Hari
itu hari selasa, yang juga merupakan hari pertama aku kembali masuk kantor di
pertengahan desember, setelah berlibur 8 hari di Australia bersama keluarga.
Setibanya di kantor, aku segera membuka kembali laptop untuk membaca semua
email dalam 1 minggu kemarin. Aku cek kembali ke research agency tentang
bagaimana status project riset yang sedang berjalan di 5 kota. Setelah makan
siang, pekerjaanku sedikit berkurang, dan aku memiliki waktu untuk membaca
segala pesan yang masuk ke dalam handphone sejak pagi.
Aku
mendapatkan pesan dari seorang mahasiswi yang bermaksud untuk mewawancaraiku
seputar riwayat epilepsi untuk memenuhi tugas kuliahnya. Selain mewawancarai,
dia juga perlu melihat hasil tes EEG ku yang terakhir. Aku sanggupi
permintaannya, dan aku minta dia untuk datang ke acara perayaan ulang tahun
Sofia yang ke 3 pada hari sabtu 17 Des, walaupun pada akhirnya pertemuan ini
harus tertunda 1 hari.
***
Hari
minggu siang 18 des. Saat itu, aku baru saja selesai nonton sebuah film kartun
di bioskop bersama Sofia. Kami hanya
nonton berdua saja, sambil menunggu Istri yang sedang menjalani perawatan di
sebuah salon.
“Ayah….laparr”,
Sofia mengingatkanku.
Aku
pun segera berjalan cepat keluar dari gedung bioskop menuju sebuah
restoran. Aku segera masuk dan memilih
meja makan. Beberapa menit kemudian istriku datang dengan wajah yang fresh
setelah perawatan.
Setelah
memesan makanan, aku memberi info kepada mahasiswi yang hendak mewawancaraiku
untuk datang ke restoran ini. Proses wawancara dapat dilakukan sambil makan
siang.
Beberapa
menit kemudian, seorang mahasiswi datang menyapaku, dan dia memperkenalkan
diri. Setelah kami membuka perbincangan membahas berbagai macam hal, dia mulai
menyampaikan beberapa pertanyaan kepadaku
“Pak
Aska, sejak kapan sakit epilepsi?”
“Apa
yang dirasakan saat akan kena serangan
kejang?”
“Bagaimana
menjalani pendidikan dan pekerjaan dengan riwayat epilepsi?”
Ini
semua pertanyaan standar yang sudah sering ditanyakan kepadaku. Aku ceritakan
semua pengalamanku kepada dia. Sambil bercerita aku jadi teringat akan segala
pengalaman masa lalu. Dulu dalam 1 dekade (1998-2007) aku memiliki epilepsi
yang aktif. Sering sekali terkena serangan kejang sejak masa-masa SMP sampai
lulus kuliah.
Kemudian
1 dekade yang lalu (tahun 2007) aku menjalani operasi. Aku belajar banyak hal
dari pengalaman ini. Aku mendapatkan informasi tentang operasi setelah aku bisa
belajar menerima hidup sebagai ODE. Selama 9 tahun sebelumnya, hidupku penuh
penolakan terhadap kondisi diri sebagai ODE.
Aku
pun bercerita kepada mahasiswi itu tentang pentingnya menekankan diri pada
proses penyembuhan, dibandingkan hasil penyembuhan. Dalam 9 tahun, aku selalu
fokus pada hasil. Aku ingin sembuh! That’s it. Maka aku lakukan segala hal
pengobatan medis & alternatif, dan hasilnya nihil. Aku hanya fokus pada hasil akhir, sehingga
tidak jelas apa yang harus dilakukan untuk mencapai hal itu. Aku menolak fakta
bahwa aku adalah ODE. Aku anggap epilepsi hanyalah sebuah angin lalu, yang
penting aku harus segera sembuh.
Sama
seperti ujian matematika. Kalau kita hanya fokus pada hasil nilai 100, maka
kita kurang peduli dengan proses meraih nilai 100. Bisa saja kita mendapat
nilai sempurna dengan mencontek atau mencari bocoran soal. Padahal hal yang
terpenting adalah proses belajar dan memahami matematika itu sendiri.
Akhirnya
di tahun ke 10, aku mulai menyerah. Aku harus belajar menerima kondisi diri.
Aku harus melalui sebuah proses untuk memahami mengapa aku harus terkena
epilepsi? Apa yang harus aku lakukan jika aku harus hidup bersama epilepsi
selamanya?
Pahami
bahwa aku adalah ODE. Jika aku adalah ODE maka aku harus mengalami kejang. Aku
harus rutin mengkonsumsi obat. Pahami kondisiku secara utuh. Aku masih dapat
beraktivitas normal walaupun aku adalah ODE.
Setelah
aku belajar dan fokus pada proses penyembuhan, fokus pada menjalani hidup dan
bersahabat bersama epilepsi, tiba-tiba aku mendapatkan solusi tentang operasi
bedah syaraf otak.
Fokus
pada proses, dan hasil terbaik akan datang dengan sendirinya. Prinsip ini masih
berlaku sampai sekarang, bahkan dalam pekerjaan saat ini. Business
is process, and the process should be measurable. Target sales 2017
hanyalah sebuah angka, kita harus fokus pada proses untuk mencapai angka
tersebut. Itulah bidang pekerjaanku, memberikan consumer and business insight kepada tim melalui analisis data
statistik, sehingga kita tahu hal-hal apa saja yang menjadi proses terbaik
untuk mendapat hasil sales maksimal. Kita tidak bisa menunggu angka target itu
terpenuhi dengan sendirinya. Kita juga tidak bisa melakukan segala hal tanpa
terencana untuk mencapai angka sales tersebut. Bisa jadi apa yang kita lakukan
justru tidak efektif dan efisien. Sama seperti aku, tidak bisa menunggu akan
sembuh dari epilepsi tanpa melakukan apapun.
***
Tak
lama setelah aku bercerita panjang lebar, makanan pun datang ke meja kami. Kami
pun melanjutkan perbincangan sambil menikmati makan siang
“Kalau
mbak, bagaimana dulu mbak tahu kalau Mas Aska adalah ODE?”, kali ini si
mahasiswi bertanya kepada istriku.
Istriku
pun bercerita tentang bagaimana pengalaman epilepsi mempertemukan kami.
“Mbak
pernah melihat Mas Aska terkena serangan kejang?”
“Pernah
sih, waktu Mas Aska kejang di kantor beberapa bulan sebelum pernikahan”
“Bagaimana
reaksi Mbak saat itu?”
“Ya
kaget juga, sebelumnya belum pernah melihat Mas Aska kejang. Jadi waktu itu aku
dapat telp dari temen kantornya yang bilang bahwa Mas Aska tiba-tiba kejang dan
pingsan di kantor. Mas Aska lalu dibawa ke rumah sakit di seberang kantor”,
Istriku mulai bercerita
“Waktu
itu sudah jam 5 sore, jadi aku segera keluar kantor lalu pergi menuju rumah
sakit itu. Aku juga menghubungi Ayah Bunda agar segera datang juga ke rumah
sakit. Mas Aska kan tinggal di Jakarta sendiri ya, orang tuanya di Jogja, jadi
saya minta tolong Ayah Bunda untuk mendampingi”.
Aku
hanya tersenyum mendengar cerita itu
“Setibanya
di rumah sakit, aku lihat Mas Aska sudah lemas di atas tempat tidur. Aku lihat
bahu kanan dia juga sudah bergeser. Beberapa hari kemudian aku baru tahu
pergeseran bahu itu karena tubuh si Mas di tahan oleh teman-temannya. Maksud
teman-temannya sih baik, agar tubuh si Mas saat kejang tidak menyentuh
benda-benda berbahaya, tetapi aku juga baru tahu bahwa pergerakan tubuh saat
kejang itu sebaiknya tidak ditahan. Cukup dihindarkan dari benda-benda
berbahaya saja. Semakin ditahuan, semakin besar energi si Mas untuk melawan.
Akhirnya bergeserlah bahu si Mas”.
“Berarti
Mbak tidak melihat Mas Aska kejang?”
“Beberapa
saat setelah itu aku lihat tubuh si Mas tiba-tiba kejang. Kejang hebat di atas
tempat tidur, dengan mata terbalik, dan air liur perlahan-lahan keluar dari
mulutnya. Saat itu aku benar-benar kaget. Aku bingung, tidak tahu harus berbuat
apa. Aku hanya bisa terdiam diselimuti rasa takut. Ayah Bunda melihatku sudah
hampir pingsan. Mereka lantas menahan tubuhku dan mebawaku berjalan sedikit
menjauhi si Mas. Ternyata inilah rasa kaget dan panik yang dirasakan oleh
orang-orang saat pertama kali melihat ODE terkena serangan. Itu juga menjadi
pengalaman pertama Ayah Bunda melihat si Mas kejang”
“Setelah
itu hal apa yang membuat mbak tetap yakin dengan rencana pernikahan dengan Mas
Aska?”
“Hmm…….apa
ya?”, dia tiba-tiba berpaling menatapku & Sofia sambil tersenyum dan
mengedipkan mata berkali-kali.
Aku
teringat bahwa aku juga pernah menanyakan hal yang sama kepada dia. Dia hanya
menjawab pertanyaan itu dengan permintaan akan sebuah pelukan yang erat dariku.
Di dalam pelukan dia berkata dengan bahasa manja, “kalau dipeluk Mas rasanya nyaman”
Terkadang
kita melupakan hal-hal yang sederhana. Hanya fokus pada hal-hal yang rumit.
Istriku hanya membutuhkan seorang suami yang dapat melindunginya dan memberi
rasa aman, tanpa memperdulikan suaminya ODE atau bukan. Sebaliknya, kita
sebagai ODE sering kali berpikir rumit dan sampai pada suatu kesimpulan semu bahwa
tidak ada yang mau menikah dengan ODE.
Terbukti
saat pertama kali aku bertemu Ayah Bunda, yang saat itu statusnya masih calon
mertua. Saat itu aku bercerita banyak
hal tentang latar belakang pendidikan dan pekerjaan, agar aku bisa mendapatkan
image yang baik di mata calon mertua. Tetapi ternyata itu bukanlah faktor
pertimbangan utama Ayah dalam memberikan restu kepada Kami. Ayah sudah pernah
mendapat informasi yang sama dari mantan pacar istriku di masa lalu. Pertanyaan
terpenting bagi Ayah hanya 1, dan itu sangat sederhana: “Berapa usiamu?” Karena
Ayah menginginkan calon menantu yang usianya jauh lebih tua di atas usia anak
gadisnya, agar kelak calon menantunya dapat menjadi suami yang mampu mendidik,
melindungi, dan memberi rasa aman bagi anak gadisnya. Ketika aku dinilai sudah
memenuhi syarat, maka statusku sebagai ODE tidak lagi berpengaruh terhadap
restu pernikahan.
***
Proses
interview bersama mahasiswi tersebut membuat hati ku tergerak untuk membaca
kembali tulisan-tulisanku di masa lalu tentang epilepsi. Dalam tulisan-tulisan
tersebut aku temukan diriku di masa lalu dalam mulai dari kondisi putus asa
sampai menemukan harapan sembuh.
Dalam
satu dekade masa sakit, aku dituntut untuk belajar sabar menjalani ujian,
belajar menerima kondisi diri apa adanya, belajar bersahabat dengan epilepsi,
belajar manajemen waktu belajar dan bekerja agar tidak muncul serangan, belajar
untuk menjadi percaya diri, belajar untuk memahami kondisi orang lain, belajar
untuk bernegosiasi dengan diri sendiri dan orang lain, belajar untuk tidak
takut gagal operasi, belajar untuk berani mengambil keputusan. Setelah aku
“lulus”, aku pun mendapat kesempatan untuk sembuh melalui operasi.
Dalam
satu dekade pasca operasi, aku mulai belajar menerapkan value-value tersebut ke
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal pekerjaan, aku dapat memanage
menjalankan sekian banyak project riest dalam satu waktu, aku dapat
bernegosiasi dengan para stakeholder tentang desain riset dan timeline, aku
dapat mempresentasikan hasil riset dengan percaya diri. Dalam hal kesehatan,
aku bisa aktif di Yayasan Epilepsi Indonesia ataupun International Bureau of
Epilepsy.
Dan
yang terpenting aku bisa belajar menjadi lebih sabar dan tangguh dalam menghadapi
berbagai permasalahan, terutama permasalahan dalam bidang pekerjaan yang akan
terus ada. Karena kita memang bekerja untuk menyelesaikan masalah dalam perusahaan ataupun masyarakat.
Sampai
saat ini aku selalu teringat pelajaran ini:
Salah satu permasalahan yang pernah aku hadapi dalam hidup adalah serangan kejang epilepsi. Untuk mengatasi hal ini,
aku harus melakukan operasi bedah otak, di mana resikonya adalah jiwa dan
ragaku. Dan aku pun berhasil melewati permasalahan ini.
Sekarang jika aku menghadapi permasalahan apapun, maka aku pasti bisa menyelesaikannya juga. Aku tidak perlu takut,
karena resiko yang aku hadapi tidak sebesar resiko operasi bedah otak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar