Tiba-tiba aku teringat kejadian 9 tahun yang lalu.
Saat itu aku masih kuliah S2 Psikologi, dan aku sedang berkumpul bersama
teman-teman dan seorang dosen dalam sebuah sesi perkuliahan.
Siang itu kami membahas tentang bagaimana cara
yang efektif untuk melakukan psikoterapi ataupun modifikasi perilaku untuk
orang-orang yang bermasalah. Mulai dari masalah yang rumit, seperti bagaimana
menghilangkan perilaku ketakutan pada orang dengan fobia ketinggian, sampai
masalah yang simpel, bagaimana merubah perilaku masyarakat agar tertib lalu
lintas, ataupun tidak membuang sampah sembarangan.
Kami membahas berbagai pendekatan dari berbagai
aliran psikologi untuk menemukan cara yang cocok untuk merubah perilaku
seseorang. Kemudian tiba saatnya setiap mahasiswa diminta untuk
mempresentasikan sebuah solusi.
Dosenku sangat kritis dalam membahas materi
presentasi kami. Kami selalu diminta untuk menjelaskan bentuk langkah
konkritnya untuk merubah perilaku seseorang, tidak hanya sekedar membahas
teorinya saja. Kami harus siap untuk segala kemungkinan terburuk, termasuk jika
aplikasi terapi psikologis ini nantiya tidak dapat jalan sesuai teori yang ada.
Kami diminta untuk berpikir kritis & kreatif sambil mengembangkan
teori-teori terapi yang sudah ada.
Aku sadari bahwa ketika kami sudah mentok, dan
tidak dapat menjawab lagi pertanyaan dosen, secara tidak sadar kami memberikan
respon seperti ini:
“Ya
terapi tipe ini belum tentu cocok untuk setiap orang”
“Semua
kembali lagi ke pribadi masing-masing. Kalau dia mau merubah perilaku nya,
pasti bisa berubah, kalau dia nggak mau merubah, ya tidak akan berubah”
“Tergantung
orangnya. Kalau orang itu cuek, pasti dia tidak perlu takut lagi terhadap
segala hal”
Atau ada juga yang menjawab seperti ini
“Kalau
dia beriman dan bertakwa kepada Tuhan, dia akan diberi kemudahan untuk
mengatasi rasa takutnya, karena dia percaya bahwa Tuhan selalu melindunginya”
Dan biasanya, dosenku akan marah jika mendengar
jawaban-jawaban seperti ini. Ini seperti kita hanya coba menerapkan 1 teori
lalu tidak berhasil, dan kami menyerah. Kalau dari dulu seperti ini, maka ilmu
psikologi tidak akan berkembang.
Jawaban-jawaban tersebut sepertinya hanya jawaban
pembelaan diri dari kami sebagai terapis. Si terapis tidak memberikan solusi
kepada pasien untuk mengatasi permasalahannya. Dan seolah-olah menyalahkan si
pasien jika terapinya tidak berhasil.
Apa jadinya jika semua psikolog bersikap seperti
ini? Yang pasti mereka tidak dapat memberikan solusi kepada clientnya. Mereka
menginterview client hanya sekedar untuk menilai apakah clientnya pemberani
atau penakut saja. Padahal seharusnya mereka mewawancarai clientnya untuk
memahami alasan takut, sehingga bisa mencari solusi yang pas untuk mengatasi
rasa takut.
Inilah yang sampai sekarang masih kita lakukan.
Secara tidak sadar terkadang kita memberikan judgement kepada ODE yang pemalu.
Judgement ini aku dapatkan kemarin setelah aku memposting tulisan tentang epilepsi masih dekat dengan kata “malu”,
“aib”.
Saat itu ada teman yang berkomentar, “Ah, tidak
semua seperti itu. Itu kembali ke pribadi masing-masing. Kalau dia ODE yang
nggak pede, pasti apa-apa jadi nggak pede. Dia jadi malu sebagai ODE. Tapi
kalau dia cuek, berani, pasti dia tetap pede”.
Pertanyaannya: Apakah pernyataan tersebut
memberikan solusi untuk mengatasi rasa malu pada diri ODE? Tampaknya tidak,
karena pertanyaan tersebut hanya akan memberikan label ODE pemalu/penakut dan
ODE pemberani saja.
Anyway, aku sangat berterima kasih kepada teman
tersebut. Pendapat dia bisa menjadi sumber inspirasi tulisan ini.
Aku pun menjelaskan kepada teman-teman bahwa
proses Focus Group Discussion (FGD) ini bukan hanya tujuan untuk mengenali
siapa ODE pemberani dan siapa ODE penakut saja, tetapi juga untuk memahami
hal-hal apa saja yang membuat takut, serta mencari solusi bagaimana untuk
mengatasi rasa takut tersebut.
Karena ODE yang terlalu berani dan juga terlalu
percaya diri juga tidak baik. Buktinya dari dalam FGD kemarin aku mendapat info
bahwa ada juga ODE yang berhenti minum obat seketika setelah merasa percaya
diri karena telah bebas serangan kejang selama sebulan. Dia dengan pedenya
tidak minum obat dan tidak kontrol lagi ke dokter. Padahal dia tidak tahu bahwa
epilepsi adalah sebuah gangguan kesehatan yang akan dialami seseorang dalam
jangka waktu lama.
Dari hasil FGD pada tulisan-tulisan sebelumnya,
kita tahu bahwa epilepsi tidak hanya berdampak pada kondisi fisik saja, tetapi
juga pada kondisi sosial-psikologis. Bahkan kelompok laki-laki menekankan
dengan jelas efek stress yang muncul akibat epilepsi.
Kira-kira apa ya solusi yang terbaik untuk
mengatasi ganggauan epilepsi menurut mereka?
***
“Sekarang, silahkan kalian tulis jenis-jenis
terapi apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi epilepsi. Bisa terapi
medis, non medis. Bisa saja terapi yang pernah dilakukan ataupun belum pernah
dilakukan”, perintahku
Mereka segera menulis satu per satu jenis terapi.
“Setelah itu tolong diurutkan dari atas ke bawah,
dimana yang paling atas adalah terapi yang paling mudah dilakukan, dan yang
paling bawah adalah yang paling sulit dilakukan”
Dari kelompok perempuan, terapi paling mudah
adalah olah nafas, paling sulit adalah akupuntur. Terapi dokter/obat masuk ke
dalam kelompok bawah (termasuk sulit dilakukan). Menurut mereka hal ini
disebabkan karena mereka harus menemukan dokter yang cocok secara personal. Ini
yang agak sulit.
“Saya pernah datang ke dokter, nggak diperiksa
apa-apa. Antrinya lama, tapi masuk nya cuma sebentar. Dokter cuma tulis resep
aja, terus selesai. Dokter tidak bertanya tentang kondisi”, kata 1 ODE
perempuan
“Iya, saya juga gitu. Banyak bertanya malah
dimarahin. Saya cuma di suruh minum obat aja. Gak diperiksa macam-macam.
Setelah saya cek, pasien-pasien dia yang lain itu orang-orang tua, dan hampir
semuanya memiliki masalah stroke. Jangan-jangan dia spesialis stroke ya, bukan
epilepsi?”, ODE perempuan lain menambahkan
“Ada teman yang cerita kalau dia sudah sebulan
sembuh dari epilepsi. Katanya dia cukup minum obat sebulan saja. Katanya dokter
sudah tidak menyuruh dia datang lagi setelah sebulan minum obat. Saya yakin ini
ada mis komunikasi dengan dokter”, kata ODE perempuan lainnya
“Intinya sih kita juga nggak suka ketemu dokter
seperti itu. Kita nggak ingin hanya sekedar berobat saja, tetapi juga
berkomunikasi. Mungkin dokter itu sibuk sehari menangani puluhan pasien”,
tambah ODE lainnya
“Kalau sekarang apakah sudah ketemu dokter yang
cocok?”, tanyaku
“Iya sudah, yah walaupun lokasi prakteknya jauh,
kami di Bogor dia di Jakarta, tapi gak pa pa lah, yang penting cocok”, jawab
mereka
Dari kelompok laki-laki, paling mudah adalah
terapi bergaul, dan paling sulit adalah pengobatan psikologis. Lagi-lagi di
sini kelompok laki-laki lebih menekankan pengobatan kondisi psikologis mereka,
setelah diawal tadi mereka mengelompokkan epilepsi sebagai penyakit dengan dampak
stress.
“Oke, berikutnya tolong urutkan kembali berbagai
jenis terapi tersebut dari terapi yang membutuhkan budget besar sampai terapi
dengan budget kecil”
Baik kelompok laki-laki atau perempuan senada
untuk meletakkan terapi obat/dokter sebagai terapi teratas. Terapi obat/dokter
adalah terapi yang paling paling mahal. Mereka menyadari bahwa kesehatan itu
mahal harganya. Terlebih lagi mereka harus rutin membeli obat selama
bertahun-tahun.
“Kemarin-kemarin kan sempat tuh obat generik anti
epilepsi menghilang di pasaran, apa yang rekan-rekan lakukan menyikapi hal
ini?” tanyaku
“Kami berkeliling apotik mencari sampai ketemu”,
jawab satu ODE
“Terpaksa kami membeli yang bermerek (bukan
generik)”, jawab ODE lain
“Ada cara lain?”, tanyaku
Satu ODE lain menjawab, “Kami berkoordinasi satu
sama lain via whatsapp. Siapa yang menemukan obat anti epilepsi jenis apapun,
memberi informasi kepada teman-teman lain via whatsapp. Kalalu memang perlu ya
kami beli dulu, terus nanti dikirimkan kepada teman-teman yang membutuhkan.
Jadi siapapun itu kalau menemukan obat anti epilepsi, di minta untuk memberi
tahu teman-teman lain yang membutuhkan. Kalau perlu kami juga bekerja sama
dengan ODE dari kota lain (diluar Jabodetabek)”.
Aku pribadi salut dengan kemandirian mereka dan
kesadaran mereka untuk saling bekerja sama.
Satu hal lagi aku perhatikan dari kelompok
laki-laki. Mereka menempatkan terapi “pengobatan psikologis” sebagai terapi no
2 termahal. Menurut mereka terapi psikologis harus dilakukan oleh seorang psikolog/terapis.
“Berikutnya tolong diurutkan dari atas ke bawah,
dimana yang paling atas adalah terapi yang dinilai paling efektif mengatasi
epilepsi, dan yang paling bawah adalah yang paling tidak efektif”
Dari kelompok perempuan, terlihat bahwa terapi
paling efektif adalah obat/dokter, dan paling tidak efektif adalah dukun
(mistis). Sedangkan dari kelompok laki-laki, terlihat bahwa terapi paling
efektif adalah obat/dokter, dan paling tidak efektif adalah akupuntur.
Overall mereka sudah paham dan yakin bahwa terapi
obat/dokter adalah yang paling efektif untuk mengatasi epilepsi. Seorang ODE
perempuan juga becerita bahwa dia pernah menjalani terapi dukun. Tetapi ia
menilai bahwa terapinya sama sekali tidak berhasil.
“Kenapa Anda mau pergi ke dukun?”, tanyaku
“Habis kata teman-teman itu bisa menyembuhkan. Dan
cara dia untuk mengajak saya benar-benar menyakinkan”, jawab dia
“Apa yang dilakukan oleh dukun itu?”
“Dia memindahkan penyakit epilepsiku ke seekor
kambing. Lalu kambingnya dipotong?”
“Memang benar pindah?”
“Enggak sih, buktinya aku masih kena serangan
kejang setelah diterapi”
Aku cek jawaban kelompok laki-laki. Aku temukan
jenis-jenis terapi yang sebenarnya mirip, tetapi mereka pisahkan dalam beberapa
kertas, seperti terapi psikologis, bergaul, senyum, berkomunikasi. Semuanya
adalah terapi psikologis. Sedangkan
“pengobatan psikologis” ada di rangking ke 3 paling efektif. Di kelompok
perempuan, tidak ada satu terapi pun yang berhubungan dengan “pengobatan
psikologis”
Sepertinya ini konsisten dengan sesi sebelumnya di
mana kelompok laki-laki mengelompokkan penyakit berdasarkan dampak stress.
Sekarang mereka banyak menekankan “pengobatan psikologis”.
Mengapa tidak demikian dengan kelompok perempuan?
Aku penah melakukan FGD lain pada konsumen
laki-laki dan perempuan pengguna produk perawatan rambut. Saat itu aku tanyakan
tentang kebiasaan mereka ke salon. Responden perempuan menceritakan alasan
mereka ke salon yaitu untuk merawat rambut, kulit, wajah, dan tubuh mereka.
Selain itu nyalon juga menjadi
semacam aktivitas untuk memanifestasikan segala emosi dan perasaan mereka.
Mereka bisa bertemu teman untuk ngobrol, bergosip, dll. Sedangkan responden lak-laki, satu-satunya
mahkota hanya rambut. Mereka biasa ke salon hanya untuk potong rambut saja.
Setelah selesai langsung pulang atau pergi ke tempat lain. Jadi sepertinya
tidak ada waktu untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan bersama rekan-rekan
layaknya perempuan.
Jadi perkumpulan komunitas epilepsi sendiri
sebenarnya juga sudah menjadi wadah terapi psikologis bagi ODE perempuan. Namun
tidak demikian halnya dengan ODE laki-laki. Mereka lebih menekankan terapi
psikologis dilakukan bersama psikolog atau terapis.
Sepertinya ODE laki-laki dan perempuan memiliki
cara yang berbeda dalam menyelesaikan permasalahan stress karena epilepsi.
Secara umum, dalam budaya Indonesia masih berlaku masculine norms, di mana seorang laki-laki itu harus mandiri,
independen, tidak emosional, serta dominan. Laki-laki juga adalah seorang kepala keluarga. Sedangkan dalam budaya barat sudah
ada budaya kesetaraan gender.
Sekarang, bagaimana jika laki-laki itu adalah ODE?
Bagaimana caranya mengobati rasa stress, malu, dan ketidakpercayaan diri mereka
tanpa harus merendahkan harga diri mereka sebagai laki-laki? Inilah topik yang akan
aku gali dalam sesi FGD berikutnya.
(BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar