan PTS, akhirnya aku diterima bekerja menjadi dosen di Fakultas Psikologi
PTS di Universitas Gunadarma Depok Jawa Barat. Keputusan ini aku dapatkan di akhir 2009, dan aku
sudah harus mulai mengajar di semester genap januari 2010. Sebagai persyaratan
administrasi tambahan, aku juga diminta untuk segera menjalani tes kesehatan
sebelum mengajar.
Pada awal Januari 2010, aku menjalani tes
kesehatan di poliklinik milik PTS yang aku lamar di daerah tanjung duren
Jakarta. Sebelum menjalani tes daah dan urine, aku sempat khawatir......
Apakah riwayat epilepsi ku akan terdeteksi melalui tes ini?
Dan jika terdeteksi apakah ini berpenngaruh terhadap pekerjaanku sebagai dosen?
Haruskah aku jujur tentang riwayat epilepsiku?
Apakah riwayat epilepsi ku akan terdeteksi melalui tes ini?
Dan jika terdeteksi apakah ini berpenngaruh terhadap pekerjaanku sebagai dosen?
Haruskah aku jujur tentang riwayat epilepsiku?
Papa sempat berpesan, ”Ketika sedang menjalani proses
recruitment pekerjaan, jika ditanya tentang riwayat kesehatan, bilang saja
bahwa kamu sehat, dan tidak memiliki penyakit apapun”
Saat itu aku memahami pesan papa, bahwa riwayat
epilepsi bisa menjadi penghambat dalam melamar pekerjaan. Di sisi lain, aku
juga berpendapat bahwa jika saat ini kita berbohong tentang riwayat kesehatan
kita, maka suatu saat jika ketahuan maka kita terancam diberhentikan dari
pekerjaan. Sama seperti asuransi kesehatan, jika di awal aku tidak jujur, maka
suatu saat jika aku sudah mendapatkan asuransi dan ternyata bermasalah lagi
dengan epilepsi, asuransiku dapat diberhentikan seketika sesuai kesepakatan
bersama.
Aku beruntung saat itu petugas kesehatan tidak
bertanya apa-apa tentang riwayat kesehatanku. Si bapak petugas hanya meminta ku
untuk menyiapkan urine dan duduk untuk diambil darah. Setelah itu petugas
kesehatan memberiku form untuk diisi. Ketika aku melihat form, aku menyadari
bahwa hal yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Aku melihat satu pernyataan
tentang riwayat epilepsi. Aku diminta untuk mengisi form ini sejujur-jujurnya.
Harus kah aku jujur tentang riwayat epilepsiku?
Tidak ingin mengulangi pikiran negatif di masa
lalu, aku harus bisa jujur terhadap diriku sendiri. Selain itu aku juga
menyakini bahwa berbohong bukanlah hal baik. Aku pun mengisi form dengan
menceritakan riwayat epilepsiku dengan detail sampai proses operasi bedah syaraf, dan saat
ini aku sudah bebas serangan dan bebas obat. Harapanku semoga dengan penekanan
pada kondisi ’bebas serangan dan bebas obat’, membuat orang universitas terbuka
menerima ku apa adanya.
Sampai beberapa minggu pasca tes kesehatan, aku
tidak mendapatkan konfirmasi apapun dari bagian administrasi universitas. Aku
rasa mereka tidak bermasalah dengan kondisiku. Hal ini terbukti dari perbincanganku
dengan seseorang dari admin universitas beberapa bulan kemudian. Ia mengetahui
dan menyadari riwayat epilepsiku, namun sesuai ketentuan dari Universitas, tes
kesehatan hanya digunakan sebagai pencatatan riwayat kesehatan saja. Tidak
mempengaruhi keputusan penerimaan dosen, sepanjang kompetensi dosen sudah
memenuhi syarat. Aku pun lega mendengarnya.
***
Akhir januari 2010, aku mulai mengajar di semester
genap. Ini adalah awal di mana aku hidup sendiri dan mandiri tanpa bantuan
orang tua. Aku merasakan bagaimana harus menyiapkan berbagai hal sendiri untuk
kehidupan sehari-hari. Agak sulit awalnya, tetapi aku harus melakukannya, agar
kedepannya aku bisa hidup mandiri.
Mata kuliah yang aku pegang adalah modifikasi
perilaku dan penulisan ilmiah (semacam penyusunan proposal skripsi). Materi
pelajaran kuliah bukanlah hal yang sulit didapatkan karena aku juga sudah
pernah menempuh mata kulih tersebut di level S1 and S2. Tantangan terberat
adalah menemukan metode mengajar yang pas.
Di hari pertama aku masuk kelas, tatapan heran
kutemukan dari raut wajah para mahasiswa. Seolah-olah mereka tidak yakin bahwa
akulah sang dosen. Mungkin karena wajahku saat itu masih terlalu muda untuk
menjadi dosen. Aku dirasa lebih cocok menjadi kakak kelas mereka. Aku pun segera
memperkenalkan diri, dan mereka yakin bahwa aku lah dosen yang akan mengajar
mereka.
Setelah beberapa sesi mengajar, aku dan para
mahasiswa mulai saling mengenal lebih dekat. Beberapa mahasiswa mulai berani
memberikan komentar positif dan negatif tentang ku. Komentar negatif biasanya
berhubungan dengan metode mengajar, seperti penyampaian materi kuliah yang
terlalu cepat, suara kurang keras, bahasa yang sulit dipahami, dll. Feedback
ini menjadi masukan yang baik bagi ku untuk menemukan cara mengajar yang pas.
Komentar positif berhubungan dengan penampilan,
kemudahan dihubungi, dan up to date. Rupanya penampilan seorang dosen adalah
hal yang penting bagi mahasiswa psikologi yang mayoritas perempuan. Selain itu
aku juga terbiasa mengupload materi kuliah di web sebelum hari h mengajar,
dengan harapan mahasiswa dapat mendownload dan mempelajarinya sebelum kuliah.
Metode ini rupanya membantu para mahasiswa, dan mereka tidak mendapatkan hal
ini dari dosen-dosen yang usianya lebih tua dariku. Di sisi lain, metode online
ini juga membuat mahasiswa berpikir dua kali untuk berbuat curang seperti
melakukan plagiat. Aku dengan mudah dapat membuktikan mereka melakukan plagiat
dengan search materi yang sama persis dengan materi mereka melalui google.
***
Di hari kerja aku bekerja mengajar, sedangkan di
hari libur aku beberapa kali terlibat dalam kegiatan Yayasan Epilepsi Indonesia
(YEI). Setelah mengetahui bahwa aku saat ini sudah pindah ke Jakarta, dr
Irawaty Hawari Sp.S (Ketua umum YEI), jadi sering mengundangku untuk hadir
dalam acara YEI. Di sini aku bertemu dengan rekan-rekan sesama ODE. Jika
dibandingkan dengan rekan-rekan ODE yang lain, aku melihat bahwa aku adalah ODE
yang beruntung. Aku bisa bebas serangan dan kini bisa hidup & bekerja
mandiri. Sedangkan ODE lain, masih belum bisa hidup mandiri karena masih sering
terkena serangan kejang.
Pada tahun 2010 ini kebetulan juga sedang ada
pergantian pengurus YEI. Aku pun diminta pertolongan dr Ira untuk menjadi
sekretaris umum di YEI. Aku sanggupi permintaan ini. Ternyata aku memang tidak
bisa lepas dari epilepsi. Walaupun dulu niatku pindah keluar Yogyakarta adalah
karena jenuh dengan epilepsi, sampai Jakarta ternyata aku juga masih terlibat
dalam kegiatan YEI. Aku pun menerima ’kehadiran’ epilepsi kembali dengan lapang
dada.
Dalam kepengurusan terbaru ini aku bertemu dengan
Ibu Nur Arifah Drajati. Aku dulu sering berkomunikasi dengan beliau via email.
Saat ini kami bertemu langsung, dan kami sama-sama diminta membantu menjadi
pengurus YEI. Berikutnya aku jadi sering bertemu beliau dalam acara YEI, dan
ternyata pada saatnya nanti beliau memiliki peran yang besar dalam cerita
hidupku.
***
Kesibukanku sebagai dosen bertambah setelah aku
direkomendasikan untuk mempuh S3 psikologi di Universitas tempatku mengajar. Aku
harus mempersiapkan segala tulisan ilmiah sebagai persyaratan awal sebelum
menempuh program doktor.
Di kesempatan yang sama, aku juga mendapat
undangan dari panitia kongres epilepsi asia-pasifik untuk mengumpulkan materi
presentasi yang akan mereka seleksi untuk dipresentasikan di Melbourne
Australia pada bulan oktober 2010. Aku sambut baik kesempatan ini. Aku segera
kirimkan abstract tesisku tentang kualitas hidup Orang Dengan Epilepsi (ODE)
kepada panitia. Pengalaman presentasi di seminar dan karya ku yang
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dapat membantu meningkatkan karir di bidang
akademis, sekaligus memenuhi prasyarat studi S3.
Pada bulan Juni 2010, kabar baik itu datang. Paper ku lolos seleksi dan diundang untuk mempresentasikannya di Melbourne. Selain itu aku juga mendapatkan travel bursery award, semacam bantuan dana dari panitia untuk hadir di Melbourne. Ternyata sekali lagi, epilepsi membantuku. Kali ini membantu dalam perekembangan karirku.
***
Setelah selesai mengajar semester genap di pertengahan
2010, aku mulai merasakan kejenuhan. Ada
beberapa hal penyebabnya. Pertama, jam kerja dosen hanya saat mengajar, sisanya
kosong. Biasanya aku isi dengan mempersiapkan material untuk presentasi di
Melbourne. Tapi setelah selesai, aku tidak ada pekerjaan lagi. Rasanya stress
sendiri kalau tidak bekerja. Kejenuhan ini mencapai puncaknya di bulan
juni-juli saat mahasiswa libur. Artinya aku tidak mengajar (menganggur) selama
hampir 2 bulan.
Kedua, aku merasa bahwa aku hanya mentransfer
hafalan materi kuliah dari buku kepada mahasiswa. Ini adalah hal yang
sebenarnya dapat dilakukan sendiri oleh mahasiswa. Aku merasa bahwa aku belum
pantas mengajar. Aku hanya pantas mengajar ketika aku sudah memiliki banyak
pengalaman dalam pekerjaan dan kehidupan, sehingga nantinya aku tidak hanya
sekedar mentransfer materi kuliah, tetapi juga memberikan ilmu tentang
bagaimana menerapkan materi kuliah dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari.
Rasa galau ini membuatku membuka diri kembali
terhadap bidang pekerjaan lain selain dosen. Tetapi aku masih mencari bidang
pekerjaan apa yang pas dengan minatku pada penelitian. Sampai akhirnya aku
menemukan lowongan pekerjaan untuk menjadi marketing researcher di Ipsos, sebuah lembaga
konsultan internasional dari Perancis. Ketika aku baca deskripsi pekerjaannya,
aku rasa ini adalah pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bidang studiku.
Pekerjaan sehari-hari adalah melakukan riset perilaku konsumen. Tanpa pikir
panjang lagi, aku pun langsung mengirimkan surat lamaran pekerjaan kepada
market research agency tersebut. Dua minggu sebelum keberangkatan ke Melbourne,
aku mendapat undangan interview dari mereka. Aku pun menyanggupi untuk
interview sepulang dari Melbourne.
***
Presentasi di Melbourne adalah suatu hal yang baru
bagiku. Aku harus mempresentasikan paper di depan banyak orang dari berbagai
negara dalam bahasa inggris. Hanya sedikit orang dari Indonesia yang
mempresentasikan tema epilepsi di Indonesia, aku salah satunya. Melihat hal ini
aku sedikit sedih, karena negara lain memiliki banyak perwakilan untuk
mempresentasikan situasi dan kemajuan terapi epilepsi di negara masing-masing.
Aku pun berjanji pada diriku, bahwa ini bukanlah seminar terakhirku. Aku akan
terus mengirimkan paper hasil penelitian terbaru ke dalam seminar-semiar
epilepsi Internasional, agar makin banyak orang aware tentang kondisi epilepsi
dan ODE di Indonesia.
Kongres epilepsi di Melbourne berjalan selama 4
hari, dan aku presentasi di hari ke 3 dalam sesi dengan tema sosial issues.
Overall presentasiku di Melbourne berjalan dengan lancar, walaupun sempat menemukan kesulitan untuk menjawab pertanyaan terakhir dari audiens. Tetapi pada akhirnya
aku mampu memberikan jawaban yang memuaskan.
***
Sepulang dari Melbourne, aku mulai mempersiapkan
diri untuk interview di Ipsos, sebuah global marketing research agency dari Perancis. Aku buka-buka lagi buku tentang riset dan
statistik. Materi tersebut aku pelajari untuk persiapan interview, sekaligus
persiapan mengajar di semester kedua. Kebetulan aku diminta untuk menyampaikan
materi Psikologi Eksperimen.
Aku harus menunjukkan performance terbaik dalam sesi
interview agar aku bisa diterima kerja. Nantinya pekerjan ini bisa aku lakukan
bersama dengan pekerjaan mengajar. Senin sampai jumat bekerja kantoran, dan
hari sabtu mengajar setengah hari. Itulah yang ada di dalam benakku saat itu.
Aku berdoa sekali lagi kepada Allah, semoga tidak ada pertanyaan tentang riwayat epilepsi saat interview nanti. Semoga perusahaan ini adalah perusahaan yang lebih mementingkan skill karwayannya daripada histori kesehatan karyawannya. Amin.
Terima kasih ya Allah... menyempatkan kita bertemu dan berteman ya aska...aska telah membawa jawaban dari pertanyaan2 yg telah tersimpan bertahun2..banyak pelajaran dan pengalaman berharga yg aku dapat dari kamu, terima kasih. Teruskan menulis blognya ya...ngak pernah melewatkan tulisanmu di blog ini. Semoga aska dan keluarga selalu diberikan perlindungan dr Allah SWT...amin.
BalasHapusTerima kasih ya Allah... menyempatkan kita bertemu dan berteman ya aska...aska telah membawa jawaban dari pertanyaan2 yg telah tersimpan bertahun2..banyak pelajaran dan pengalaman berharga yg aku dapat dari kamu, terima kasih. Teruskan menulis blognya ya...ngak pernah melewatkan tulisanmu di blog ini. Semoga aska dan keluarga selalu diberikan perlindungan dr Allah SWT...amin.
BalasHapusAmin. Terima kasih doanya. Alhamdulillah, senang rasanya jika tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga kita semua bisa survive untuk hidup bersama epilepsi
HapusPengalaman Aska membuat saya merasa tidak sendiri. Terima kasih untuk sharingnya. kapan2 ke Bdg kabarin ya.. thx
BalasHapus