Jumat, 27 Januari 2017

#36 Mari Fokus Pada Solusi, Bukan Pada Penyebab

Tiba-tiba aku teringat kejadian 9 tahun yang lalu. Saat itu aku masih kuliah S2 Psikologi, dan aku sedang berkumpul bersama teman-teman dan seorang dosen dalam sebuah sesi perkuliahan.

Siang itu kami membahas tentang bagaimana cara yang efektif untuk melakukan psikoterapi ataupun modifikasi perilaku untuk orang-orang yang bermasalah. Mulai dari masalah yang rumit, seperti bagaimana menghilangkan perilaku ketakutan pada orang dengan fobia ketinggian, sampai masalah yang simpel, bagaimana merubah perilaku masyarakat agar tertib lalu lintas, ataupun tidak membuang sampah sembarangan.

Kami membahas berbagai pendekatan dari berbagai aliran psikologi untuk menemukan cara yang cocok untuk merubah perilaku seseorang. Kemudian tiba saatnya setiap mahasiswa diminta untuk mempresentasikan sebuah solusi.

Dosenku sangat kritis dalam membahas materi presentasi kami. Kami selalu diminta untuk menjelaskan bentuk langkah konkritnya untuk merubah perilaku seseorang, tidak hanya sekedar membahas teorinya saja. Kami harus siap untuk segala kemungkinan terburuk, termasuk jika aplikasi terapi psikologis ini nantiya tidak dapat jalan sesuai teori yang ada. Kami diminta untuk berpikir kritis & kreatif sambil mengembangkan teori-teori terapi yang sudah ada.

Aku sadari bahwa ketika kami sudah mentok, dan tidak dapat menjawab lagi pertanyaan dosen, secara tidak sadar kami memberikan respon seperti ini:

“Ya terapi tipe ini belum tentu cocok untuk setiap orang”

“Semua kembali lagi ke pribadi masing-masing. Kalau dia mau merubah perilaku nya, pasti bisa berubah, kalau dia nggak mau merubah, ya tidak akan berubah”

“Tergantung orangnya. Kalau orang itu cuek, pasti dia tidak perlu takut lagi terhadap segala hal”

Atau ada juga yang menjawab seperti ini

“Kalau dia beriman dan bertakwa kepada Tuhan, dia akan diberi kemudahan untuk mengatasi rasa takutnya, karena dia percaya bahwa Tuhan selalu melindunginya”

Dan biasanya, dosenku akan marah jika mendengar jawaban-jawaban seperti ini. Ini seperti kita hanya coba menerapkan 1 teori lalu tidak berhasil, dan kami menyerah. Kalau dari dulu seperti ini, maka ilmu psikologi tidak akan berkembang.

Jawaban-jawaban tersebut sepertinya hanya jawaban pembelaan diri dari kami sebagai terapis. Si terapis tidak memberikan solusi kepada pasien untuk mengatasi permasalahannya. Dan seolah-olah menyalahkan si pasien jika terapinya tidak berhasil.

Apa jadinya jika semua psikolog bersikap seperti ini? Yang pasti mereka tidak dapat memberikan solusi kepada clientnya. Mereka menginterview client hanya sekedar untuk menilai apakah clientnya pemberani atau penakut saja. Padahal seharusnya mereka mewawancarai clientnya untuk memahami alasan takut, sehingga bisa mencari solusi yang pas untuk mengatasi rasa takut.

Inilah yang sampai sekarang masih kita lakukan. Secara tidak sadar terkadang kita memberikan judgement kepada ODE yang pemalu. Judgement ini aku dapatkan kemarin setelah aku memposting tulisan tentang epilepsi masih dekat dengan kata “malu”, “aib”.

Saat itu ada teman yang berkomentar, “Ah, tidak semua seperti itu. Itu kembali ke pribadi masing-masing. Kalau dia ODE yang nggak pede, pasti apa-apa jadi nggak pede. Dia jadi malu sebagai ODE. Tapi kalau dia cuek, berani, pasti dia tetap pede”.

Pertanyaannya: Apakah pernyataan tersebut memberikan solusi untuk mengatasi rasa malu pada diri ODE? Tampaknya tidak, karena pertanyaan tersebut hanya akan memberikan label ODE pemalu/penakut dan ODE pemberani saja.

Anyway, aku sangat berterima kasih kepada teman tersebut. Pendapat dia bisa menjadi sumber inspirasi tulisan ini.

Aku pun menjelaskan kepada teman-teman bahwa proses Focus Group Discussion (FGD) ini bukan hanya tujuan untuk mengenali siapa ODE pemberani dan siapa ODE penakut saja, tetapi juga untuk memahami hal-hal apa saja yang membuat takut, serta mencari solusi bagaimana untuk mengatasi rasa takut tersebut.

Karena ODE yang terlalu berani dan juga terlalu percaya diri juga tidak baik. Buktinya dari dalam FGD kemarin aku mendapat info bahwa ada juga ODE yang berhenti minum obat seketika setelah merasa percaya diri karena telah bebas serangan kejang selama sebulan. Dia dengan pedenya tidak minum obat dan tidak kontrol lagi ke dokter. Padahal dia tidak tahu bahwa epilepsi adalah sebuah gangguan kesehatan yang akan dialami seseorang dalam jangka waktu lama.

Dari hasil FGD pada tulisan-tulisan sebelumnya, kita tahu bahwa epilepsi tidak hanya berdampak pada kondisi fisik saja, tetapi juga pada kondisi sosial-psikologis. Bahkan kelompok laki-laki menekankan dengan jelas efek stress yang muncul akibat epilepsi.

Kira-kira apa ya solusi yang terbaik untuk mengatasi ganggauan epilepsi menurut mereka?

***

“Sekarang, silahkan kalian tulis jenis-jenis terapi apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi epilepsi. Bisa terapi medis, non medis. Bisa saja terapi yang pernah dilakukan ataupun belum pernah dilakukan”, perintahku

Mereka segera menulis satu per satu jenis terapi.

“Setelah itu tolong diurutkan dari atas ke bawah, dimana yang paling atas adalah terapi yang paling mudah dilakukan, dan yang paling bawah adalah yang paling sulit dilakukan”






Dari kelompok perempuan, terapi paling mudah adalah olah nafas, paling sulit adalah akupuntur. Terapi dokter/obat masuk ke dalam kelompok bawah (termasuk sulit dilakukan). Menurut mereka hal ini disebabkan karena mereka harus menemukan dokter yang cocok secara personal. Ini yang agak sulit.

“Saya pernah datang ke dokter, nggak diperiksa apa-apa. Antrinya lama, tapi masuk nya cuma sebentar. Dokter cuma tulis resep aja, terus selesai. Dokter tidak bertanya tentang kondisi”, kata 1 ODE perempuan

“Iya, saya juga gitu. Banyak bertanya malah dimarahin. Saya cuma di suruh minum obat aja. Gak diperiksa macam-macam. Setelah saya cek, pasien-pasien dia yang lain itu orang-orang tua, dan hampir semuanya memiliki masalah stroke. Jangan-jangan dia spesialis stroke ya, bukan epilepsi?”, ODE perempuan lain menambahkan

“Ada teman yang cerita kalau dia sudah sebulan sembuh dari epilepsi. Katanya dia cukup minum obat sebulan saja. Katanya dokter sudah tidak menyuruh dia datang lagi setelah sebulan minum obat. Saya yakin ini ada mis komunikasi dengan dokter”, kata ODE perempuan lainnya

“Intinya sih kita juga nggak suka ketemu dokter seperti itu. Kita nggak ingin hanya sekedar berobat saja, tetapi juga berkomunikasi. Mungkin dokter itu sibuk sehari menangani puluhan pasien”, tambah ODE lainnya

“Kalau sekarang apakah sudah ketemu dokter yang cocok?”, tanyaku

“Iya sudah, yah walaupun lokasi prakteknya jauh, kami di Bogor dia di Jakarta, tapi gak pa pa lah, yang penting cocok”, jawab mereka

Dari kelompok laki-laki, paling mudah adalah terapi bergaul, dan paling sulit adalah pengobatan psikologis. Lagi-lagi di sini kelompok laki-laki lebih menekankan pengobatan kondisi psikologis mereka, setelah diawal tadi mereka mengelompokkan epilepsi sebagai penyakit dengan dampak stress.

“Oke, berikutnya tolong urutkan kembali berbagai jenis terapi tersebut dari terapi yang membutuhkan budget besar sampai terapi dengan budget kecil”





Baik kelompok laki-laki atau perempuan senada untuk meletakkan terapi obat/dokter sebagai terapi teratas. Terapi obat/dokter adalah terapi yang paling paling mahal. Mereka menyadari bahwa kesehatan itu mahal harganya. Terlebih lagi mereka harus rutin membeli obat selama bertahun-tahun.

“Kemarin-kemarin kan sempat tuh obat generik anti epilepsi menghilang di pasaran, apa yang rekan-rekan lakukan menyikapi hal ini?” tanyaku

“Kami berkeliling apotik mencari sampai ketemu”, jawab satu ODE

“Terpaksa kami membeli yang bermerek (bukan generik)”, jawab ODE lain

“Ada cara lain?”, tanyaku

Satu ODE lain menjawab, “Kami berkoordinasi satu sama lain via whatsapp. Siapa yang menemukan obat anti epilepsi jenis apapun, memberi informasi kepada teman-teman lain via whatsapp. Kalalu memang perlu ya kami beli dulu, terus nanti dikirimkan kepada teman-teman yang membutuhkan. Jadi siapapun itu kalau menemukan obat anti epilepsi, di minta untuk memberi tahu teman-teman lain yang membutuhkan. Kalau perlu kami juga bekerja sama dengan ODE dari kota lain (diluar Jabodetabek)”.

Aku pribadi salut dengan kemandirian mereka dan kesadaran mereka untuk saling bekerja sama.

Satu hal lagi aku perhatikan dari kelompok laki-laki. Mereka menempatkan terapi “pengobatan psikologis” sebagai terapi no 2 termahal. Menurut mereka terapi psikologis harus dilakukan oleh seorang psikolog/terapis.

“Berikutnya tolong diurutkan dari atas ke bawah, dimana yang paling atas adalah terapi yang dinilai paling efektif mengatasi epilepsi, dan yang paling bawah adalah yang paling tidak efektif”




Dari kelompok perempuan, terlihat bahwa terapi paling efektif adalah obat/dokter, dan paling tidak efektif adalah dukun (mistis). Sedangkan dari kelompok laki-laki, terlihat bahwa terapi paling efektif adalah obat/dokter, dan paling tidak efektif adalah akupuntur.

Overall mereka sudah paham dan yakin bahwa terapi obat/dokter adalah yang paling efektif untuk mengatasi epilepsi. Seorang ODE perempuan juga becerita bahwa dia pernah menjalani terapi dukun. Tetapi ia menilai bahwa terapinya sama sekali tidak berhasil.

“Kenapa Anda mau pergi ke dukun?”, tanyaku

“Habis kata teman-teman itu bisa menyembuhkan. Dan cara dia untuk mengajak saya benar-benar menyakinkan”, jawab dia

“Apa yang dilakukan oleh dukun itu?”

“Dia memindahkan penyakit epilepsiku ke seekor kambing. Lalu kambingnya dipotong?”

“Memang benar pindah?”

“Enggak sih, buktinya aku masih kena serangan kejang setelah diterapi”

Aku cek jawaban kelompok laki-laki. Aku temukan jenis-jenis terapi yang sebenarnya mirip, tetapi mereka pisahkan dalam beberapa kertas, seperti terapi psikologis, bergaul, senyum, berkomunikasi. Semuanya adalah terapi psikologis.  Sedangkan “pengobatan psikologis” ada di rangking ke 3 paling efektif. Di kelompok perempuan, tidak ada satu terapi pun yang berhubungan dengan “pengobatan psikologis”

Sepertinya ini konsisten dengan sesi sebelumnya di mana kelompok laki-laki mengelompokkan penyakit berdasarkan dampak stress. Sekarang mereka banyak menekankan “pengobatan psikologis”.

Mengapa tidak demikian dengan kelompok perempuan?

Aku penah melakukan FGD lain pada konsumen laki-laki dan perempuan pengguna produk perawatan rambut. Saat itu aku tanyakan tentang kebiasaan mereka ke salon. Responden perempuan menceritakan alasan mereka ke salon yaitu untuk merawat rambut, kulit, wajah, dan tubuh mereka. Selain itu nyalon juga menjadi semacam aktivitas untuk memanifestasikan segala emosi dan perasaan mereka. Mereka bisa bertemu teman untuk ngobrol, bergosip, dll.  Sedangkan responden lak-laki, satu-satunya mahkota hanya rambut. Mereka biasa ke salon hanya untuk potong rambut saja. Setelah selesai langsung pulang atau pergi ke tempat lain. Jadi sepertinya tidak ada waktu untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan bersama rekan-rekan layaknya perempuan.

Jadi perkumpulan komunitas epilepsi sendiri sebenarnya juga sudah menjadi wadah terapi psikologis bagi ODE perempuan. Namun tidak demikian halnya dengan ODE laki-laki. Mereka lebih menekankan terapi psikologis dilakukan bersama psikolog atau terapis.

Sepertinya ODE laki-laki dan perempuan memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan permasalahan stress karena epilepsi. Secara umum, dalam budaya Indonesia masih berlaku masculine norms, di mana seorang laki-laki itu harus mandiri, independen, tidak emosional, serta dominan. Laki-laki juga adalah seorang kepala keluarga. Sedangkan dalam budaya barat sudah ada budaya kesetaraan gender.


Sekarang, bagaimana jika laki-laki itu adalah ODE? Bagaimana caranya mengobati rasa stress, malu, dan ketidakpercayaan diri mereka tanpa harus merendahkan harga diri mereka sebagai laki-laki? Inilah topik yang akan aku gali dalam sesi FGD berikutnya.

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar