Kamis, 24 November 2016

#30 We are a Smart Consumer with Epilepsy

Di akhir 2015, aku memulai pekerjaan baru sebagai Marketing Research Manager di salah satu perusahaan lokal terbesar di Indonesia. Pada pekerjaan baru ini aku tidak lagi mengkhawatirkan tentang histori dan statusku sebagai ODE (Orang Dengan Epilepsi), karena aku percaya bahwa performance kerja yang baik dapat menutupi histori kesehatanku. Selain itu, makin banyak anggota masyarakat yang mengenalku sebagai ODE melalui tulisan di blog ini, jadi sudah tidak saatnya lagi menutupi histori epilepsi.

Satu hal terpenting yang aku cari melalui pekerjaan baru ini adalah pengalaman bekerja di sisi klien, setelah sebelumnya aku lebih banyak bekerja di sisi research agency. Aku tetap bertanggung jawab dalam hal marketing research, tetapi kali ini aku tidak hanya sibuk mengeksekusi riset ataupun menganalisis data saja, tetapi juga memahami segala business issue dibalik riset, serta bagaimana mengaplikasikan hasil riset dalam bisnis sehari-hari.

Salah satu jenis marketing research yang umum dilakukan adalah penelitian eksperimen tentang sebuah produk yang disertai dengan konsep dan kemasan. Performance produk yang baik juga harus diikuti dengan konsep yang baik, sehingga kita dapat memiliki cara komunikasi yang pas kepada konsumen dalam memasarkan dan menjual produk tersebut. Bisa jadi sebenarnya produknya bagus, tetapi cara komunikasi yang tidak pas menyebabkan konsumen menilai produk tersebut tidak sesuai dengan harapan konsumen.

Aku pun mencoba membantu seorang brand manager untuk membangun sebuah konsep produk. Di dalamnya harus memiliki info yang jelas tentang situasi di pasar saat ini, kebutuhan konsumen saat ini yang belum dapat dipenuhi dengan produk yang ada di market, sampai tentang sebuah produk baru yang menjadi solusi permasalahan ini.

Setelah konsep terbentuk, maka bisa dilanjutkan untuk mengembangkan sebuah produk sesuai dengan konsep tersebut. Setelah konsep dan produk selesai, kita lakukan riset kepada konsumen untuk memahami penerimaan konsumen terhadap konsep dan produk tersebut, serta perbandingannya dengan produk kompetitor yang ada di market saat ini. Produk baru dan konsep yang sedang dikembangkan ini berhubungan dengan kategori obat.  

Sepintas aku baca beberapa konsep yang dievaluasi, aku menemukan kalimat-kalimat yang umum muncul dalam mayoritas komunikasi iklan seperti:

“Ampuh mengatasi gangguan kesehatan”

“Bekerja cepat menghilangkan rasa sakit”

“Cocok untuk segala usia”

“Cocok dikonsumsi oleh pria dan wanita”

“Tidak memiliki efek samping”

“Bebas dari bahan kimia berbahaya”

“Bebas dari bahan pengawet”

“Terbuat dari bahan alami”

“Kami memahami Anda”

“Semua bisa disembuhkan”

“Pengobatan yang aman”

“Pengobatan yang murah”

“7 dari 10 orang yang telah mengkonsumsi obat ini dapat sembuh”

Kalimat-kalimat tersebut dapat mengundang ketertarikan konsumen untuk mencoba mengkonsumsi obat tersebut. Terlebih lagi pada konsumen yang hampir atau sudah mencapai tahap keputus-asaan dalam usaha menyembuhkan gangguan kesehatannya.

Setelah perilaku konsumen untuk mencoba terbentuk, maka perilaku tersebut harus dipertahankan. Maka tak jarang dalam sebuah konsep terdapat klaim:

“Obat dapat bekerja efektif setelah dikonsumsi 10 kali”

“Obat harus dikonsumsi rutin selama 3 bulan”

“Tidak sembuh uang kembali”

Dari sisi marketing, jika produk kita banyak diminati konsumen artinya kita berhasil.

Tetapi jika dilihat dari kacamata konsumen secara umum, apakah benar gangguan kesehatan seluruh konsumen dapat disembuhkan sesuai klaim dalam konsep tersebut?

Kemudian pertanyaan berikutnya yang tiba-tiba muncul dalam benak adalah:

Ini tadi kita berbicara tentang konsumen obat secara umum. Sekarang bagaimana dengan ODE sebagai konsumen?

***

ODE sangat rentan terhadap godaan kesembuhan yang cepat. Godaan ini biasanya dari iklan yang berasal dari sebuah produk obat, dari cerita teman sesama ODE yang bisa bebas serangan kejang melalui pengobatan tertentu, dan janji-janji indah melalui pengobatan alternatif, baik pengobatan tradisional maupun pengobatan mistis. Satu lagi isu yang muncul dalam beberapa tahun belakangan ini adalah ganja sebagai obat yang efektif mengatasi epilepsi.

Aku pun menyadari bahwa para penjual obat tradisional, para terapis pengobatan mistis (dukun, orang pintar, dll) sudah lebih cepat menerapkan prinsip marketing untuk menjual produk dan jasa mereka kepada ODE sebagai konsumen.

“Kalau serangan kejang akan muncul, biasanya aku tiba-tiba merasa takut. Entah kenapa takut sekali. Seperti ada sesuatu di belakangku. Semakin aku berusaha mencari tahu apa itu, semakin besar rasa takutku”, ceritaku di masa lalu kepada seorang teman yang juga ODE

“Kalau aku biasanya sebelum serangan kejang tiba-tiba seperti mendengar suara seseorang yang berbisik di telingaku, tapi aku cari kok gak ada siapa-siapa ya”, cerita temanku tersebut

“Pak, tadi Aska tiba-tiba teriak-teriak sendiri, lalu pingsan, dan badannya gerak-gerak sendiri seperti orang kesurupan”, cerita seseorang yang melihatku terkena serangan kejang di masa lalu

Kalau aku ceritakan kejadian tersebut kepada terapis orang pintar, sudah pasti dia akan menjelaskan serangan kejang sebagai bentuk kejadian kesurupan makhluk halus. Dengan bahasa empati yang pas, dia pun menjual jasanya untuk menyembuhkan, dengan janji bahwa setelah makhluk halus terusir, maka aku bebas kejang. Sayang sekali janji dia meleset dan aku tetap terkena serangan setelah (katanya) makhluk halus yang menggangguku sudah diusir dari tubuhku.

Tetapi kenapa waktu itu aku mau menjalai pengobatan orang pintar? Karena saat itu aku tidak tahu lagi bagaimana caranya sembuh dari epilepsi, bahkan tidak ada seseorang yang percaya, ataupun bisa menjelaskan tentang aura rasa takut yang aku alami. Dan sepertinya hanya orang pintar tersebut yang dapat memahami rasa takut ini. Yup, strategi marketing yang pas untuk menawarkan jasa pengobatan.

Lain ceritanya jika di saat itu aku sudah bisa mengakses banyak informasi tentang epilepsi melalui internet. Mungkin saat itu aku sudah yakin bahwa rasa takut ini adalah bentuk aura pertanda munculnya serangan epilepsi. Aku makin yakin bahwa aku adalah ODE, bukan orang kesurupan. Aku pun lebih memilih menjadi konsumen obat medis anti epilepsi.

Kejadian lainnya adalah ada seseorang kenalan orang tua yang bisa sembuh dari penyakitnya setelah mengkonsumsi produk pengobatan herbal/tradisional. Menurut dia, obat tradisional tersebut dapat bekerja efektif mengatasi segala macam penyakit. Buktinya dia sendiri bisa sembuh. Aku pun juga mencobanya, tetapi tetap tidak berhasil mengatasi epilepsi.

Akupun belajar bahwa kondisi fisik, lingkungan, sosial, psikologis setiap orang itu berbeda. Obat yang berhasil bekerja pada 1 orang, belum tentu menghasilkan keberhasilan yang sama pada orang lain. Oleh karena itu hati-hati dengan klaim “7 dari 10 orang yang  mengkonsumsi obat ini bisa sembuh” . Mungkin benar bahwa 7 orang tersebut sembuh, tetapi kita harus kritis bertanya: secara statistik, apakah 7 orang tersebut bisa representatif mewakili populasi seluruh konsumen yang telah mengkonsumsi obat tersebut?

Terakhir, godaan untuk sembuh secara instan memang sangat banyak. Kita sebagai ODE harus tetap memegang teguh filosofi epilepsi sebagai berikut:

  1. Epilepsi adalah gangguan kesehatan yang membutuhkan pengobatan dalam jangka waktu lama, bisa sampai puluhan tahun. Jadi jangan menunggu sembuh untuk kemudian baru bisa beraktivitas (sekolah, kerja, dll). Tetapi sebaliknya, kita tetap bisa sekolah dan bekerja walaupun kita harus hidup sebagai ODE.
  2. Fokus pada proses, bukan pada hasil. Proses yang baik otomatis akan mendapatkan hasil yang baik. Jalani proses pengobatan medis dengan baik. Tetap konsisten mengkonsumsi obat sesuai dosis dan jadwal. Jika kita hanya fokus pada hasil kesembuhan, maka kita akan melakukan barbagai cara untuk mencapai hasil, meskipun cara tersebut adalah cara yang salah.
  3. Setiap hal yang kita konsumsi akan bekerja dan berpengaruh pada tubuh kita. Jika kita mengkonsumsi obat alternatif, pernah kah terpikir tentang cara kerja obat alternatif yang bisa jadi menimbulkan efek pada kinerja obat medis di tubuh kita? Oleh karena itu tetap perlu terbuka pada dokter tentang konsumsi obat alternatif ini. Obat alternatif juga bukan pengganti obat medis. Kita tidak bisa seenaknya mengurangi dosis obat medis ketika jarang terkena serangan, seenaknya menambah dosis obat ketika sering terkena serangan, ataupun berhenti konsumsi obat ketika tidak kena serangan lagi.
  4. Kondisi tubuh setiap ODE itu unik. Oleh karena itu ada berbagai macam jenis obat anti epilepsi. Faktanya, ada ODE yang cocok hanya pada obat A, ada pula yang hanya cocok pada obat B, dst. Sekarang, apakah logis jika obat alternatif memiliki klaim "Cocok dan efektif dikonsumsi oleh seluruh ODE"?

Keep Calm & Be smart consumer!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar