Kamis, 05 Januari 2017

#33 Satu Dekade

Hari itu hari selasa, yang juga merupakan hari pertama aku kembali masuk kantor di pertengahan desember, setelah berlibur 8 hari di Australia bersama keluarga. Setibanya di kantor, aku segera membuka kembali laptop untuk membaca semua email dalam 1 minggu kemarin. Aku cek kembali ke research agency tentang bagaimana status project riset yang sedang berjalan di 5 kota. Setelah makan siang, pekerjaanku sedikit berkurang, dan aku memiliki waktu untuk membaca segala pesan yang masuk ke dalam handphone sejak pagi.

Aku mendapatkan pesan dari seorang mahasiswi yang bermaksud untuk mewawancaraiku seputar riwayat epilepsi untuk memenuhi tugas kuliahnya. Selain mewawancarai, dia juga perlu melihat hasil tes EEG ku yang terakhir. Aku sanggupi permintaannya, dan aku minta dia untuk datang ke acara perayaan ulang tahun Sofia yang ke 3 pada hari sabtu 17 Des, walaupun pada akhirnya pertemuan ini harus tertunda 1 hari.




***

Hari minggu siang 18 des. Saat itu, aku baru saja selesai nonton sebuah film kartun di bioskop bersama Sofia.  Kami hanya nonton berdua saja, sambil menunggu Istri yang sedang menjalani perawatan di sebuah salon.

“Ayah….laparr”, Sofia mengingatkanku.

Aku pun segera berjalan cepat keluar dari gedung bioskop menuju sebuah restoran.  Aku segera masuk dan memilih meja makan. Beberapa menit kemudian istriku datang dengan wajah yang fresh setelah perawatan.

Setelah memesan makanan, aku memberi info kepada mahasiswi yang hendak mewawancaraiku untuk datang ke restoran ini. Proses wawancara dapat dilakukan sambil makan siang.

Beberapa menit kemudian, seorang mahasiswi datang menyapaku, dan dia memperkenalkan diri. Setelah kami membuka perbincangan membahas berbagai macam hal, dia mulai menyampaikan beberapa pertanyaan kepadaku

“Pak Aska, sejak kapan sakit epilepsi?”

“Apa yang dirasakan saat  akan kena serangan kejang?”

“Bagaimana menjalani pendidikan dan pekerjaan dengan riwayat epilepsi?”

Ini semua pertanyaan standar yang sudah sering ditanyakan kepadaku. Aku ceritakan semua pengalamanku kepada dia. Sambil bercerita aku jadi teringat akan segala pengalaman masa lalu. Dulu dalam 1 dekade (1998-2007) aku memiliki epilepsi yang aktif. Sering sekali terkena serangan kejang sejak masa-masa SMP sampai lulus kuliah.

Kemudian 1 dekade yang lalu (tahun 2007) aku menjalani operasi. Aku belajar banyak hal dari pengalaman ini. Aku mendapatkan informasi tentang operasi setelah aku bisa belajar menerima hidup sebagai ODE. Selama 9 tahun sebelumnya, hidupku penuh penolakan terhadap kondisi diri sebagai ODE.

Aku pun bercerita kepada mahasiswi itu tentang pentingnya menekankan diri pada proses penyembuhan, dibandingkan hasil penyembuhan. Dalam 9 tahun, aku selalu fokus pada hasil. Aku ingin sembuh! That’s it. Maka aku lakukan segala hal pengobatan medis & alternatif, dan hasilnya nihil.  Aku hanya fokus pada hasil akhir, sehingga tidak jelas apa yang harus dilakukan untuk mencapai hal itu. Aku menolak fakta bahwa aku adalah ODE. Aku anggap epilepsi hanyalah sebuah angin lalu, yang penting aku harus segera sembuh.

Sama seperti ujian matematika. Kalau kita hanya fokus pada hasil nilai 100, maka kita kurang peduli dengan proses meraih nilai 100. Bisa saja kita mendapat nilai sempurna dengan mencontek atau mencari bocoran soal. Padahal hal yang terpenting adalah proses belajar dan memahami matematika itu sendiri.

Akhirnya di tahun ke 10, aku mulai menyerah. Aku harus belajar menerima kondisi diri. Aku harus melalui sebuah proses untuk memahami mengapa aku harus terkena epilepsi? Apa yang harus aku lakukan jika aku harus hidup bersama epilepsi selamanya?

Pahami bahwa aku adalah ODE. Jika aku adalah ODE maka aku harus mengalami kejang. Aku harus rutin mengkonsumsi obat. Pahami kondisiku secara utuh. Aku masih dapat beraktivitas normal walaupun aku adalah ODE.

Setelah aku belajar dan fokus pada proses penyembuhan, fokus pada menjalani hidup dan bersahabat bersama epilepsi, tiba-tiba aku mendapatkan solusi tentang operasi bedah syaraf otak.

Fokus pada proses, dan hasil terbaik akan datang dengan sendirinya. Prinsip ini masih berlaku sampai sekarang, bahkan dalam pekerjaan saat ini.  Business is process, and the process should be measurable. Target sales 2017 hanyalah sebuah angka, kita harus fokus pada proses untuk mencapai angka tersebut. Itulah bidang pekerjaanku, memberikan consumer and business insight kepada tim melalui analisis data statistik, sehingga kita tahu hal-hal apa saja yang menjadi proses terbaik untuk mendapat hasil sales maksimal. Kita tidak bisa menunggu angka target itu terpenuhi dengan sendirinya. Kita juga tidak bisa melakukan segala hal tanpa terencana untuk mencapai angka sales tersebut. Bisa jadi apa yang kita lakukan justru tidak efektif dan efisien. Sama seperti aku, tidak bisa menunggu akan sembuh dari epilepsi tanpa melakukan apapun.

***

Tak lama setelah aku bercerita panjang lebar, makanan pun datang ke meja kami. Kami pun melanjutkan perbincangan sambil menikmati makan siang



“Kalau mbak, bagaimana dulu mbak tahu kalau Mas Aska adalah ODE?”, kali ini si mahasiswi bertanya kepada istriku.

Istriku pun bercerita tentang bagaimana pengalaman epilepsi mempertemukan kami.

“Mbak pernah melihat Mas Aska terkena serangan kejang?”

“Pernah sih, waktu Mas Aska kejang di kantor beberapa bulan sebelum pernikahan”

“Bagaimana reaksi Mbak saat itu?”

“Ya kaget juga, sebelumnya belum pernah melihat Mas Aska kejang. Jadi waktu itu aku dapat telp dari temen kantornya yang bilang bahwa Mas Aska tiba-tiba kejang dan pingsan di kantor. Mas Aska lalu dibawa ke rumah sakit di seberang kantor”, Istriku mulai bercerita

“Waktu itu sudah jam 5 sore, jadi aku segera keluar kantor lalu pergi menuju rumah sakit itu. Aku juga menghubungi Ayah Bunda agar segera datang juga ke rumah sakit. Mas Aska kan tinggal di Jakarta sendiri ya, orang tuanya di Jogja, jadi saya minta tolong Ayah Bunda untuk mendampingi”.

Aku hanya tersenyum mendengar cerita itu

“Setibanya di rumah sakit, aku lihat Mas Aska sudah lemas di atas tempat tidur. Aku lihat bahu kanan dia juga sudah bergeser. Beberapa hari kemudian aku baru tahu pergeseran bahu itu karena tubuh si Mas di tahan oleh teman-temannya. Maksud teman-temannya sih baik, agar tubuh si Mas saat kejang tidak menyentuh benda-benda berbahaya, tetapi aku juga baru tahu bahwa pergerakan tubuh saat kejang itu sebaiknya tidak ditahan. Cukup dihindarkan dari benda-benda berbahaya saja. Semakin ditahuan, semakin besar energi si Mas untuk melawan. Akhirnya bergeserlah bahu si Mas”.

“Berarti Mbak tidak melihat Mas Aska kejang?”

“Beberapa saat setelah itu aku lihat tubuh si Mas tiba-tiba kejang. Kejang hebat di atas tempat tidur, dengan mata terbalik, dan air liur perlahan-lahan keluar dari mulutnya. Saat itu aku benar-benar kaget. Aku bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa terdiam diselimuti rasa takut. Ayah Bunda melihatku sudah hampir pingsan. Mereka lantas menahan tubuhku dan mebawaku berjalan sedikit menjauhi si Mas. Ternyata inilah rasa kaget dan panik yang dirasakan oleh orang-orang saat pertama kali melihat ODE terkena serangan. Itu juga menjadi pengalaman pertama Ayah Bunda melihat si Mas kejang”

“Setelah itu hal apa yang membuat mbak tetap yakin dengan rencana pernikahan dengan Mas Aska?”

“Hmm…….apa ya?”, dia tiba-tiba berpaling menatapku & Sofia sambil tersenyum dan mengedipkan mata berkali-kali.

Aku teringat bahwa aku juga pernah menanyakan hal yang sama kepada dia. Dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan permintaan akan sebuah pelukan yang erat dariku. Di dalam pelukan dia berkata dengan bahasa manja, “kalau dipeluk Mas rasanya nyaman”

Terkadang kita melupakan hal-hal yang sederhana. Hanya fokus pada hal-hal yang rumit. Istriku hanya membutuhkan seorang suami yang dapat melindunginya dan memberi rasa aman, tanpa memperdulikan suaminya ODE atau bukan. Sebaliknya, kita sebagai ODE sering kali berpikir rumit dan sampai pada suatu kesimpulan semu bahwa tidak ada yang mau menikah dengan ODE.

Terbukti saat pertama kali aku bertemu Ayah Bunda, yang saat itu statusnya masih calon mertua.  Saat itu aku bercerita banyak hal tentang latar belakang pendidikan dan pekerjaan, agar aku bisa mendapatkan image yang baik di mata calon mertua. Tetapi ternyata itu bukanlah faktor pertimbangan utama Ayah dalam memberikan restu kepada Kami. Ayah sudah pernah mendapat informasi yang sama dari mantan pacar istriku di masa lalu. Pertanyaan terpenting bagi Ayah hanya 1, dan itu sangat sederhana: “Berapa usiamu?” Karena Ayah menginginkan calon menantu yang usianya jauh lebih tua di atas usia anak gadisnya, agar kelak calon menantunya dapat menjadi suami yang mampu mendidik, melindungi, dan memberi rasa aman bagi anak gadisnya. Ketika aku dinilai sudah memenuhi syarat, maka statusku sebagai ODE tidak lagi berpengaruh terhadap restu pernikahan.

***

Proses interview bersama mahasiswi tersebut membuat hati ku tergerak untuk membaca kembali tulisan-tulisanku di masa lalu tentang epilepsi. Dalam tulisan-tulisan tersebut aku temukan diriku di masa lalu dalam mulai dari kondisi putus asa sampai menemukan harapan sembuh.

Dalam satu dekade masa sakit, aku dituntut untuk belajar sabar menjalani ujian, belajar menerima kondisi diri apa adanya, belajar bersahabat dengan epilepsi, belajar manajemen waktu belajar dan bekerja agar tidak muncul serangan, belajar untuk menjadi percaya diri, belajar untuk memahami kondisi orang lain, belajar untuk bernegosiasi dengan diri sendiri dan orang lain, belajar untuk tidak takut gagal operasi, belajar untuk berani mengambil keputusan. Setelah aku “lulus”, aku pun mendapat kesempatan untuk sembuh melalui operasi.

Dalam satu dekade pasca operasi, aku mulai belajar menerapkan value-value tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal pekerjaan, aku dapat memanage menjalankan sekian banyak project riest dalam satu waktu, aku dapat bernegosiasi dengan para stakeholder tentang desain riset dan timeline, aku dapat mempresentasikan hasil riset dengan percaya diri. Dalam hal kesehatan, aku bisa aktif di Yayasan Epilepsi Indonesia ataupun International Bureau of Epilepsy.

Dan yang terpenting aku bisa belajar menjadi lebih sabar dan tangguh dalam menghadapi berbagai permasalahan, terutama permasalahan dalam bidang pekerjaan yang akan terus ada. Karena kita memang bekerja untuk menyelesaikan masalah dalam perusahaan ataupun masyarakat.

Sampai saat ini aku selalu teringat pelajaran ini:

Salah satu permasalahan yang pernah aku hadapi dalam hidup adalah serangan kejang epilepsi. Untuk mengatasi hal ini, aku harus melakukan operasi bedah otak, di mana resikonya adalah jiwa dan ragaku. Dan aku pun berhasil melewati permasalahan ini.


Sekarang jika aku menghadapi permasalahan apapun, maka aku pasti bisa menyelesaikannya juga. Aku tidak perlu takut, karena resiko yang aku hadapi tidak sebesar resiko operasi bedah otak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar