Senin, 04 April 2016

#28 Epilepsi dilihat dari perspektif keluarga



Aku melihat jam tangan menunjukkan pukul 09.30, di bawahnya tertulis tanggal 23 Maret 2016. Aku sedang berada di salah satu meeting room Le Meridien hotel. Saat itu aku sedang menghadiri seminar media epilepsi yang diadakan oleh YEI dan Abbott. Aku lihat sekilas rekan-rekan wartawan media sudah mulai datang. Beberapa menit kemudian pintu meeting room ditutup dan acara dimulai.

“Selamat datang rekan-rekan media diacara seminar media epilepsi ini. Kali ini kita akan membahas tentang epilepsi dengan tema “Yes I Can”, yang berarti “Saya bisa mengembangkan potensi diri, epilepsi bukanlah hambatan”, MC membuka acara

“Pada kesempatan ini akan hadir 2 pembicara, pertama dr Irawaty Hawary, Sp.S yang juga ketua YEI. Kedua, Aska Primardi Spsi, M.A., seorang praktisi psikologi yang juga seorang ODE”, MC memperkenalkan namaku

Setelah membaca testimoni dan pesan pembuka, MC memanggil dr Ira untuk mengisi sesi pertama. Saat itu dr Ira banyak membahas epilepsi dari sisi medis. Setelah dr Ira selesai presentasi, MC pun memanggil namaku untuk mengisi sesi kedua

“Mari kita sambut…..Aska Primardi”, aku pun berdiri dan berjalan ke panggung diiringi tepuk tangan dari rekan-rekan wartawan.

Aku memulai presentasi dengan memperkenalkan diri, kemudian dilanjutkan pada materi pembahasan kualitas hidup ODE dari kacamata psikologi, dan juga berbagai tips bagi ODE untuk mengembangkan potensi diri.

Setelah aku selesai presentasi, MC memintaku dan dr Ira untuk duduk di depan dan memulai sesi tanya jawab dengan para wartawan.

Ada satu wartawan perempuan dari sebuah media cetak langsung mengacungkan jari untuk bertanya. Setelah diberi kesempatan oleh MC, ia pun secara spesifik bermaksud mengajukan pertanyaan kepadaku.

“Terima kasih atas kesempatannya. Mas Aska, saya mau tanya, dari tadi selalu ditekankan bahwa masyarakat, keluarga, teman, atau siapapun harus memahami ODE dan kondisinya. Ketidakpahaman masyakarat atau keluarga membuat ODE merasa sendiri, tersingkirkan, ataupun diskriminasi”, dia memulai prolog pertanyaan.

“Pertanyaan saya tentang kondisi sebaliknya, jika keluarga atau masyarakat mau membantu, apakah ODE juga sudah melakukan hal sebaliknya?

“Apakah ODE sendiri sudah pernah memberi informasi yang benar tentang epilepsi kepada masyakarat?”

“Apakah ODE pernah memahami kebingungan keluarga atau teman ketika melihat dirinya kena serangan?” 

“Apakah ODE juga mengajarkan tips-tips pertolongan pertama saat serangan kepada teman-temannya?” 

Pertanyaan out of the box ini muncul bertubi-tubi. Intinya satu, bukan lagi tentang tuntutan ODE kepada masyarakat untuk memahami epilepsi, tetapi juga tentang apa yang telah ODE lakukan untuk mengedukasi masyarakat. Masyakarat bisa jadi sebenarnya mau menolong ODE saat terkena serangan, tetapi ODE nya sendiri yang justru malu membuka diri. 

Pertanyaan ini mengingatkan ku pada kejadian di Xiamen (baca chapter #18).
 
***
 
Secara global kini ada 2 event yang berhubungan dengan epilepsi, pertama International epilepsy day yang diperingati setiap minggu kedua bulan Februari, dan Purple Day yang diperingati setiap tanggal 26 maret. Purple day, yang berbarengan denga  hari ulang tahun ku, mulai diperingati sejak 8 tahun terakhir. Sedangkan International epilepsy day, sebuah event resmi dari IBE & ILAE, mulai diperingati sejak 2 tahun yang lalu. Kedua event ini memiliki message yang sama: raising awareness of epilepsy

Tahun ini, YEI mengadakan event International Epilepsy Day di Jakarta pada tanggal 6 Maret, dan kemudian diikuti seminar media pada tanggal 23 Maret. Pada acara seminar media ini aku diminta untuk berpartisipasi membawakan materi tentang epilepsi dari sudut pandang psikologi. Tema international epilepsy day tahun ini adalah "Yes, I can". Tema ini diangkat dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri ODE dan juga membuka mata masyarakat bahwa ODE juga bisa berprestasi, ODE juga bisa mengembangkan potensi diri.

Mulai tahun ini, kita memiliki sebuah maskot epilepsy day. Maskotnya adalah hewan kuda laut bernama Campi. Mengapa harus kuda laut? Karena nama latin kuda laut adalah hippocampus. Sama seperti bagian otakku yang diangkat saat operasi. Saat itu hipocampus harus dipotong dan diangkat karena itu adalah sumber asal kejang yang aku alami.


Pada acara seminar media yang diselenggarakan di hotel Le Meridien Jakarta ini, aku mendapat kesempatan presentasi di sesi kedua. Sesi pertama diisi oleh dr Irawaty Hawari Sp,S yang juga ketua YEI yang membahas epilepsi dari sisi medis.

Sebelum presentasi aku memperkenalkan diri sebagai praktisi psikologi, dimana pekerjaaan sehari-hari adalah meneliti perilaku konsumen (marketing researcher), dan aku juga adalah ODE. Ketiga poin tersebut sudah cukup menjelaskan alasan mengapa aku diundang untuk presentasi dalam seminar ini. Materi yang aku bawakan adalah hasil risetku beberapa tahun terakhir bersama YEI tentang kualitas hidup ODE dan juga hubungannya dengan pengembangan potensi diri.



Hasil riset ini sebenarnya sudah aku presentasikan dalam Asian Oceanian Epilepsy Congress tahun 2014 lalu di Singapore. Dari hasil riset, kita menemukan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi kualitas hidup ODE, yaitu fisik, psikis, sosial. Dari analisis statistik ditemukan bahwa faktor yang paling besar perannya dalam kualitas hidup ODE adalah faktor sosial, bukan faktor fisik/gangguan syaraf itu sendiri. Hal ini membuktikan sebuah hipotesis di awal bahwa faktor sosial jauh lebih besar pengaruhnya bagi ODE daripada epilepsi itu sendiri.

Epilepsi adalah sebuah gangguan syaraf yang berlangsung dalam jangka waktu lama, bisa puluhan tahun.Apa yang terjadi jika aku menutup diri di usia anak-anak dan remaja? Maka kebutuhanku untuk bermain, berkumpul bersama teman, mencoba hal-hal baru, mencari jati diri, ataupun eksistensi diri tidak akan terpenuhi. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi di usia anak-anak dan remaja, maka secara tidak sadar aku akan berusaha memenuhi kebutuhan ini di usia dewasa, usia di saat aku sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Ini adalah sebuah ketertinggalan dibandingkan dengan teman-teman seusiaku, di mana di usia dewasa mereka sudah fokus pada karier, pernikahan, dan keluarga.

Lalu apa yang terjadi jika aku menutup diri sampai dewasa atau sampai tua? Maka suatu saat, ketika kedua orang tuaku meninggal dan tidak ada lagi yang merawatku, aku tidak bisa hidup mandiri. Aku masih berperilaku seperti anak kecil dan berusaha memenuhi kebutuhan di tahap perkembanganku sebagai anak atau remaja. Inilah yang aku khawatirkan jika melihat teman-teman ODE yang tidak diberi kesempatan oleh orang tua nya untuk keluar rumah, bersekolah, bekerja, bermain bersama teman. 

Secara umum ada 2 tipe orang tua ODE yang tidak mengizinkan anaknya beraktivitas keluar rumah. Pertama, orang tua yang sangat sayang kepada anaknya, sehingga khawatir jika anaknya berada dalam situasi berbahaya saat berada di luar rumah. Kedua, orang tua yang malu memiliki anak ODE. 

Pada umumnya aku banyak menemukan tipe pertama. Sulit memang rasanya menghapus kekhawatiran kepada anak kita. Di sisi lain, anak juga merasa tidak nyaman dan juga tidak percaya diri jika diawasi terus menerus, terutama saat memasuki usia remaja. Solusinya harus dicari jalan tengah agar orang tua tetap bisa mengawasi anak yang beraktivitas di luar, tanpa membuat anak merasa terawasi. Misal bekerja sama dengan teman anak kita, atau memperkerjakan sopir yang akan mengawasi dan mengantar anak kita beraktivitas. 

Kita harus bisa mendidik dan merawat ODE remaja seperti bermain layangan. Ada saatnya kita lepas layangan saat angin bertiup kencang, ada saatnya kita tarik layangan agar tetap bisa melayang. Ada saatnya kita lepas ODE untuk bermain dan berinteraksi bersama teman, namun ketika kondisinya menurun dan kemungkinan munculnya serangan meningkat, kita harus menariknya kembali ke dalam rumah.

Untuk tipe kedua, aku menemukan beberapa orang tua seperti ini. Atau mungkin sebenarnya banyak ya? Tetapi aku memang tidak mengetahuinya karena benar-benar tertutup. Pada umumnya masalah ini disebabkan karena kesalahpahaman tentang epilepsi. Solusinya adalah memberikan informasi yang benar tentang epilepsi kepada mereka. Setelah mengenal epilepsi, semoga rasa malu itu bisa terkikis.

Dari sini kita bisa melihat bahwa, jika kita berbicara tentang terapi psikologis, terapi yang perlu dilakukan bukan hanya terapi individu bagi ODE, tetapi juga terapi kelompok bagi keluarga ODE.

Sekali lagi, perlu diingat bahwa epilepsi adalah sebuah gangguan syaraf yang berlangsung dalam jangka waktu lama, bisa puluhan tahun. ODE hanya terlihat sakit saat sedang terkena serangan selama sekian detik atau menit. Dalam kondisi normal, ODE nampak seperti orang normal yang bisa belajar, bermain, bekerja. Jadi, jika ODE harus berperilaku seperti orang sakit, ataupun diperlakukan seperti orang sakit, maka secara tidak sadar kita telah mendidik dia untuk menjadi orang sakit. ODE seharusnya masih bisa beraktivitas normal walaupun masih perlu minum obat. 
  









Aku juga melakukan analisis tambahan dengan membandingkan kualitas hidup ODE di YEI tahun 2012 dengan 2014. Dari hasil tracking nampak bahwa kualitas hidup ODE di tahun 2014 (skala 1-7) signifikan lebih tinggi daripada 2012 (skala 1-7). Setelah diprobing lebih dalam, aku mendapatkan alasannya mengapa kualitas hidup ODE tahun 2014 lebih baik.

Sampai tahun 2012, mayoritas ODE di Indonesia masih fokus pada masalah stigma negatif, isu pekerjaan, dll. Saat itu grup sosial media, ataupun chatt baru mulai tumbuh. Perlahan-lahan  makin banyak ODE dan keluarga ODE bergabung dalam grup ini. Ketika ada 1 ODE memulai bercerita membuka diri tentang epilepsinya, maka semua ODE menyambut baik. Langkah ini kemudian diikuti satu persatu oleh ODE lainnya. Hasilnya, makin banyak ODE berani membuka diri, dan secara percaya diri mengakui bahwa dirinya adalah ODE. Keluarga ODE yang bergabung pun terbantu dengan banyaknya informasi untuk memahami epilepsi secara keseluruhan ataupun epilepsi dari kacamata ODE.

Di tahun 2014, ketika aku melakukan riset kembali kepada para ODE, aku mendapatkan fakta bahwa kualitas hidup ODE lebih baik daripada tahun 2012. Faktor yang paling berperan dalam peningkatan kualitas hidup adalah kepercayaan dan dukungan dari keluarga. 








Pentingnya peran keluarga ini menuntut kita untuk memahami epilepsi dari kacamata keluarga. Terkadang keluarga melarang ODE untuk beraktivitas adalah bentuk kasih sayang mereka, tetapi ODE menerimanya sebagai sebuah hukuman, hanya karena pola komunikasi yang kurang pas. Sebaliknya, ODE remaja ingin bermain bersama teman di luar rumah, tetapi orang tua melarangnya karena menilai bahwa ODE belum mampu menjaga diri, padahal sebenarnya ODE sudah merasa paham akan kondisinya. 

Seperti apa epilepsi di mata seorang Ibu, Ayah, Adik/kakak, teman, masyarakat? Apakah mereka memiliki persepsi yang sama seperti aku sebagai ODE? Topik ini akan dibahas di next chapter

Berikut beberapa link berita hasil seminar media 23 Maret 2016:


Aura mistis saat epilepsi menyerang
Kelangkaan obat anti epilepsi
Pentingnya merangkul para ODE
Beragam reaksi kejang
Pemicu Epilepsi
60 juta ODE
Penanganan yang tepat bagi ODE
Serangan epilepsi tidak selalu kejang
Epilepsi tidak menular, bukan kutukan
IQ di atas rata-rata
Gangguan fungsi otak
Dukungan bagi ODE
Epilepsi & IQ
Epilepsi & Kehamilan
ODE hidup normal
Epilepsi & Kesurupan
Kualitas hidup ODE
Obat generik sulit didapat
Epilepsi tidak berhubungan dengan IQ
Tidak semua kejang epilepsi
Pertolongan pertama
Jangan pandang sebelah mata
Mitos & fakta epilepsi
Aska Primardi-Epilepsi & Prestasi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar