Selasa, 09 Februari 2016

#20 Job interview: Harus kah aku jujur tetang riwayat epilepsi?

Setelah lulus S2 psikologi klinis, aku mulai mencari pekerjaan. Satu-satu nya hal yang ada dalam mind setku saat itu adalah menjadi dosen. Sepertinya pekerjaan menjadi dosen adalah satu-satunya hal yang pas bagiku dengan pertimbangan dua hal, pertama aku lulus magister sains psikologi, dan minatku yang tinggi terhadap penelitian perilaku manusia dalam berbagai hal.

Di saat itu aku pun menemukan beberapa lowongan dosen di perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia. Aku memasukkan lamaran pekerjaan ke beberapa PTN & PTS. Koneksi yang aku miliki dalam dunia akademis dari orang tua ataupun teman-teman dapat membantu proses lamaran pekerjaan ini menjadi lebih mudah. Aku pun tidak perlu khawatir lagi dengan pekerjaan di luar Yogyakarta, mengingat kondisiku sudah sehat dan aku bisa hidup mandiri. Justru saat itu aku sangat ingin bekerja di luar Yogyakarta, aku sudah jenuh dan ingin move on dari lingkungan yang mengingatkanku tentang epilepsi.

Setelah menjalani proses recruitment di beberapa PTN dan PTS, akhirnya aku diterima bekerja menjadi dosen di Fakultas Psikologi PTS di Universitas Gunadarma Depok Jawa Barat. Keputusan ini aku dapatkan di akhir 2009, dan aku sudah harus mulai mengajar di semester genap januari 2010. Sebagai persyaratan administrasi tambahan, aku juga diminta untuk segera menjalani tes kesehatan sebelum mengajar.

Pada awal Januari 2010, aku menjalani tes kesehatan di poliklinik milik PTS yang aku lamar di daerah tanjung duren Jakarta. Sebelum menjalani tes daah dan urine, aku sempat khawatir......

Apakah riwayat epilepsi ku akan terdeteksi melalui tes ini? 

Dan jika terdeteksi apakah ini berpenngaruh terhadap pekerjaanku sebagai dosen? 

Haruskah aku jujur tentang riwayat epilepsiku?

Papa sempat berpesan, ”Ketika sedang menjalani proses recruitment pekerjaan, jika ditanya tentang riwayat kesehatan, bilang saja bahwa kamu sehat, dan tidak memiliki penyakit apapun”

Saat itu aku memahami pesan papa, bahwa riwayat epilepsi bisa menjadi penghambat dalam melamar pekerjaan. Di sisi lain, aku juga berpendapat bahwa jika saat ini kita berbohong tentang riwayat kesehatan kita, maka suatu saat jika ketahuan maka kita terancam diberhentikan dari pekerjaan. Sama seperti asuransi kesehatan, jika di awal aku tidak jujur, maka suatu saat jika aku sudah mendapatkan asuransi dan ternyata bermasalah lagi dengan epilepsi, asuransiku dapat diberhentikan seketika sesuai kesepakatan bersama.

Aku beruntung saat itu petugas kesehatan tidak bertanya apa-apa tentang riwayat kesehatanku. Si bapak petugas hanya meminta ku untuk menyiapkan urine dan duduk untuk diambil darah. Setelah itu petugas kesehatan memberiku form untuk diisi. Ketika aku melihat form, aku menyadari bahwa hal yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Aku melihat satu pernyataan tentang riwayat epilepsi. Aku diminta untuk mengisi form ini sejujur-jujurnya. Harus kah aku jujur tentang riwayat epilepsiku?

Tidak ingin mengulangi pikiran negatif di masa lalu, aku harus bisa jujur terhadap diriku sendiri. Selain itu aku juga menyakini bahwa berbohong bukanlah hal baik. Aku pun mengisi form dengan menceritakan riwayat epilepsiku dengan detail sampai proses operasi bedah syaraf, dan saat ini aku sudah bebas serangan dan bebas obat. Harapanku semoga dengan penekanan pada kondisi ’bebas serangan dan bebas obat’, membuat orang universitas terbuka menerima ku apa adanya.

Sampai beberapa minggu pasca tes kesehatan, aku tidak mendapatkan konfirmasi apapun dari bagian administrasi universitas. Aku rasa mereka tidak bermasalah dengan kondisiku. Hal ini terbukti dari perbincanganku dengan seseorang dari admin universitas beberapa bulan kemudian. Ia mengetahui dan menyadari riwayat epilepsiku, namun sesuai ketentuan dari Universitas, tes kesehatan hanya digunakan sebagai pencatatan riwayat kesehatan saja. Tidak mempengaruhi keputusan penerimaan dosen, sepanjang kompetensi dosen sudah memenuhi syarat. Aku pun lega mendengarnya.

***

Akhir januari 2010, aku mulai mengajar di semester genap. Ini adalah awal di mana aku hidup sendiri dan mandiri tanpa bantuan orang tua. Aku merasakan bagaimana harus menyiapkan berbagai hal sendiri untuk kehidupan sehari-hari. Agak sulit awalnya, tetapi aku harus melakukannya, agar kedepannya aku bisa hidup mandiri.

Mata kuliah yang aku pegang adalah modifikasi perilaku dan penulisan ilmiah (semacam penyusunan proposal skripsi). Materi pelajaran kuliah bukanlah hal yang sulit didapatkan karena aku juga sudah pernah menempuh mata kulih tersebut di level S1 and S2. Tantangan terberat adalah menemukan metode mengajar yang pas.

Di hari pertama aku masuk kelas, tatapan heran kutemukan dari raut wajah para mahasiswa. Seolah-olah mereka tidak yakin bahwa akulah sang dosen. Mungkin karena wajahku saat itu masih terlalu muda untuk menjadi dosen. Aku dirasa lebih cocok menjadi kakak kelas mereka. Aku pun segera memperkenalkan diri, dan mereka yakin bahwa aku lah dosen yang akan mengajar mereka.

Setelah beberapa sesi mengajar, aku dan para mahasiswa mulai saling mengenal lebih dekat. Beberapa mahasiswa mulai berani memberikan komentar positif dan negatif tentang ku. Komentar negatif biasanya berhubungan dengan metode mengajar, seperti penyampaian materi kuliah yang terlalu cepat, suara kurang keras, bahasa yang sulit dipahami, dll. Feedback ini menjadi masukan yang baik bagi ku untuk menemukan cara mengajar yang pas.

Komentar positif berhubungan dengan penampilan, kemudahan dihubungi, dan up to date. Rupanya penampilan seorang dosen adalah hal yang penting bagi mahasiswa psikologi yang mayoritas perempuan. Selain itu aku juga terbiasa mengupload materi kuliah di web sebelum hari h mengajar, dengan harapan mahasiswa dapat mendownload dan mempelajarinya sebelum kuliah. Metode ini rupanya membantu para mahasiswa, dan mereka tidak mendapatkan hal ini dari dosen-dosen yang usianya lebih tua dariku. Di sisi lain, metode online ini juga membuat mahasiswa berpikir dua kali untuk berbuat curang seperti melakukan plagiat. Aku dengan mudah dapat membuktikan mereka melakukan plagiat dengan search materi yang sama persis dengan materi mereka melalui google.

***

Di hari kerja aku bekerja mengajar, sedangkan di hari libur aku beberapa kali terlibat dalam kegiatan Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI). Setelah mengetahui bahwa aku saat ini sudah pindah ke Jakarta, dr Irawaty Hawari Sp.S (Ketua umum YEI), jadi sering mengundangku untuk hadir dalam acara YEI. Di sini aku bertemu dengan rekan-rekan sesama ODE. Jika dibandingkan dengan rekan-rekan ODE yang lain, aku melihat bahwa aku adalah ODE yang beruntung. Aku bisa bebas serangan dan kini bisa hidup & bekerja mandiri. Sedangkan ODE lain, masih belum bisa hidup mandiri karena masih sering terkena serangan kejang.

Pada tahun 2010 ini kebetulan juga sedang ada pergantian pengurus YEI. Aku pun diminta pertolongan dr Ira untuk menjadi sekretaris umum di YEI. Aku sanggupi permintaan ini. Ternyata aku memang tidak bisa lepas dari epilepsi. Walaupun dulu niatku pindah keluar Yogyakarta adalah karena jenuh dengan epilepsi, sampai Jakarta ternyata aku juga masih terlibat dalam kegiatan YEI. Aku pun menerima ’kehadiran’ epilepsi kembali dengan lapang dada.

Dalam kepengurusan terbaru ini aku bertemu dengan Ibu Nur Arifah Drajati. Aku dulu sering berkomunikasi dengan beliau via email. Saat ini kami bertemu langsung, dan kami sama-sama diminta membantu menjadi pengurus YEI. Berikutnya aku jadi sering bertemu beliau dalam acara YEI, dan ternyata pada saatnya nanti beliau memiliki peran yang besar dalam cerita hidupku.

***

Kesibukanku sebagai dosen bertambah setelah aku direkomendasikan untuk mempuh S3 psikologi di Universitas tempatku mengajar. Aku harus mempersiapkan segala tulisan ilmiah sebagai persyaratan awal sebelum menempuh program doktor.

Di kesempatan yang sama, aku juga mendapat undangan dari panitia kongres epilepsi asia-pasifik untuk mengumpulkan materi presentasi yang akan mereka seleksi untuk dipresentasikan di Melbourne Australia pada bulan oktober 2010. Aku sambut baik kesempatan ini. Aku segera kirimkan abstract tesisku tentang kualitas hidup Orang Dengan Epilepsi (ODE) kepada panitia. Pengalaman presentasi di seminar dan karya ku yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dapat membantu meningkatkan karir di bidang akademis, sekaligus memenuhi prasyarat studi S3.

Pada bulan Juni 2010, kabar baik itu datang. Paper ku lolos seleksi dan diundang untuk mempresentasikannya di Melbourne. Selain itu aku juga mendapatkan travel bursery award, semacam bantuan dana dari panitia untuk hadir di Melbourne. Ternyata sekali lagi, epilepsi membantuku. Kali ini membantu dalam perekembangan karirku.



***

Setelah selesai mengajar semester genap di pertengahan 2010, aku mulai merasakan kejenuhan.  Ada beberapa hal penyebabnya. Pertama, jam kerja dosen hanya saat mengajar, sisanya kosong. Biasanya aku isi dengan mempersiapkan material untuk presentasi di Melbourne. Tapi setelah selesai, aku tidak ada pekerjaan lagi. Rasanya stress sendiri kalau tidak bekerja. Kejenuhan ini mencapai puncaknya di bulan juni-juli saat mahasiswa libur. Artinya aku tidak mengajar (menganggur) selama hampir 2 bulan.

Kedua, aku merasa bahwa aku hanya mentransfer hafalan materi kuliah dari buku kepada mahasiswa. Ini adalah hal yang sebenarnya dapat dilakukan sendiri oleh mahasiswa. Aku merasa bahwa aku belum pantas mengajar. Aku hanya pantas mengajar ketika aku sudah memiliki banyak pengalaman dalam pekerjaan dan kehidupan, sehingga nantinya aku tidak hanya sekedar mentransfer materi kuliah, tetapi juga memberikan ilmu tentang bagaimana menerapkan materi kuliah dalam dunia kerja dan kehidupan sehari-hari.

Rasa galau ini membuatku membuka diri kembali terhadap bidang pekerjaan lain selain dosen. Tetapi aku masih mencari bidang pekerjaan apa yang pas dengan minatku pada penelitian. Sampai akhirnya aku menemukan lowongan pekerjaan untuk menjadi marketing researcher di Ipsos, sebuah lembaga konsultan internasional dari Perancis. Ketika aku baca deskripsi pekerjaannya, aku rasa ini adalah pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bidang studiku. Pekerjaan sehari-hari adalah melakukan riset perilaku konsumen. Tanpa pikir panjang lagi, aku pun langsung mengirimkan surat lamaran pekerjaan kepada market research agency tersebut. Dua minggu sebelum keberangkatan ke Melbourne, aku mendapat undangan interview dari mereka. Aku pun menyanggupi untuk interview sepulang dari Melbourne.

***

Presentasi di Melbourne adalah suatu hal yang baru bagiku. Aku harus mempresentasikan paper di depan banyak orang dari berbagai negara dalam bahasa inggris. Hanya sedikit orang dari Indonesia yang mempresentasikan tema epilepsi di Indonesia, aku salah satunya. Melihat hal ini aku sedikit sedih, karena negara lain memiliki banyak perwakilan untuk mempresentasikan situasi dan kemajuan terapi epilepsi di negara masing-masing. Aku pun berjanji pada diriku, bahwa ini bukanlah seminar terakhirku. Aku akan terus mengirimkan paper hasil penelitian terbaru ke dalam seminar-semiar epilepsi Internasional, agar makin banyak orang aware tentang kondisi epilepsi dan ODE di Indonesia.







Kongres epilepsi di Melbourne berjalan selama 4 hari, dan aku presentasi di hari ke 3 dalam sesi dengan tema sosial issues. Overall presentasiku di Melbourne berjalan dengan lancar, walaupun sempat menemukan kesulitan untuk menjawab pertanyaan terakhir dari audiens. Tetapi pada akhirnya aku mampu memberikan jawaban yang memuaskan.

***

Sepulang dari Melbourne, aku mulai mempersiapkan diri untuk interview di Ipsos, sebuah global marketing research agency dari Perancis. Aku buka-buka lagi buku tentang riset dan statistik. Materi tersebut aku pelajari untuk persiapan interview, sekaligus persiapan mengajar di semester kedua. Kebetulan aku diminta untuk menyampaikan materi Psikologi Eksperimen.

Aku harus menunjukkan performance terbaik dalam sesi interview agar aku bisa diterima kerja. Nantinya pekerjan ini bisa aku lakukan bersama dengan pekerjaan mengajar. Senin sampai jumat bekerja kantoran, dan hari sabtu mengajar setengah hari. Itulah yang ada di dalam benakku saat itu.


Aku berdoa sekali lagi kepada Allah, semoga tidak ada pertanyaan tentang riwayat epilepsi saat interview nanti. Semoga perusahaan ini adalah perusahaan yang lebih mementingkan skill karwayannya daripada histori kesehatan karyawannya. Amin.

4 komentar:

  1. Terima kasih ya Allah... menyempatkan kita bertemu dan berteman ya aska...aska telah membawa jawaban dari pertanyaan2 yg telah tersimpan bertahun2..banyak pelajaran dan pengalaman berharga yg aku dapat dari kamu, terima kasih. Teruskan menulis blognya ya...ngak pernah melewatkan tulisanmu di blog ini. Semoga aska dan keluarga selalu diberikan perlindungan dr Allah SWT...amin.

    BalasHapus
  2. Terima kasih ya Allah... menyempatkan kita bertemu dan berteman ya aska...aska telah membawa jawaban dari pertanyaan2 yg telah tersimpan bertahun2..banyak pelajaran dan pengalaman berharga yg aku dapat dari kamu, terima kasih. Teruskan menulis blognya ya...ngak pernah melewatkan tulisanmu di blog ini. Semoga aska dan keluarga selalu diberikan perlindungan dr Allah SWT...amin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin. Terima kasih doanya. Alhamdulillah, senang rasanya jika tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga kita semua bisa survive untuk hidup bersama epilepsi

      Hapus
  3. Pengalaman Aska membuat saya merasa tidak sendiri. Terima kasih untuk sharingnya. kapan2 ke Bdg kabarin ya.. thx

    BalasHapus