Rabu, 10 Februari 2016

#21 LovEpilepsy

7 Agustus 2010
Di hari itu aku menghadiri acara pertemuan rutin 3 bulanan antar anggota Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI) di daerah Kalibata. Acara berjalan seperti biasa, berisi talkshow dengan topik seputar hidup sehat dengan epilepsi. Dalam acara ini aku bertemu lagi dengan Ibu Nur Arifah Drajati. Ibu Arifah masih tetap bersemangat untuk mencari solusi gangguan epilepsi yang dialami oleh anak perempuannya.

Setelah acara pertemuan selesai, Ibu Arifah tiba-tiba mendatangiku dan bermaksud ingin menumpang mobilku sampai semanggi. Hal ini bukanlah masalah bagiku, karena aku juga memang berencana akan pergi ke daerah senayan melewati semanggi. Aku pun menyanggupinya.

Sepanjang perjalanan, kami membicarakan banyak hal, tapi satu hal yang paling kuingat adalah pertanyaan dia yang muncul tiba-tiba

 “ Aska, kamu sudah punya pacar belum?”. Pertanyaan ini muncul saat kami sedang terkena macet di bawah tugu Pancoran.

“Belum,…….”

 “Masa belum punya? Kan kamu udah bekerja & tinggal mandiri di Jakarta?” , Tanya dia

“Belum ketemu calon yang cocok. Ada sih temen dosen ataupun mahasiswi yang berusaha pdkt dengan ku. Tapi tidak ah, kurang pas untuk kriteria istri”.

“Hmm…kalau begitu, mau tidak saya kenalkan dengan mantan murid SMA saya?”

“mantan murid?”, tanyaku

“Pekerjaan saya kan guru bahasa inggris di SMU Lab School rawamangun. Beberapa waktu yang lalu mantan murid saya datang ke sekolah, dia baru saja wisuda dari teknik industri Institut Teknologi Bandung (ITB)”, Ibu Arifah semangat mempromosikan mantan muridnya.

“Dulu semasa SMA dia termasuk anak pintar di kelas, dan sekarang terbukti dia adalah mahasiswa pertama dari angkatannya yang berhasil lulus”

Aku mulai tertarik dengan sosok yang dia bahas. “Emang dia belum punya pacar?”

“Kemarin waktu datang ke sekolah, dia bercerita kalau sudah putus dengan pacarnya beberapa bulan yang lalu sebelum wisuda. Jadi sekarang dia single. Minta dibantu dicarikan jodoh“

Aku jadi penasaran dengan gadis ini. Seperti apa orangnya?

“Umur kamu berapa?”, Tanya Ibu Arifah.

“26 tahun, saya kelahiran tahun 1984”.

“Hmmm….dia kelahiran tahun 1989, usianya 5 tahun lebih muda daripada usiamu. Cukup lah, jarak usia kalian tidak terlalu dekat & juga tidak terlalu jauh. Dia masih berumur 21 tahun, tapi dia sudah lulus kuliah. Gimana, mau saya kenalkan?”  

“Boleh tuh bu, dikenalin ke saya”, jawabku. Tidak ada salahnya berkenalan dengan seseorang. Kalau cocok mungkin bisa jadi pasangan hidup, namun kalau tidak bisa menjadi teman. Untuk tahu cocok atau tidak, aku harus bertemu dengan orangnya terlebih dahulu.

“Ok, kalau begitu nanti saya kenalkan via Facebook ya. Kita udah temenan kan di Facebook?”

“Iya bu, saya tunggu”

Kami pun sampai di daerah semanggi, dan Ibu Arifah bergegas turun dari mobilku.

Apa ada seorang gadis normal yang mau berpasangan dengan ODE sepertiku?

***

16 Agustus 2010.
Setelah beberapa hari ku tunggu, akhirnya message dari Ibu Arifah pun masuk ke dalam inbox ku di Facebook. Hanya ada 1 kalimat dalam message itu, “Coba kamu cari nama Eldiani Putri, di friend list saya, dan silahkan add dia”.

Aku pun mencari dan menemukan nama Eldiani Putri dalam friend list. Profile picturenya bukan gambar seorang gadis, tetapi foto keluarga yang beranggotakan 4 orang. Bapak, ibu, anak perempuan dengan baju toga wisuda, dan anak laki-laki. Aku pun langsung sadar bahwa perempuan berbaju toga itulah yang dimaksud oleh Ibu Arifah.

Aku buka profil dia, dan aku lihat foto-foto dia yang lain. Aku hanya bisa tersenyum malu melihat kecantikan wajahnya di beberapa foto. Kecantikannya membuatku resah, “apakah dia mau punya suami ODE?”

Aku tekankan pada diriku bahwa saat ini tidak perlu memikirkan pernikahan. Coba saja mulai mengenal dia lebih lanjut. Aku pun langsung add dia as a friend.

15 menit kemudian muncul notifikasi di Facebook bahwa dia approve. Sekarang aku dan dia menjadi teman. Bagaimana selanjutnya?

Sebagai laki-laki aku merasa harus memulai percakapan terlebih dahulu dengan dia. Tapi bagaimana cara memulainya? Topik apa yang bisa dibahas dengan dia? Sedangkan aku belum banyak mengenal dia.

***

17 Agustus 2010
Aku pun terpikirkan untuk mengumpulkan segala macam informasi tentang dia. Cara paling mudah adalah ketik nama dia di google. Setelah kuketik namanya, muncul berbagai macam informasi. Aku menemukan tulisan dia di blog, segala info tetang aktivitas dia di twitter & instagram,  sampai tempat-tempat yang sering dia kunjungi di foursquare. Agak mengerikan juga, karena sebenarnya orang lain juga bisa melakukan hal yang sama pada diriku. Di zaman teknologi informasi saat ini, semua informasi tersebar luas di berbagai website.  

Aku sudah melihat semuanya, namun aku tetap belum bisa menemukan topik yang pas untuk dibahas. Aku buka profile dia di FB sekali lagi dan aku menemukan tulisan-tulisan dia dengan berbagai tema. Aku pun menemukan tulisan dia yang menarik untuk dibahas, yaitu tulisan tentang pekerjaan. Saat itu aku sedang mempertimbangkan untuk resign dari pekerjaanku sebagai dosen, dan dia sedang dalam proses mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Tampaknya ini adalah topik yang pas untuk kami bahas.

***

18 Agustus 2010
Di hari ini aku mulai menyusun first message untuk Eldiani Putri. Jika ingin orang lain terbuka dengan kita, maka kita harus memulai terbuka kepadanya terlebih dahulu. Aku isi first message dengan salam perkenalan, dan juga komentarku pada tulisan dia tentang pekerjaan.

Setelah selesai menulis, langsung segera aku klik tombol “send”. Pesan pertamaku sudah terkirim. Beberapa menit kemudian, aku bermaksud untuk log out FB dan mematikan laptop. Tak diduga, tiba-tiba aku langsung mendapat pesan balasan dari Eldiani Putri.

Dia menyambut baik pesanku, dan minta dipanggil “Putri” saja. Sejak saat itu aku mulai sering berkomunikasi dengan Putri. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari keluarga, sekolah, buku, musik, dll. Setelah intensif berkomunikasi dengan dia, aku pun memberanikan diri untuk mengajak dia bertemu setelah lebaran 2010. Dia pun menyanggupinya.

25 September 2010
Di pagi hari aku masih harus mengajar psikologi eksperimen 2 kelas, namun aku tetap bersemangat sampai kelas ke 2, karena di sore harinya aku akan bertemu dengan Putri.

Pertemuan pertama kami di Gramedia Mall Kelapa Gading. Aku menemukan dia sedang tertawa sendiri membaca komik. Ini adalah kejadian yang menurut dia memalukan. Kami saling menyapa, dan berpindah tempat ke café untuk mengobrol.

Di dalam obrolan kami muncul satu pertanyaan yang aku khawatirkan:

“Mas Aska, bagaimana ceritanya bisa kenal dengan Ibu Arifah?”, Tanya dia

Aku meyakinkan diriku bahwa aku harus jujur kepadanya. Jujur bercerita bahwa aku adalah ODE. Kalau dia memang jodohku, maka nantinya dia juga akan hidup bersamaku, dia kan menjadi istri dari ODE.

"Aku mengenal Ibu Arifah dari Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI). Aku adalah pengurus YEI dan aku adalah Orang Dengan Epilepsi (ODE)", aku berusaha menceritakan fakta ini dengan nada percaya diri

"Oh gitu......."

"Iya, bulan oktober nanti aku juga mau ke Melbourne. Aku harus mempresentasikan paper ilmiahku di acara kongress epilepsi asia pasifik"

"Wah hebat.....aku juga pengen bisa submit paper ilmiah ke seminar internasional sambil jalan-jalan"

"Semoga kamu juga bisa segera menyusul"

"Oh ya, tentang epilepsi, sepertinya memang sulit ya hidup dengan sebuah penyakit. Hanya orang-orang hebat saja yang bisa survive hidup bersama penyakit. Mas Aska jangan menyerah ya, jangan jadikan epilepsi menjadi penghambat dalam meraih cita-cita"

Hatiku lega mendengar ucapannya

Dia menambahkan, "Kalau Mas Aska kena serangan kejang, seperti apa bentuknya? dan bagaimana solusinya?, jadi kalau Mas Aska kena serangan kejang, aku bisa sigap menolong"

Aku pun menjelaskan tentang bentuk-bentuk serangan yang biasa aku alami dan solusinya. Satu hal terpenting yang aku ceritakan juga adalah bahwa aku sudah menjalani operasi bedah syaraf, sehingga kemungkinan munculnya serangan kejang kecil sekali

Dari obrolan ini aku dapat menilai bahwa dia adalah orang yang harus aku kejar dan aku jadikan sebagai pasangan hidup. Modal dasar agama yang baik dari keluarganya sudah cukup menjelaskan bahwa kita memiliki visi yang sama dalam menjalankan hidup, dan yang tidak kalah penting adalah penerimaan dia terhadap kondisiku sebagai ODE. Pertanyaannya, apakah dia memiliki perasaan yang sama denganku?

Kami pun lanjut jalan, ngobrol, dinner, sampai di malam hari kami duduk berdua di café sambil menikmati live music. Saat itu, aku memergoki dia beberapa kali memandang wajahku. Semoga ini adalah pertanda baik bagiku.

10 Oktober 2010
Aku ajak Putri untuk turut serta dalam acara hari ulang tahun YEI di monas. Saat aku sampai di monas bersamanya di pagi hari, orang pertama yang tersenyum melihat kami adalah Ibu Arifah. Aku pun memperkenalkan Putri kepada para pengurus YEI. Aku berharap putri mulai terbiasa dengan komunitas epilepsi. 

 Hasil candid camera dari Ibu Arifah pada saat acara HUT YEI 2010

16 Oktober 2010
Di pertemuan ketiga ini, aku ajak dia jalan ke pantai ancol di siang-sore hari, kemudian mempir ke apartemen tempat tinggalku. Dia membantuku mempersiapkan material untuk presentasi di Melbourne minggu depan. Setelah segala material siap, aku pun bermaksud untuk mengantarkan dia pulang.

Ketika aku bertanya kepadanya apakah dia akan pulang, dia terdiam. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Dalam hatiku pun sebenarnya juga masih ada hal yang mengganjal. Ada satu hal yang ingin kukatakan kepada Putri.

Aku pun mengajak dia duduk dalam satu sofa untuk membicarakan sesuatu dengan serius.

“Aku merasa sudah cukup mengenalmu, dan aku ingin menjalani hubungan yang lebih serius dengan mu”, aku memulai pembicaraan

“Maksud Mas?”

“Aku ingin menjadi suamimu, menjalani kehidupan ini bersama mu, sampai kematian memisahkan kita”

“Serius? Dari mana Mas bisa seyakin itu?”

“Aku yakin karena kita punya pegangan nilai-nilai kehidupan yang sama. Ini yang membuatku yakin dengan hubungan kita. Jika ada permasalahan dalam hubungan kita, kita tinggal kembali ke nilai-nilai tersebut, di dalamnya sudah jelas diajarkan bagaimana solusinya. Nilai-nilai kehidupan itu bisa berbagai bentuk, seperti adat, budaya, dll. Tetapi bagi kita, yang paling relevan adalah agama Islam”.

“Kalau aku tidak mau jadi pacar/istri mas?”

“Kalau begitu kita tetap bisa menjalin hubungan sebagai teman, walaupun………..”

“Mas mau tahu jawabanku? Harus jawab sekarang?”

“Iya”, ucapku sambil berharap dia menerimaku.

“Hmmm…..bentar ya mas, aku mau ke toilet dulu”, dia pun lari masuk ke dalam toilet, meninggalkanku yang hanya bisa terdiam heran melihat perilakunya.

Di saat-saat serius begini, kenapa harus ke toilet sih? Tidak bisa ditahan ya? Atau mungkin dia berusaha membuat dia pede untuk menjawab pertanyaanku?

Beberapa menit kemudian, dia pun keluar dari toilet, dan kembali duduk di sofa.

Dan dia pun menjawab, “Aku capek mas, sudah pernah menjalin hubungan serius lalu putus. Aku tidak mau jadi pacarmu……..”

“………………………………………………………..”

“Karena aku lebih memilih jadi istrimu”

***

Sejak hari itu aku berjanji pada dia dan diri sendiri untuk belajar menjadi calon suami yang baik bagi dia. Kami pun menjalani hubungan yang lebih serius lagi, dan mulai merencanakan pernikahan.

Di awal 2012, kami mempertemukan keluarga kami untuk membicarakan tentang lamaran dan pernikahan. April 2012 kami menjalankan acara lamaran. 


23 Desember 2012 kami melangsungkan akad nikah dan resepsi pernikahan di Jakarta.


29 Desember 2012 kami melangsungkan resepsi pernikahan ke dua di Yogyakarta



***

Beberapa bulan setelah pernikahan, Putri pun hamil. Dalam masa kehamilan ini, aku sedikit khawatir tentang efek riwayat epilepsi dan juga efek obat anti epilepsi yang aku konsumsi terhadap calon anakku, mengingat aku mulai mengkonsumsi obat lagi sejak pertengahan 2012. Semua orang tua pasti ingin anaknya sehat. Dan aku bersyukyur, hasil pemeriksaan rutin setiap bulan menunjukkan bahwa kondisi calon anakku normal dan sehat.

Pada tanggal 2 desember 2013, lahir lah putri pertama kami, Sofia Astrialita. Di hari ini, aku sempat panik, karena ketika subuh, air ketuban dalam kandungan sudah pecah. Aku pun harus segera mengantar Putri ke rumah sakit untuk menjalankan proses persalinan. Setelah Sofia lahir dengan kondisi sehat, aku pun lega. Aku bisa menjadi suami yang dapat diandalkan. Epilepsi bukanlah penghambat bagiku dalam menjalankan peran sebagai suami siaga.


Aku selalu bersyukur bahwa saat ini aku sudah bisa berkeluarga. Ini adalah sesuatu hal yang dirasa sulit untuk dicapai, saat dulu aku masih sering kena serangan. Aku bersyukur memiliki istri yang mencintaiku setiap saat. Setiap ditanya oleh orang lain tentang bagaimana awal pertemuan kami, aku dengan percaya diri menceritakan bahwa epilepsi-lah yang mempertemukan kami.


4 komentar:

  1. Halo,mas Aska, saya handayani yang mengirim email soal anak yang epilepsi :D .cie cie..hehehe..senang rasanya melihat mas Aska bahagia dan sudah punya anak... btw, kita sepertinya seumur. O ya, yang menjadi konsern ku ketika membaca postingan yg ini adalah hubungan epilepsi ke anak mas, Sofia, (harap jangan tersinggung,pastinya mas Aska maklum kan?). Karena yang saya baca, epilepsi juga bs diturunkan dari orang tua.. apakah sudah ada vonis dari dokter soal Sofia,mas, tentang kemungkinan ODE juga? Sekali lagi, maaf jika pertanyaanku tidak berkenan. Hanya supaya kita (termasuk keluarga yang punya epilepsi) lebih memiliki pengetahuan yang dalam soal Epilepsi. terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi Mbak. Kemungkinan utk menurun itu sangat kecil sekali. Kata dr Ira di seminar media kemarin, cuma dibawah 1%. Hampir tdk ada. Kalaupun menurun, buktinya orang tua papa mama ku tdk ada yg punya riwayat epilepsi. Jd aku tdk terlalu khawatir ttg hal ini

      Hapus
    2. Oh ya, semoga suatu saat bisa ikut kumpul2 bareng anggota YEI. Di sini juga ada para orang tua yg dirinya adalah ODE tetapi anak2 nya sehat/normal. Pada umumnya para orang tua jg memiliki epilepsi karena kecelakaan, jatuh, ataupun efek dari penyakit lain yg dideritanya. Seperti aku juga karena proses masa kelahiranku dimana kepalaku yg masih lunak (blm keras) harus dijepit dgn tang

      Hapus
    3. Iya, semoga suatu saat bisa kumpul2 bareng anggota YEI. Mungkin memang karena proses kelahiran ya,mas. Namun anakku, sejauh yang saya ingat, kelahirannya normal saja..ahh..entahlah, hanya Tuhan yang tau. Semoga tdk ada untuk keturunan anak2ku nanti.

      Hapus